Share

BAB 9 I Lebih Baik Pergi

Disya menemani Via yang terlihat hancur hingga wajah rupawannya pucat pasih bagai tidak memiliki keinginan melanjutkan hidup. Melihat depresi yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, Disya pun terduduk di hadapan Via yang matanya menerawang. Dia menatap ponsel yang layarnya pecah tergeletak di atas lantai.

Tangannya gemetar ketika mengambil ponsel tersebut. Hatinya meyakini isi pesan pada ponsel itu adalah alasan Via berada dalam keadaan void. Benar seperti yang dia duga, pesan kiriman Sean juga membuat Disya terluka, bahkan dia merasakan marah yang membara.

Beraninya pria itu menyakiti sahabatnya dan membuangnya bagaikan sampah. Disya tidak terima, sungguh tidak akan dia maafkan.

“Via, oh … Via,” isak Disya sembari mengelus wajah sahabatnya yang sembab.

Mata Via menatap kosong ke tembok, air matanya kering, hanya ada sisa-sisa jejak tangis tadi.

“Dia tidak menginginkanku,” bisik Via dengan suara serak dan rendah. “Dia tidak menginginkan bayi ini.”

“Oh .. Via.” Disya tidak tahu harus mengatakan apa, hanya bisa ikut merasakan penderitaan sahabatnya. Lama keduanya duduk di lantai, tenggelam dalam kesedihan yang sama.

“Apa yang harus kulakukan?”

Pertanyaan tersebut lebih terdengar seperti orang putus asa bukan mencari jawaban.

“Bagaimana kalau kita liburan saja, dan menenangkan diri jauh dari kota,” kata Disya berusaha terdengar tegar. Dia menarik Via untuk berdiri dari tempat semula dan membawa gadis itu menuju kamar.

Via berbaring di atas kasur, dan membiarkan Disya melakukan apa saja tanpa sekali pun menoleh pada sahabatnya itu.

Disya hendak menelepon nomor Sean yang tertera di ponsel, sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak melakukannya karena hanya akan menambah lebar luka saja. Sehingga tanpa sadar dia mematikan ponsel tersebut lalu menyimpannya di laci.

Disya memutuskan untuk bergabung di kasur bersama Via dan memeluk sahabatnya yang dalam keadaan seperti jiwa dan raga terpisah. Keduanya diam tanpa sedikit pun suara hingga tertidur demi menutup hari itu.

………………………………………………………….

Via memasuki ruang atasannya di Luna Star. Pria di hadapannya menatap Via dengan tatapan bingung ketika gadis itu menyerahkan surat pengunduran diri secara tiba-tiba.

“Kau ingin keluar? Apa kau yakin?” tanya Hadley.

Via mengulas senyum tipis, senyuman yang tidak sampai ke mata. Wajah gadis itu terlihat sembab, walau sudah ditutupi make up, tetap saja jelas terlihat. Apa lagi gesture tubuhnya yang tidak seceria biasa.

“Aku sudah memikirkannya matang-matang. Maaf mengundurkan diri tiba-tiba, tetapi ini hanya alasan pribadi bukan sesuatu yang berasal dari perusahaan,” ucap Via dengan suara rendah sedikit tertunduk.

Hadley menghela napas dengan bahu sedikit menekuk ke bawah. Dia pun mengangguk tanpa bisa menahan Via yang tekatnya bulat.

“Kuharap kau bisa menunggu sampai CEO pulang, tetapi sepertinya aku tidak bisa menahanmu lebih lama lagi. Jadi, baiklah. Lapor ke HRD sebelum membereskan barang-barangmu. Hand over semua dokumen dan pekerjaanmu pada Keiza sebelum pergi,” jelas Hadley sembari mengizinkan Via untuk keluar ruangan.

Gadis itu berterima kasih sebelum beranjak pergi.

Saat membereskan barang-barang di meja kerja, Keiza berlari mendekat dan menatap Via bingung sedikit kecewa.

“Ada apa? Mengapa kau keluar?” tanya Keiza dengan nada sedikit panik.

“Alasan pribadi yang tidak bisa kujelaskan,” jawab Via masih sibuk memasukkan barang-barang yang bukan milik hotel ke dalam kardus.

“Lalu bagaimana denganku? Tanpa dirimu aku tidak bisa melakukan apa-apa.” Keiza menahan tangan Via yang hendak memasukkan figura ke kotak.

“Via, jangan seperti ini. Kumohon jangan pergi, siapa lagi yang akan menemaniku makan siang.” Tanpa malu Keiza menangis sembari menggengam lengan Via yang tergantung di udara.

