Share

BERBAIKAN

Julian menggeliat. Aku tersenyum melihatnya. Perlahan matanya terbuka dan tersenyum melihatku di sampingnya. Julian menyentuh wajah tirusku.

“Aku tidak sedang mimpikan?” tanyanya. Aku mengangguk dengan air mata berlinang. Julian menghapus air mataku, lalu duduk bersandarkan kepala tempat tidur kami. aku duduk semakin mendekat ke arahnya. Julian meraih kepalaku lalu meletakkannya di bahuku.

“Sekali-kali, aku ingin istriku manja padaku. Jangan aku terus yang bermanja padamu. Sekali-kali aku ingin kau berbagi beban denganku. Bukan aku terus yang membebanimu,” kata Julian. Aku mengangguk.

“Jangan pernah meminta pisah. Apapun masalah kita tidak akan pernah selesai dengan kabur apalagi dengan kata cerai. Tetap bersamaku, hadapi masalah bersama dan mencari solusi. Bukannya kabur setelah mengatakan kata cerai, aku ketakutan,” kata Julian. Aku mengangguk kemudian mendongak untuk menatapnya. Baru saja dia ingin bicara, langsung ku sentuh bibirnya memberikan isyarat agar dia diam saja. Biarkan untuk sementara waktu bergulir tanpa kami harus membahas masalah yang kami hadapi. Biarkan sejenak kami bahagia.

Tok.. tok.. tok..

Sebuah ketukan halus dari pintu kamar. Julian menatapku seolah bertanya siapa yang sedang menganggu kemesraan kami. Julian menarikku saat aku bangkit dari dudukku. Dia memberikan isyarat jangan buka sehingga orang beranggapan bahwa kami sedang istirahat. Aku memicingkan mataku lalu tertawa melihat tingkahnya yang cemberut. aku lalu membuka pintu kamar tanpa mau peduli dengan tatapan memohon Julian.

“Gimana keadaan Julian?” tanya ibu yang kini berdiri di depanku.

“Agak mendingan bu,” jawabku.

“Mau dibawakan sarapan atau kalian sarapan bersama kami?” tanya ibu.

“Sarapan bersama ibu. toh sejak kami menikah, kami tidak pernah berkumpul dengan keluarga ini,” kataku. Ibu mengangguk setuju.

“Kalau begitu segera bersiap. Semua sudah menunggu di meja makan,” kata ibu lalu pergi. Aku menutup pintu kamar dan berbalik menatap Julian yang cemberut.

“Ayo cepat sarapan,” kataku.

“Bukankah ibu menawarkan akan membawa makanan ke kamar? Kenapa tidak setuju dengan keinginan ibu,” katanya dengan tatapan memohon.

“Kau tidak ingin berkumpul dengan keluargaku?” tanyaku penuh selidik.

“Bukannya tidak mau. Tetapi bukan hari ini,” katanya merajuk.

“Lalu kapan?” desakku.

“Minggu depan, atau bulan depan atau mungkin tahun depan,” katanya membuatku merasa kalau sikap kekanak-kanakan Julian kembali. “Sampai mereka lupa insiden kemarin,” rajuk Julian. “Aku malu,” lanjut Julian. Aku tersenyum melihatnya penuh dengan permohonan.

“Sudah jangan rewel. Mereka menunggu kita. Kau ingin mereka kelaparan hanya untuk memenuhi permintaamu?” tanyaku. Julian belum juga mau bergerak dari tempatnya sampai akhirnya aku menarik tubuhnya. Julian bangkit dari tempat tidur dan berjalan dengan wajah tertunduk mengikutiku dari belakang. _...._

Sudah lima belas menit kami menikmati sarapan. Tidak seperti biasanya orang akan ribut tentang hal sepele saat sedang sarapan. Kali ini semua diam sampai kami menghabiskan makanan kami.

“Aku minta maaf,” ujar Julian memecah keheningan. Semua menatap ke arah Julian termasuk aku. “Aku belum bisa membahagiakan putri ayah dan ibu. tetapi aku berusaha keras untuk tidak menyakitinya,” lanjut Julian yang disambut senyuman oleh ayah dan ibu.

“Ayah tahu kau laki-laki yang baik. Kau pasti bisa membahagiakannya. Cepat atau lambat,” kata ayah.

