Share

8. Labrakan

"Duh Tan, gimana dong?"

"Ya udahlah lo bilang aja apa adanya, kalo lo udah nyari kemana-mana tapi udah nggak ada yang jual."

Aku dan Intan masih berdiri khawatir di depan ruang guru. Tadi saat pergantian jam pelajaran ketiga, Deni memberitahu bahwa aku disuruh menghadap Bu Ani saat jam istirahat kedua. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menyerahkan buku paket sebagai ganti yang hilang kemarin. Dan tentu saja aku bingung sekarang, karena sama sekali belum mendapatkan buku itu. Akhirnya aku meminta Intan untuk menemani. Dan sudah sejak lima menit yang lalu kami masih tetap berdiri di sini. Aku merasa gugup dan takut, terlebih tidak tahu harus mengatakan apa pada Bu Ani. Dan juga belum siap untuk mendengarkan ceramah Bu Ani lagi. Sungguh telingaku masih panas sisa ceramah kemarin.

"Udah sana masuk. Daripada Bu Ani makin marah karena lo gak dateng-dateng, bakal tambah panjang ceramah dia." Intan mendorongku pelan masuk ke ruang guru.

Aku menarik-embuskan napas, sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk melangkah masuk. Sebelum masuk, kuketuk dulu pintu sebanyak tiga kali.

"Ya?" tanya seorang guru muda yang mejanya paling dekat dengan pintu.

"Maaf Pak, saya mau bertemu Bu Ani." 

"Oh ya ya. Silahkan masuk, Bu Ani ada di dalam kok."

Aku pun mengangguk dan berterima kasih, kemudian melangkahkan kaki menuju meja Bu Ani yang letaknya paling pojok di ruangan itu. Sambil berjalan pelan, aku terus berdoa semoga Bu Ani memanggilku bukan karena buku itu, tapi karena hal lain. Meskipun itu terdengar doa yang sia-sia, tapi aku sungguh berharap begitu. Langkahku semakin memelan saat melihat seorang siswa yang sedang duduk berhadapan dengan Bu Ani, yang artinya siswa itu membelakangiku. Saat aku menebak-nebak siapa siswa itu, Bu Ani menoleh dan memergokiku yang sudah berdiri tak jauh dari mejanya.

"Bintang, kamu sudah datang? Duduk sini."

"Baik, Bu." Aku langsung duduk di kursi yang ditunjuk Bu Ani.

Saat melirik siswa di sampingku, mataku langsung membulat sempurna. Sedang apa Angkasa di sini? Apa dia ada urusan dengan Bu Ani tentang pelajaran? Tapi setahuku Bu Ani tidak mengajar di kelas tiga, lalu apa yang dia lakukan di sini? Sudahlah itu bukan urusanku, untuk apa aku memikirkannya?

"Bintang, kamu sudah tahu kan kenapa saya memanggil kamu?" tanya Bu Ani, menatapku di balik kacamata tebal yang menggantung di pangkal hidungnya.

"I-iya, Bu." Aku mulai khawatir lagi, melirik sekilas pada Angkasa yang duduk tenang dan diam di sampingku.

"Soal buku itu..."

"Saya minta maaf, Bu. Saya belum bisa memberikannya kepada ibu sekarang. Kemarin saya sudah mencarinya kemana-mana tapi belum dapat juga. Mereka bilang buku itu sudah langka dan mereka sudah tidak menjualnya lagi." Aku langsung memotong dengan nada se-memelas mungkin.

Bu Ani tampak menatapku lama, kemudian menghela napas berat. Membuat keningku berkerut. "Saya sudah tahu."

Aku terbelalak seketika. Bu Ani sudah tahu? Siapa yang memberi tahu? "Angkasa sudah memberitahu saya, lengkap dengan alasan kenapa buku itu bisa sampai hilang." Aku langsung menoleh pada Angkasa yang tetap pada posisinya, menghadap ke depan dan bersikap cuek.

