Share

10. Sorry

"Papa, Bi dapat peringkat dua di kelas." 

Gadis kecil berusia sembilan tahun berlari ke arah pria berusia tiga puluh delapan tahun yang tengah membaca koran di ruang tamu. Sang ayah yang dipanggilnya sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap pada kegiatannya membaca koran.

"Papa, lihat! Nilai Bi dapat sembilan semua." Gadis itu berseru lagi setelah dia berdiri tepat di depan sang ayah.

Lagi-lagi, sang ayah mengabaikan gadis kecil itu. Setitik air mata jatuh dari sudut mata gadis itu, namun segera diusapnya dan bibir mungilnya tetap menyunggingkan senyum lebar.

"Papa, Bi juga dapat hadiah dari Ibu guru. Papa mau lihat?" Gadis itu mengambil sebuah bingkisan dari tas biru muda nya. Tangan mungilnya sibuk membuka kertas yang membungkus bingkisan berbentuk kotak itu.

"Pa, Andro pulang."

Gadis itu menoleh, bersamaan dengan sang ayah yang bangkit dari duduknya dan menghampiri seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun yang baru masuk ke rumah itu dengan seragam putih biru.

"Kak Andro, Bi dapat peringkat dua. Bi juga dapat hadiah dari Bu Guru." Gadis kecil itu ikut menghampiri kakaknya. Sama seperti tanggapan sang ayah, anak laki-laki itu sama sekali tidak menghiraukan perkataan gadis itu.

"Gimana nilai kamu, Andro?" tanya sang ayah sambil mengusap kepala anak laki-laki itu.

Gadis kecil itu meremas pelan bingkisan yang dipegangnya. Ada rasa nyeri dan perih yang menyerang ulu hatinya, tapi gadis itu tidak tahu apa penyebabnya.

"Nilai Andro turun, Pa. Gara-gara sakit typus kemaren." Anak laki-laki itu menjawab dengan nada kecewa.

Sang ayah tersenyum hangat dan kembali mengusap kepala anak laki-laki itu. "Tidak apa-apa. Besok ke depannya kamu harus belajar lebih rajin lagi. Besok kamu sudah mulai libur kan? Ayo kita berdua liburan ke puncak. Kamu mau kan, Andro?"

Kertas pembungkus bingkisan itu telah basah oleh air mata gadis kecil yang bahkan sadar telah menangis. Hatinya mulai ragu bahwa sikap buruk ayah dan kakak laki-lakinya padanya bukan disebabkan oleh dia yang terlalu nakal. Tapi ada alasan lain.

#

Gadis kecil itu memeluk lutut di balik pintu, mendengarkan pembicaraan dua orang dewasa yang terhalang pintu dengannya.

"Mbak Bi minta ulang tahunnya dirayakan, Pak"

"Buat apa? Tidak ada gunanya!"

"Mbak Bi hanya ingin teman-temannya datang ke acara ulang tahunnya. Mbak Bi ingin seperti Mas Andro."

"Sudahlah, Bu Rini. Saya tidak mau membicarakan hal tentang anak itu. Saya sudah mencukupi semua kebutuhan dia, jadi tolong bilang sama dia untuk tidak meminta hal yang tidak-tidak." Hening sejenak. "Saya bisa saja membuang dia dari rumah ini, tapi saya tidak melakukannya karena saya masih punya rasa kemanusiaan. Kalau mau menuruti hati saya, sudah sejak lama saya ingin membawa dia ke panti asuhan saja. Bu Rini dan Pak Udin tahu sendiri kalau saya sangat membenci anak itu. Jadi tolong bilang sama dia untuk menjaga sikapnya."

"Tapi Mbak Bi adalah putri kandung Bapak."

"Tapi saya tidak pernah menginginkan anak itu. Dialah penyebab istri saya meninggal. Kalau istri saya menurut untuk menggugurkan anak itu, istri saya pasti masih hidup sekarang. Dia penyebab malapetaka dalam hidup saya. Dia juga yang telah membuat Andro tidak punya mama lagi. Hidup saya berubah karena dia. Karena anak itu!"

Hari itu aku baru memahami bahwa Papa dan Kak Andro membenciku. Bukan hanya membenci, tapi sangat sangat benci dan sangat tidak mengharapkan kehadiranku di dunia ini. Dulu kupikir mereka bersikap seperti itu karena aku terlalu nakal dan manja, sehingga aku berusaha bersikap baik, penurut dan tidak banyak meminta.

