Axelle Zeroun baru saja meninggalkan gedung perusahaannya dengan perasaan dongkol. Dia melajukan cepat mobil yang dikendarai. Diingat kembali beberapa menit lalu, dirinya masih bersitegang, berseteru, mengenai status pernikahan dan status anak kandungnya di keluarga besar Zeroun Group. Zeroun ayahnya benar-benar keras kepala. Lelaki tua tersebut tak pernah mau menerima Freya, wanita yang ia pacari sejak masuk kuliah. Hingga sampai Freya hamil pun sang Ayah tak pernah menggubris. Zeroun selalu menggagalkan rencana pernikahan anaknya dengan sang kekasih. Tak ada cara selain menikahi Freya secara siri, demi nama baik keluarga Freya.
"Ayah, kenapa Ayah begitu keras kepala? Tidak kah Ayah kasihan pada Mirza, cucu Ayah. Dia sudah berusia sembilan belas tahun sampai sekarang, statusnya masih ikut catatan sipil keluarga Freya, Ayah. Tidak bisakah Ayah berlapang dada memasukkan identitas Mirza ke dalam keluarga kita?" tanya Axelle memelas.
Ini sudah kesekian kali lelaki maskulin tersebut memohon demi, memenuhi kebahagiaan sang istri. Freya sangat mengkhawatirkan keberadaan dan status anak semata wayangnya.
"Maaf Axelle, ayah tidak bisa!" jawab lelaki tua yang tengah duduk di singgasananya.
"Kenapa Ayah begitu keras kepala?" pekik Axelle.
"Tidak kah kamu cari tahu kebenarannya, mengapa aku sangat menentang hubungan kalian Axelle," ucap Zeround. Dia bangkit dari duduknya dan menggebrak meja kerjanya.
"Karena Freya miskin?" cemooh Axelle. "Ayah, aku tidak peduli dengan status sosial. Aku sangat mencintainya. Dia rela menikah siri denganku. Apa pengorbanan Freya selama ini belum cukup Ayah?" cerocos Axelle.
"Heh!" tawa Zeroun mengejek. "Kau dibutakan cinta, Nak, sadarkanlah dirimu!" cemooh Zeroun pada sang anak.
"Aku sangat bingung dengan apa yang Ayah pikirkan. Aku pamit pulang Ayah, kita bicarakan masalah ini lain waktu," ucap Axelle pasrah.
"Berhati-hatilah! Banyak buah kedondong yang terlihat mulus, tapi busuk di dalamnya," ujar Zeroun membuat Axele menelengkan kepala.
"Ayah, tidak sakit kan?" tanya Axelle dalam hati.
Sepoi angin menghantarkan Axelle ke alam nyata. Bayangan kejadian beberapa menit lalu lenyap bersamaan emosi yang mulai mereda. Semarah apapun Zeroun tetaplah ayah kandungnya. Orangtua satu-satunya yang masih ia punya. Mobil Axelle pelan melaju memasuki pekarangan rumahnya. Axelle dapat melihat sang istri duduk di teras depan rumah. Dia nampak berbincang dengan seorang lelaki yang duduk di sampingnya.
Freya langsung bangkit dari duduk, menghambur ke pelukan sang suami. "Selamat datang," ucap wanita berusia tiga puluh sembilan tahun tersebut. Axelle mengecup kening sang istri mesra.
"Ehems!" suara seorang lelaki mendehem. "Kalian tidak kasihan pada diriku yang seorang jomblo dari lahir," kelakarnya membuat Axelle dan Freya terkekeh.
"Maaf Marvel," ucap Axelle mendekat, dia duduk di kursi yang tadi sang istri duduki. "Kau lama menunggu?" tanyanya.
"Tidak, aku baru saja sampai," jawabnya. "Kenapa, ada masalah dengan ayahmu lagi?" selidik lelaki bernama Marvel tersebut.
"Aku akan buat kan kamu minum dulu, Sayang," ujar Freya menepuk pundak sang suami.
Axelle menoleh ke arah sang istri lalu mengangguk. Dia kemudian melanjutkan perbincangan dengan rekan kerjanya tersebut.
******
Mentari masih bersinar terang di sore hari. Panasnya masih perkasa membakar kulit. Peluh penat membanjir di tubuh gadis yang berlari tergopoh-gopoh. Masuk ke dalam perusahaan Zeroun Grup tersebut. Zeroun menyipitkan mata membuat keningnya semakin berkerut. Dia memberikan kode kepada kedua bodyguardnya agar berjalan menjauh.