"Saya yang akan pesan buku itu, jadi kamu hanya tinggal membayar biaya pembeliannya saja."

Ucapan Bu Ani itu membuatku bernapas lega. "Terima kasih, Bu."

"Tapi saya harap kamu jangan membiasakan diri bertengkar dengan senior kamu sendiri."

"Bertengkar?" tanyaku. Seingatku selama ini aku tidak pernah terlibat pertengkaran dengan seniorku di sekolah ini.

"Iya, bertengkar. Angkasa yang menceritakan kalau kemarin kamu bertengkar dengan Angkasa sehingga buku itu jatuh dan akhirnya hilang. Angkasa itu adalah senior kamu jadi kamu harus bisa bersikap sopan pada dia. Bukan pada Angkasa saja tapi pada semua senior kamu. Mengerti, Bintang?"

 "Mengerti, Bu." Aku mengangguk lesu. Dasar Angkasa! Siapa juga yang bertengkar? Kemarin dia yang membuat masalah, kan? Kenapa sekarang kesannya aku yang bersalah disini?

"Dan kamu, Angkasa. Saya harap kamu bisa mengurangi kebiasaan berkelahi kamu. Meskipun nilai kamu selalu masuk dalam peringkat lima besar, tapi yang namanya berkelahi itu tetap tidak baik. Kamu mengerti?"

"Baik, Bu." 

"Kalau begitu kalian boleh pergi."

"Baik, Bu. Terima kasih. Permisi." Aku langsung pergi dari ruangan itu mendahului Angkasa.

"Gimana?" tanya Intan saat aku sudah keluar dari ruangan itu.

Aku tidak menjawab, dan langsung mengajak Intan pergi dari sana. Tapi baru beberapa langkah, Angkasa datang dan berhenti di depan kami. Tatapannya datar, tapi aku bisa melihat seringai mengejeknya itu tertuju padaku.

Aku menatapnya sebal. "Ngapain lo ngomong kayak gitu ke Bu Ani? Gue nggak pernah berantem sama lo, ya. Nggak usah ngaku-ngaku!"

Dia mengangkat bahu. "Lo nggak pernah mau nurut sama gue."

Aku berdecih. "Siapa elo!"

Setelah itu, aku dan Intan melanjutkan langkah. Memilih tidak menghiraukan kekehan menyebalkan Angkasa di belakang sana.

***

Sepulang sekolah, Intan mengajakku ke kantin dulu. Aku juga merasa cukup lapar karena saat jam istirahat tadi belum sempat makan. Saat ini kami tengah berjalan menyusuri koridor menuju kantin

"Bi, liat deh. Keren ya mereka berdua." 

Aku mendongak mengikuti arah pandang Intan, dan berhenti pada dua orang siswa yang tengah duduk santai di lantai atap sekolah dengan kedua kaki menggantung ke bawah. Juga beberapa teman mereka yang berdiri di atap sekolah, namun tidak duduk di lantai atap.

"Berasa ngeliat sepasang malaikat ganteng nan keren deh."

Aku tertawa mencibir, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. "Yang satu sih dibilang malaikat, bisa juga. Tapi yang satunya lagi? Gue nggak paham deh sisi malaikatnya dimana. Sumpah."
Tanganku menarik lengan Intan agar berjalan lebih cepat lagi sehingga mau tak mau Intan mengalihkan pandangannya dari dua cowok kembar itu.

"Ih masak lo nggak tau sih. Sisi malaikatnya kak Angkasa tuh banyak, pake banget. Mau gue sebutin satu-satu? Nih ya, gue kasih tau. Kak Angkasa tuh ganteng, keren, jago basket, masuk peringkat lima besar se-sekolah padahal baru tiga bulan masuk sekolah kita–"

"Suka berantem." Aku sengaja memotong. "Itu kenapa dia beda sama Kak Bisma yang kalem dan nggak suka berantem."