“Ini rumah tangga kalian. Setiap pasangan punya caranya masing-masing menjalani rumah tangga. Hanya kalian yang tahu yang terbaik untuk kalian,” ujar ibu. aku dan Julian mengangguk.

Ibu dan ayah memang tidak pernah menunjukkan bahwa mereka punya masalah. Bahkan karena ketenangan ibu menghadapi masalah membuat ayah punya kekuatan untuk melewati segala tragedi dalam rumah tangganya. Harusnya aku tahu soal itu. Bahkan biduk rumah tangga kami hanya terkena riakan ombak saja, aku sudah mundur dan bahkan ingin biduk ini oleng atau bahkan terbalik. Aku masuh muda dalam hal ini. Masih perlu berjuang untuk melewatinya. _..._

Keadaan Julian sudah sembuh total karena itu aku memutuskan untuk pulang ke rumah kami. setidaknya masalah yang kami hadapi mempertemukan aku dengan keluargaku dan membuat aku sedikit paham mengenai rumah tangga. Aku melarang Julian mengendarai mobil. Meski dia sudah sembuh namun dia butuh istirahat, karena itu Julian duduk di jok sampingku mengemudi mobil. Sesekali aku menatap wajah polosnya yang sedang tertidur. Tidak ada rengekan, manja atau sifat menyebalkan lainnya. Meski begitu aku tetap merindukan tingkah anehnya. Mobil langsung aku parkir di garasi.

“Bangun. Kita sudah sampai,” kataku sambil menyentuh lembut bahu Julian. Julian menggeliat membuka matanya lalu dengan cepat menciumku. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

Saat tiba di teras rumah, saat aku membuka sepatuku lalu menyusunnya di rak sepatu. Tiba-tiba indera penciumanku mengendus bau busuk.

“Bau apa ini?” tanyaku. Julian menatapku dengan tatapan bersalah. Tiba-tiba hatiku yang tenang menyeruak. Ingin sekali mengamuk. Ingin ku cakar seluruh tubuh Julian. Seperti banteng yang mengamuk. Julian terlihat ketakutan dia bergidik lalu berlari masuk ke dalam rumah.

Aku berdiri dengan kaki lemas, menatap semua kekacauan yang Julian buat. Sampah berhamburan, bekas makanan diatas meja. Dengan langkah gontai aku masuk ke kamar dan mendapati Julian sedang berbaring di atas tempat tidur.

“Aku sedang tidak enak badan, aku tidak bisa membantumu untuk membersihkan rumah,” katanya meringkuk di balik selimut tanpa mau menghadapiku. Aku mengendus kesal lalu berbalik keluar kamar.

Sudah lebih tiga jam aku membersihkan rumah. Ada rasa lelah namun tetap saja aku berusaha untuk menyiapkan makan siang untuk Julian. Setelah semuanya siap, aku masuk ke kamar, ingin membangunkan Julian namun dari caranya menarik nafas aku tahu kalau Julian sedang terlelap dan aku tidak ingin menganggunya. Setelah dia bangun barulah kami makan siang.

Aku mengambil travel bag yang ada di dalam lemari. Mengelurkan satu persatu pakaianku dan menyimpannya di dalam travel bag. Semua pakaian bahkan kosmetikku sudah aku masukkan ke dalam travel bag.  

“Apa yang kau lakukan?” aku tersentak mendengar teriak Julian. Aku memegang dadaku erat, takut jantungku di dalam sana copot. Aku menatap Julian dengan tatapan tajam.

“Masa hanya karena rumah kotor kau ingin pergi lagi?” teriaknya lalu bangkit dari tempat tidur. Aku tidak peduli dengan kata-kata Julian, aku berlalu begitu saja. Julian mengejarku lalu menarik lenganku kasar saat tiba di depan kamar kami. Julian menatapku tajam namun bisa aku temukan bercak kesedihan dalam tatapan itu.

“Kau kenapa lagi? Seperti anak kecil saja,” kata Julian membuatku mengendus kesal. “Aku minta maaf. Aku hanya butuh sedikit istirahat. Kalau kau mau. Kau juga tinggal istirahat dan setelah itu aku akan membersihkan kekacauan yang aku buat sendiri,” lanjut Julian.

“Aku tidak bisa istriahat sementara rumah sangat kotor,” kataku kemudian menghempaskan tangan Julian yang masih memegang lenganku. _..._

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status