"Hey, Nak, aku pernah melihatmu datang bersama Mirza kemari," sapa Zeroun.
Gadis tersebut menoleh ke arah samping kanan, di mana suara tersebut berasal. Dia membalikkan badan kemudian tersenyum. "Selamat sore kakek," jawabnya.
"Ada perlu apa kau di sini?"
"Ah! Saya hendak menemui tuan Axelle, tapi ternyata beliau sudah pulang. Mirza berkata di rumahnya ada lowongan pekerjaan paruh waktu sebagai asisten rumah tangga" jawabnya dengan ekspresi berubah-ubah. "Kakek sendiri sedang apa disini?Hah!" sang gadis memasang ekspresi terkejut. "Jangan-jangan kakek masih bekerja di usia senja kakek, anak anda durhaka sekali," keluhnya dengan mimik wajah khawatir.
Zeroun tertawa kecil, "Kemarilah Nak, ayo kita duduk dahulu dan berbincang, tidak enak berbicara sambil berdiri di lobi seperti ini," tawar Zeroun.
"Tidak bisa Kakek, saya sedang menunggu Mirza, dia sedang ke toilet melakukan tugas," jawab gadis tersebut yang memang selalu ramah terhadap orang tua.
"Kau tidak lelah berdiri lama di lobi sendirian seperti anak hilang?" tanya Zeroun.
"Tidak! Apa kakek lelah? Kakek bisa pulang dahulu," ucap sang gadis mengulas senyum.
Zeroun menggeleng, "Siapa namamu, Nak?" tanya Zeroun kemudian.
"Saya Auristela, Kakek, biasa dipanggil Stela," jawab gadis tersebut.
"Nama yang bagus, kau teman Mirza, kah?" telisik lelaki tua tersebut.
"Iya kami teman sekolah, dari SMP, SMA, bahkan kuliah pun bersama," ucapnya. Zeroun manggut-manggut mendengarnya.
"Stela!" teriak seorang pemuda.
"Wah, Kakek, itu teman saya sudah datang," ucap gadis bernama Stela berbinar.
"Kakek," ucap Mirza melongo. Pemuda tersebut langsung menyalami Zeroun. Stela seratus persen syok dibuatnya. Matanya mendelik, mulutnya membulat seperti huruf O. "Stela, perkenalkan ini Kakekku," ucap Mirza. "Tadi kalian sedang membicarakan apa?" tanyanya.
"Astaga, Kakek, maafkan kelancangan mulut ember saya," keluh Stela. "Astaga! Bagaimana bisa aku mengolok jika anaknya, itu durhaka," keluh Stela dalam hati. Dia langsung menyalami sang kakek, sembah sungkem memohon maaf. "Maafkan karena saya kurang ajar Kek," lanjutnya.
Mirza mengerutkan kening bingung.
Zeroun terkekeh, "Bangunlah Nak, kau ini lucu sekali. Mari kita pergi, akan aku antar kau ke kediaman putraku," ucapnya terkekeh.
Mirza menoleh ke arah Stela, gadis itu melengkungkan bibir ke bawah. Dia masih kebingungan tak dapat mencerna apa yang terjadi.
Di perjalanan Zeroun banyak bertanya, lebih tepatnya mengintrogasi Stela. Gadis tersebut menjelaskan singkat. Sang ibu telah wafat usai melahirkannya, sang ayah kabur kawin lagi dengan wanita lain. Dia kemudian tinggal bersama sang nenek. Tapi takdir begitu kejam, sang nenek meninggalkan untuk selamanya ketika dia masih duduk di bangku SMA. Stela bekerja pontang-panting sendirian, sebagai buruh cuci, maupun penjual makanan di pagi hari, demi menghidupi dan membiayai sekolahnya.
*****
Axelle dan sang istri terkejut melihat kedatangan Zeroun bersama Mirza. Mereka saling pandang, untuk pertama kalinya sang ayah datang ke kediamannya. Axelle menyambut dengan senyum. Tak lama dari dalam mobil keluar pula seorang gadis yang tak asing. Axelle sering melihatnya mampir bertemu Mirza, yang ia dan Freya tau namanya Stela, dia adalah teman sekolah Mirza.