"Ih malah jadi daya tarik tersendiri buat kita para fans Kak Angkasa, tahu!" Aku berdecih mengejek. "Terus ya... Kak Angkasa tuh juga baik dan murah senyum."

"Baik dan murah senyum apaan?" cibirku, sambil mengedarkan pandang ke seluruh sudut kantin, mencari tempat yang nyaman untuk makan dan mengobrol.

Intan terkekeh menyebalkan dan mengikutiku menuju meja yang membelakangi pintu masuk kantin. "Oke, gue ralat. Kak Angkasa tuh baik dan murah senyum, kecuali sama lo."

Sambil duduk, aku mencebikkan bibir pada Intan.

"Gue sebenernya juga masih heran sih kok sikap Kak Angkasa bisa kayak gitu ya sama lo? Dingin terus bentak-bentak, lagi."

Aku menghela napas berat. "Udah ah ngapain sih ngomongin dia? Mending pesen makan aja. Gue atau elo yang mau pesenin?" 

"Berhubung gue sahabat yang baik, jadi mending lo aja yang pesen. Oke?"

Aku mendelik, tapi akhirnya menurut juga. Lima menit kemudian aku sudah membawa dua porsi bakso dan dua gelas jus jambu. 

"Lo, yang namanya Bintang?" 

Gerakanku memasukkan bakso ke dalam mulut, terhenti saat mendengar pertanyaan barusan. Aku dan Intan saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya mendongak ke arah cewek yang barusan bertanya padaku. Anggi dan kedua temannya berdiri terhalang meja denganku dan Intan, menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Untuk apa geng kelas tiga ini mendatangiku? Kenapa aku jadi merasakan firasat yang tidak enak, ya?

"Ya, saya Bintang." Aku menggunakan kata 'saya' karena hanya untuk sekedar menghormati mereka yang notabene adalah seniorku.

Anggi tampak tersenyum sinis, sebelum mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan menyodorkannya ke arahku. Aku mengernyit, menoleh pada Intan. "Di foto ini elo, kan?" 

Aku mengamati foto itu, dan mataku membelalak seketika. Itu adalah gambar dimana aku dibonceng oleh Angkasa saat di halte. Anggi menggeser gambar yang lain, yaitu gambar dimana aku tersudut di dinding dengan kedua tangan Angkasa menempel di sisi kiri-kanan tubuhku. Terakhir, gambar dimana aku membonceng Angkasa saat dia mengantarku mencari buku kemarin. Ada apa ini? Siapa yang mengambil gambar kami diam-diam? Untuk tujuan apa?

"Ini apa?" tanyaku tak mengerti.

"Tinggal jawab ini elo atau bukan, susah amat sih!" bentak Anggi membuatku hampir terlonjak kaget.

"Biasa aja kali, nggak usah ngegas git–argh?!" Aku memekik keras. Tepat saat aku membenarkan pertanyaannya, sedetik setelah itu aku merasakan sesuatu seperti cairan disiram ke kepalaku. Aku memejamkan mata supaya cairan yang sepertinya jus lemon itu tidak masuk ke mata saat mengalir melewati kelopak mataku.

"Bi, lo nggak apa-apa?" tanya Intan sambil mengelap wajahku dengan tissue.

Aku meraih tissue dari tangan Intan dan mengelap wajahku sendiri. Kutatap Anggi dengan kesal. "Apa maksudnya ini?"

Anggi lagi-lagi tersenyum sinis dan menggebrak meja membuat beberapa siswa yang ada di kantin itu berkerumun di sekeliling kami. Aku memekik kembali saat dua gelas cairan lain disiramkan lagi ke wajahku.

Aku meremas kedua tepian rok sambil menggigit bibir bawahku. Rambutku sudah basah dan berbau jus, juga jaket dan baju seragam ku yang tadinya berwarna putih sekarang jadi berwarna campuran merah, kuning dan hijau karena tiga jenis jus dari ketiga gelas yang berbeda. Aku sudah tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya penampilanku sekarang. Beberapa siswa bahkan terdengar saling berbisik membicarakan kami.