Rasa sedih meliputi Via. Tadinya dia pikir tidak lagi ada emosi dalam jiwanya yang berantakan menjadi kepingan, tetapi ternyata dia masih memiliki simpati dan kesedihan.

“Maaf kan aku,” bisik Via dengan sebutir air mata luruh di pipi kiri. Dia menaruh figuranya dan menarik Keiza dalam pelukan. Berpikir bahwa mungkin ini adalah kali terakhir dia melihat rekan kerja yang benar-benar peduli padanya. “Tapi aku tidak bisa berada di Hotel ini lagi, kau harus bisa sendiri. Aku yakin karirmu akan cemerlang nanti, bahkan kau bisa mengambil posisiku.”

Pelukan Keiza semakin erat. Kedunya hanya berpelukan sebentar sebelum akhirnya Via memutuskan untuk sudah dan pamit keluar pada rekannya yang lain dengan mata berkaca-kaca meninggalkan Luna Star. Di luar gedung, dia menatap bangunan tinggi menjulang tersebut. Mengingat kembali masa-masa awal kepolosannya. Betapa naïf dia bermimpi bisa membuat Sean Reviano jatuh cinta dan menjadikannya prioritas.

Pria itu tidak beda dengan pria lain yang hanya mencari tubuh hangat sebagai teman tidur. Mulutnya teramat manis hingga Via tertipu kehangatan yang dia tunjukan. Semua itu tidak lebih adalah lakon yang pria itu jalankan sebagai aktor berbakat, hingga Via tanpa sadar menyerahkan hatinya utuh.

Via menunduk berjalan meninggalkan Luna Star, berharap ini kali terakhir dia mendengar nama Sean Reviano, lalu menghapus ingatan pria itu dari kepala dan hatinya yang masih tidak sepaham.

…………………………………..

Disya membantu Via membereskan baju-bajunya ke dalam koper. Mereka bekerja dalam hening sembari merapikan peralatan pribadi Via yang tidak ingin dia tinggalkan. Dua jam setelahnya tidak ada satu pun jejak barang-barang Via pernah mengisi apartemen mewah tersebut. Semuanya terlihat rapi sama seperti pertama kali Via menginjakan kaki di sana.

Ingatan Via membawa dia pada kenangan saat awal Sean membawanya ke sana sembari menciuminya tanpa henti seolah dia tidak pernah puas menyentuh. Tangannya yang hangat tidak pernah jauh dari tubuh Via, bahkan sengaja Sean berlama-lama di apartemen sebelum akhirnya berangkat kerja.

Begitu banyak kenangan manis di apartemen yang bukanlah milik Via pribadi, namun kini apartemen itu terlihat suram setelah diisi luka semalam. Via menggenggam erat gagang pintu sebelum keluar. Suara pintu tertutup seakan mengakhiri hubungannya dengan Sean dan menutup rapat kenangan mereka dalam ruangan yang kini terasa asing bagi Via. Dengan langkah berat sembari menarik napas, Via merelakan semua, melepas sesuatu yang bukanlah miliknya.

Seperti yang Sean katakan saat mengajaknya pindak ke apartemen.

“Tempat ini adalah rumah sementara untukmu, tinggallah di sini jadi aku bisa mengunjungi kapan saja.”

Ya, apartemen itu hanya sementara. Kini Via mengerti maksud Sean. Sebelumnya dia begitu tuli, tidak sekali pun mencerna perkataan pria itu. Merasa diri bagai Cinderella. Kenyataannya dia tidak lebih dari wanita simpanan. Betapa naïf.

Disya menarik tangan Via yang masih mematung di depan pintu apartemen, memandanginya penuh keengganan.

“Ayo Via, jemputan sudah tiba,” ucap Disya hati-hati sembari menarik sahabatnya menjauh dari tempat penuh kenangan itu.

Via berjalan auto pilot, dengan kepala penuh ingatan yang diputar berulang, walau pada akhirnya dia mengikuti Disya yang menuntunnya hingga ke lift, meninggalkan semua hal yang dia pikir adalah masa depan semu.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
dah pergi aja
goodnovel comment avatar
Rahayu Yussof
......menarik dan teruja utk seterusnya
goodnovel comment avatar
Natalia Luis Naik0
Via kau yg bodoh sngat dah tau msih mau mengharapkn lbih baik kau menghilng dri si Sean dan membesarkn ankmu pasti kau bisa yg penting niat baik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status