Lalu aku juga berpikir mereka seperti itu karena aku terlalu malas belajar dan tidak pernah jadi juara kelas, sehingga sejak kecil aku berusaha mati-matian untuk bisa berprestasi dan menjaga peringkat ku agar tetap berada di tiga besar. Tapi kenyataannya aku salah. Usahaku untuk menjadi anak baik dan berprestasi tidak berarti sama sekali bagi mereka. Itu hanya sia-sia karena bukan itu alasan mereka membenciku. 

Saat itu, aku memaksa Bu Rini menceritakan semuanya. Semuanya tentang Mama. Bu Rini bilang Mama terkena kanker rahim stadium lanjut dan baru mengetahuinya saat aku berumur dua bulan di kandungan Mama. Dokter menyarankan agar Mama menggugurkan kandungannya karena saat melahirkan nanti, nyawa mama taruhannya. Mama menolak, papa bersikeras membujuk mama menuruti saran dokter. Mama tidak mau mendengarkan siapapun dan tetap mempertahankan aku di rahimnya. Akhirnya saat kandungan Mama belum menginjak usia tujuh bulan, Mama melahirkan. Dan seperti dugaan dokter, Mama kalah dalam pertempuran antara hidup dan mati itu. Aku lahir prematur, Mama meninggalkan dunia untuk selamanya bahkan sebelum aku bisa melihat Mama.

Aku adalah penyebab malapetaka dalam hidup Papa. Aku adalah penyebab Kak Andro kehilangan Mama di usianya yang menginjak empat tahun. Aku adalah penyebab istri Papa meninggal. Kelahiranku adalah kesialan bagi mereka. Itu yang kutahu. Kenyataan itu kuketahui di malam ulang tahunku yang ke-tiga belas. Gadis berusia tiga belas tahun harus menelan mentah-mentah kenyataan pahit seperti itu. Gadis yang baru berusia tiga belas tahun yang belum mengerti apa arti kanker rahim, belum paham apa arti menggugurkan kandungan, belum tahu apa arti anak sial dan malapetaka, terpaksa harus memahami hal-hal seperti itu dalam hidupnya.

Bunyi getar singkat dari ponsel di saku rok membuyarkan lamunanku. Kuusap pipiku yang sudah basah oleh air mata yang mengalir tanpa mau dicegah. Kemudian tanganku merogoh saku rok untuk mengambil benda pipih persegi panjang berwarna silver itu. Aku menghela napas berat, masih pesan yang sama sejak pagi tadi. Sudah hampir sepuluh pesan dan tiga belas panggilan tak terjawab dari orang yang sama, yang ke semuanya sama sekali belum kubuka. Aku memejamkan mata sejenak, dan menekan tombol off pada layar ponsel. Aku sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk  berbalas pesan atau pun mengobrol lewat telepon sekarang. Jadi biarkan ponselku mati dulu.

Marah? Untuk apa aku marah pada Kak Viny? Kak Viny tidak salah apa-apa. Aku sama sekali tidak marah meskipun dia tidak sadar bahwa secara tidak sengaja semalam dia mengabaikanku. Secara tidak sengaja dia mengingkari janji untuk terus menganggap ku ada disaat Papa dan kKak Andro mengabaikanku. Kak Viny kehilangan ayah kandungnya saat berusia sepuluh tahun, dan aku paham betul kalau dia sangat merindukan sosok ayah. Karena itu aku bisa maklum saat semalam Kak Viny lupa akan kehadiranku saat bercengkrama manja dengan Papa. Aku sama sekali tidak marah padanya.

Hanya saja ... rasa sakit dan perih di ulu hatiku ini, aku tidak bisa menghilangkannya begitu saja. Rasa sakit itu terlalu besar untuk dihilangkan. Dadaku nyeri, hatiku teriris-iris, ulu hatiku perih, jantungku rasanya seperti tertusuk ribuan jarum. Semua rasa sakit itu yang membuat aku tidak bisa bersikap seperti biasa. Tapi sungguh, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bersikap biasa-biasa saja. Dan hasilnya aku hanya menanggapi apapun yang diucapkan Kak Viny sepanjang perjalanan ke sekolah, dengan anggukan dan gelengan kepala saja. Maaf kalau kak Viny sakit hati karena sikapku. Tapi kalau saja Kak Viny melihat bagaimana kondisi hatiku saat ini ....

"Ternyata lo di sini."

Aku menghapus air mata dengan cepat saat kudengar suara datar itu di dekatku. Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara, dan aku cukup tertegun melihat siapa yang tengah berdiri di depan tempat dudukku. Angkasa tengah berdiri menatapku tajam dengan ponsel di genggaman tangan kanannya. Mau apa dia? Aku sedang tidak ingin ada gangguan saat ini. Sungguh.