Dapat kudengar Intan mendesis kesal, kemudian menarik tanganku agar ikut berdiri di sampingnya. "Kenapa kalian nyiram muka Bintang?"

"Lo mau tau alasannya?" tanya Anggi menatapku sebelum beralih pada Intan.
"Karena temen lo ini..." Anggi menunjuk wajahku. "Udah keganjenan, nggak tau diri lagi!"

Aku menarik-hembuskan napas, mencoba mengontrol emosiku. "Maksudnya lo apa?"

"Nggak usah sok bego deh lo! Angkasa itu punya gue. Jadi jangan berani-berani deketin dia, ngerti lo?!"

Aku melongo, lalu terkekeh hambar. Sialan.  "Jadi ini karena Angkasa? Kalian ngelakuin ini sama gue cuma karena Angkasa? Lo ngelabrak gue gini cuma karena seorang Angkasa?"

Plakk!

Tangan kananku memegangi pipi kananku yang terasa perih dan pedas. Dadaku naik turun menahan emosi yang bergejolak, tidak menyangka akan mendapat tamparan seperti ini. Di depan banyak orang!

"Berani ya lo pake gue-elo sama senior? Yang sopan dong jadi junior!"

Kugigit kuat-kuat bibir bawahku menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang lagi. Benar-benar tidak habis pikir dengan ucapan cewek di depanku ini. Maksudku, bagian mana darinya yang harus kuhormati? Apa senior sepertinya, yang melabrak juniornya sendiri hanya karena seorang cowok pantas dihormati? Lucu sekali!

"Saya tegaskan kepada Anda, saya tidak punya hubungan apa-apa apalagi berniat mendekati Angkasa. Saya juga tidak tertarik sama sekali dengan Angkasa yang katanya punya Anda itu. Saya bersekolah di sini itu buat belajar, bukan cuma buat meributkan hal yang tidak penting. Jadi Anda tidak perlu khawatir saya merebut Angkasa. Anda paham, Nona senior yang ter-hor-mat?!" tegasku panjang lebar dengan kata baku penuh penekanan, tepat di depan wajah Anggi.

Tak peduli ekspresi merah padam yang ditunjukkan Anggi karena ucapanku, juga tak peduli banyak pasang mata yang menyorot tajam padaku, aku menarik lengan Intan untuk segera keluar dari kantin. Berjalan sepanjang koridor, baik aku maupun Intan sama-sama diam. Bibirku kukatupkan rapat-rapat, dengan kedua tangan terkepal.

Memandang kosong ke depan dengan langkah yang lebar-lebar, sesegera mungkin agar bisa cepat sampai ke pintu gerbang. Aku sudah tidak tahan dengan tatapan-tatapan beberapa pasang mata yang memperhatikanku sepanjang koridor. Tidak. Aku harus ke toilet dulu, membersihkan rambut, wajah, jaket dan baju seragamku yang kacau sekali.

"Bi, lo nggak apa-apa?" tanya Intan khawatir.

"Menurut lo?" Aku mendesis jengkel, mempercepat langkah. "Sialan!" 

Namun langkahku memelan saat di ujung koridor dekat toilet, Angkasa berjalan santai ke arahku. Tidak, aku tidak ingin melihat wajahnya dulu sekarang. Karena lagi-lagi apa yang kualami ini dia lah penyebabnya.

"Kak Angkasa, Bi." Bisikan Intan terdengar cemas.

"Kita muter, Tan." Aku langsung menarik lengan Intan untuk berbalik arah.
Namun kurasa terlambat karena dua langkah setelah berbalik arah, lenganku dicekal oleh tangan seseorang membuatku tersentak kaget. Aku melepaskan cekalan tangannya dan berbalik arah kembali ke arah tujuan semula.