Zeroun duduk dengan tegap di ruang tamu, suasana hening mencekam. Stela dan Mirza saling pandang.
"Mama, ini teman Mirza yang semalam kita bicarakan. Dia yang akan bekerja paruh waktu di sini," ucap Mirza memecah keheningan.
"Selama dia bekerja dengan rajin, itu tidak masalah," ucap Axelle yang berdiri di belakang kursi sang kakek.
"Tuan tenang saja, saya bisa bersih-bersih dan memasak," jawab Stella yang berdiri di samping Mirza.
"Iya, masakan Stela lebih enak dibandingkan masakan Mama," celetuk Mirza membuat Mama dan Papanya mendelik. Pemuda tersebut kemudian menundukkan kepala. Keheningan kembali terjadi, Zeroun menatap diam sang putra yang duduk berhadapan sambil, menyesap kopi buatan Freya.
"Kopi ini terlalu pahit," ujarnya kemudian.
"Saya akan menggantinya," jawab Freya hendak bangkit.
"Tidak perlu!" pekik Zeroun. "Aku sudah memikirkan matang-matang Axelle. Mirza akan mendapatkan hak waris dari keluarga Zeroun, dengan syarat," kata Zeroun serius.
"Syarat apa Ayah," ucap Axelle berbinar.
"Kau menikah secara resmi dengan Stela," celetuk sang kakek. Mereka semua sontak terkejut dibuatnya.
Bersambung….
Ruang tamu berubah menjadi seperti tempat perang, bukan perang senjata melainkan perang emosi. Axelle beranjak berdiri, berkacak pinggang mengucapkan sumpah serapah terhadap sang ayah. Sopan santun yang selama ini ia junjung tinggi seolah menghilang bersama luapan emosi memuncak. Dia merasa ketika sang ayah telah melebihi batas dalam mengurusi kehidupannya. Mirza berlari mendekat, dia memeluk sang papa dari belakang agar tidak menyerang sang kakek. "Hei, Pak Tua," pekik Axelle menekankan kata 'pak tua'. "Kau sudah tidak waras, kah? Bagaimana mungkin aku menikah secara resmi dengan gadis belia? Freya adalah istriku satu-satunya yang aku cintai," cerocos Axelle. "Kalian hanya menikah siri, ingat?" cemooh Zeroun. "Dasar anak durhaka! Tidak bisakah kau, menuruti keinginan terakhir ayahmu yang telah renta ini?" dengus Zeroun kesal. Dia beringsut membenarkan letak duduknya. "Aku tidak mau,
Axelle membuka pintu kamar dengan perasaan lesu. Bayangan wajah Stela, gadis muda yang secara tak sengaja harus terlibat dalam kemelut masalah keluarganya. Dia masih ingat benar wajah pasrah tak berdaya sang gadis. Zeroun, ayah terlalu menekan gadis tersebut. Bahkan beliau menghubungi pihak kampus tempat Stela kuliah. Dengan kekuasaannya, Zeroun meminta pada mereka untuk mengeluarkan gadis tersebut. Peringatan kecil bagi Stela lantaran menolak keinginannya. Gadis tersebut terdiam tanpa sepatah kata, tatapannya kosong, buliran air menggenang di pelupuk matanya. Stela berusaha tenang dan menahan semuanya. Napasnya sesekali terdengar berat. Betapa terpukulnya gadis tersebut. Axelle merasa sangat bersalah pada Stela, dia merangkum wajahnya dengan kedua tangan, menghilangkan semua bayangan wajah gadis lugu itu. Ditarik dasi, dan melepas jas yang ia kenakan. Berulang kali Axelle menghela napas berat. Jemari tangannya sibuk mengutak-atik kancing ujung kedua lengan hem y
Axelle nampak gagah dalam balutan set tuxedo warna putih yang ia kenakan. Rambut klimisnya tersisir rapi ke belakang. Dia memandang cermin di dalam kamar. Rasa bersalah melanda, tak pernah terpikir dia akan menduakan sang istri. Terlebih lagi pernikahan kali ini secara resmi. Axelle begitu diliputi ketidak berdayaan, di sisi lain dia melakukan demi anak. Di satu sisi lagi Axelle pasti melukai Freya pada akhirnya. Wanita itu selama ini menguatkannya, selalu di samping mendukung dalam setiap langkah. Axelle menghela napas panjang. "Sayang, kau belum berangkat?" tanya Freya saat keluar dari kamar mandi. Axelle menoleh ke arahnya. Wanita tersebut tersenyum manis sembari menggosok rambut basah dengan handuk kecil. Freya melepas mantel handuk, mengganti dengan dress setinggi lutut, berwarna biru nampak sintal. Payudara bagian atasnya menyembul seperti meluber keluar. "Freya, kau yakin akan mengizinkan aku menikahi gadis itu?"