"Kenapa lo nggak angkat telepon dari Viny?"

Aku memandang sekilas ke arahnya, sebelum mengalihkan pandangan keluar jendela perpustakaan. "Bukan urusan lo." 

"Kalau punya masalah dan nggak mau kasih tau siapa pun, seenggaknya jangan buat orang lain kerepotan sama masalah lo."

Aku tetap tidak bergeming dan masih memandang ke arah langit yang mulai mendung. Semendung hatiku saat ini.

"Lo nggak bales SMS Viny, nggak angkat telepon Viny, bikin Viny khawatir. Sampe Viny berkali-kali telepon Bisma sama gue cuma buat minta tolong nyari adiknya yang manja dan egois. Lo bisa mikir nggak sih gimana perasaan Viny sekarang? Sampai kapan lo mau egois, manja, kekanak-kanakan terus, hah?!"

"STOP!" Nafasku terengah-engah sehingga bahuku naik-turun menatap tajam ke arah Angkasa yang masih berdiri di tempatnya. Dia yang kini terdiam setelah aku melempar buku novel ke arahnya. "Berhenti, gue bilang. Jangan pernah mencampuri urusan gue!"

"Gue sahabat Viny."

"Ya. Gue tau banget lo sahabat Kak Viny. Lo peduli sama perasaan Kak Viny, gue tau. Tapi bukan berarti lo bisa ngajarin dan ngatain gue seenaknya, seolah-olah lo punya hak buat itu." Aku mengusap dengan kasar pipi yang sudah basah oleh air mata, lagi.

Aku capek. Sangat capek dipandang sebagai satu-satunya orang yang paling bersalah dalam hal apapun.

"Lo nggak tahu apa-apa soal hidup gue, tolong. Kalau peduli sama sahabat lo itu, ya tenangin dia sana. Jangan malah mengusik gue gini."

"Karena lo yang bertanggung jawab atas ketidaktenangan dia."

"Kalau lo nyalahin gue, terus gue harus nyalahin siapa atas ketidaktenangan yang bikin gue mau mati ini? Elo? Elo mau gue salahin? Hah?!" Aku bisa melihat dia membelalakkan mata. Tapi aku tidak peduli.

"Lo nggak berhak menghakimi gue. Ini hidup gue. Ini sifat gue. Nggak akan ngaruh sama hidup lo yang sempurna itu. Jadi tolong, jangan ngomong sama gue lagi. Jangan natap gue. Karena itu bisa bikin gue tambah iri sama kesempurnaan dan limpahan kasih sayang yang diterima Kak Viny, berbanding terbalik dengan gue yang nggak punya siapa-siapa. Lo nggak akan tahu rasanya jadi gue. Cukup pergi, dan abaikan gue."

Setelah itu, kubenamkan wajah di atas lipatan tangan. Terjadi keheningan yang panjang. Aku kembali menangis. Kali ini, tidak peduli akan keberadaannya di dekatku. Orang seperti dia tidak akan tahu rasanya saat tidak diharapkan oleh siapa pun. Dia tidak tahu rasanya merasa sendiri, dan tercekik kesepian.

"Sorry."

Aku yang baru bisa menghentikan tangis setelah beberapa puluh menit, tersentak karena ternyata dia masih di sini. Tapi mengangkat kepala dan menatapnya, terlalu berat untukku. Jadi yang kulakukan hanya diam, berusaha tidak menghiraukannya.

"Tapi gue nggak bisa menjauh dari lo. Viny dan Tante Mona udah mempercayakan lo ke gue. Gue nggak peduli sebenci apa lo karena keberadaan gue. Sulit bagi gue buat jauhin lo, seperti beberapa hari ini. Karena itu mulai sekarang, suka nggak suka, gue tetep akan ada di dekat lo."

Setelah itu aku mendengar langkahnya bergema di lantai perpustakaan yang sepi. Aku mengangkat kepala, memandangi punggungnya yang menjauh, lalu menghilang di antara deretan rak buku. Kuremas rambutku yang berantakan. Benar-benar tidak mengerti seperti apa seorang Angkasa itu.

***
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sendy Zulkarnain
kasian bintang yah hidup nya gitu amat.. angkasa juga sok tau.. n ga je.. sikapnya... sebel gw ma c angkasa.. gw curiga jadi curiga c vinny asli nya jahat ama bintang kaya nya heheh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status