"Lepas!" bentakku sambil menghempaskan kembali tanganku saat dia mengejar dan mencekal lagi. Tapi kali ini tenaganya lebih kuat sehingga dia tetap menggenggam erat pergelangan tanganku. Aku tetap memandang ke depan, tanpa berniat menoleh sedikit pun padanya.

"Lo kenapa?" 

"Lepas!" desisku.

"Gue tanya, lo kenapa?!" tanyanya dengan nada meninggi sambil membalikkan paksa tubuhku agar menghadap ke arahnya. Aku dapat menangkap raut wajahnya yang berubah terkejut dan bola matanya menajam. Sedang dia memandangi penampilanku dari atas ke bawah, aku memalingkan wajah ke arah lain. Lalu dia bertanya dengan nada yang berkali-kali lipat lebih dingin dari sebelumnya "Siapa yang ngelakuin ini?"

"Nggak penting lo tahu!" ketusku berusaha melepaskan kembali cekalan tangannya, namun lagi-lagi tidak berhasil.

"Jawab gue!"

"Bukan urusan–""

"JELAS URUSAN GUE!" Teriakannya menggema di koridor yang hanya diisi oleh kami bertiga ini. Jantungku sampai berdegup kencang. Matanya yang memerah, menatapku serupa pedang yang terhunus tajam. Bibirnya menipis saat dia mengatakan, "Oke, lo nggak perlu jawab. Siap-siap besok lihat orang itu babak belur di tangan gue."

 "Lo mau mukulin cewek?" tanyaku, pelan. Aku cukup menciut karena kata-kata menyeramkannya.Dia membuang muka. "Jangan ngelakuin hal di mana gue jadi alasannya."

Kami kembali berpandangan. Matanya menyipit. Sedangkan aku berusaha bertahan untuk tegas. 

"Gue minta, jangan ganggu gue lagi."

Tatapannya menajam. Pegangan tangannya di pergelangan tanganku menguat. "Apa maksud lo?"

"Gue nggak tahu kenapa harus berurusan dengan elo, cowok yang bahkan sebelumnya sama sekali nggak pernah gue kenal. Asal lo tahu, gue nggak suka situasi ini. Gue memang adik dari sahabat lo, tapi itu nggak mewajibkan gue maupun elo untuk saling kenal. Gue nggak mau kenal lo lagi. Lo terlalu meremehkan gue yang manja dan kekanak-kanakan ini. Gue nggak suka tiap harus nahan jengkel karena omongan lo. Apalagi kalau harus bikin gue terlibat drama begini. Gue nggak sesabar itu. Jadi, ayo bersikap seperti orang asing aja."

Dia menatapku dengan tatapan tak percaya. Cekalan tangannya terasa mengendur dan aku segera melepaskan tanganku. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, tanpa menunggu jawabannya, bahkan tanpa menghiraukan Intan yang berdiri terpaku beberapa langkah dari tempat berdiriku, aku langsung berlari menuju toilet. Di dalam toilet, kucuci rambutku yang basah dan bau jus di wastafel. Isak tangis yang sedari tadi tertahan akhirnya keluar juga dan tak mampu kutahan lagi. Kuakui meskipun diluar aku terlihat kuat dan bisa melawan, tapi aku tidak sekuat itu sebenarnya. Aku hanyalah seorang perempuan yang sudah punya banyak masalah, tidak perlu ditambah dengan masalah-masalah tidak penting seperti itu
.
Kubasuh wajahku, dan memandanginya di cermin. Bahkan bekas tamparan itu masih tampak merah dan perih. Ini sungguh pertama kalinya bagiku, aku benar-benar tidak menyangka akan dilabrak dan dipermalukan di depan banyak orang seperti ini hanya karena seorang cowok. Aku menangis karena malu. Ini sangat memalukan. Tidak menyangka hari-hariku yang semula normal dan berjalan lurus-lurus saja, harus berubah hanya karena bertemu dengan seorang cowok bernama Angkasa.

***
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
peluk onlen Bintang 😢
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status