Masih ada beberapa kerabat yang tengah sibuk membukakan kado, pemberian sahabat maupun relasi bisnis sebagai ucapan selamat kepada pernikahan Axelle dan Stela. Zeroun memandang gadis manis yang kini menjadi menantunya tersebut. Ada rasa bersalah bercampur rasa lega. Lelaki tua itu mengingat kembali malam hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Sang gadis kecil marah besar dan menolak. Namun, Zeroun membuatnya tak berkutik. Dengan kekuasaannya, lelaki tua itu menghubungi pihak kampus. Alhasil Stela dikeluarkan dengan paksa. Mata bening gadis tersebut berkaca, air mata meleleh, Stela terdiam seribu bahasa tak berkomentar lagi. Dia akhirnya berjalan gontai menuju kamar yang telah Zeroun persiapkan. Gadis itu meringkuk di tengah ranjang. Hidungnya memerah, matanya sembab dalam kelelahan. Zeroun mengurut dada berpikir perbuatannya terlalu kejam. Lelaki tua itu sempat ingin membatalkan niatnya. Dia melangkah keluar kamar tersebut dengan hati g
Axelle masih tertegun mendapati tubuh mungil tersebut. Stela nampak menggoda dalam balutan lingerie hitam yang terkesan menerawang, memperlihatkan lekuk ramping tubuhnya. Seharusnya ia tidak menarik selimut. Akan tetapi ia tidak bermaksud kurang ajar, dia hanya ingin berbicara dengan bertatap muka. Tidak pernah terbayang Stela berpakaian sesexy itu. Jiwa lelakinya berkobar, sebagai lelaki normal dirinya tidak dapat memungkiri ketertarikan yang membelenggunya kini. Wajah Axelle memerah, dia memalingkan wajah, menelan ludah membuat jakunnya bergerak naik turun. Dihela napas panjang berat. Stela langsung menarik kembali selimut di tangan Axelle. Lelaki itu sadar seketika dari lamunan sesaatnya. Stela beringsut duduk, membalutkan selimut ke tubuh. Kali ini kepala sampai badan tertutup rapat, hanya bagian wajah yang terlihat. "Sudah saya katakan jangan tarik selimutnya," dengkus Stela. "Maa
Angin dingin di pagi hari berhembus mesra, menelusup masuk dari sela-sela ventilasi. Tangan nakal Axelle masih mengelus mesra pipi istri barunya. Stela sendiri mendelik saking terkejut. Gadis tersebut tengah menahan kantuk di sela doanya dan tiba-tiba dikejutkan dengan adanya tangan hangat berotot membelai pipi. Tubuh Stela melonjak, netra keduanya saling bertemu pandang. Debaran jantung masih terasa bergejolak. Rasa terkejut Stela perlahan menghilang, pandang masih tertuju pada mata bening suami barunya. Tidak ingin terlalu terhanyut akan pesona tampan yang tak mampu Stela elak. Gadis tersebut menutup mata, menghela napas panjang. Dia mengelus dada berulang kali, mencoba berpikir jernih. "Ada yang bisa Stela bantu, Om?" tanyanya. "Ah, maaf," kata Axelle, lelaki itu celingukan. Dia merasa malu akan tingkah spont
Hari pertama sebagai pasangan suami istri yang baru menikah, dilalui Axelle dan Stela dengan cukup berat namun, ledekan demi ledekan berakhir dengan perginya para kerabat yang berpamitan pulang. Saat itu Axelle berencana untuk kembali ke kediamannya. Akan tetapi ada saja alasan yang membuat ia tak dapat beranjak. Mulai dari Zeroun yang tiba-tiba pingsan mendadak. Saking terkejutnya Axelle panik, Stela yang melihat suaminya kelabakan berusaha menenangkan dengan kata-kata yang terdengar manja. Kepala pengurus rumah tangga, seorang wanita bertubuh gempal dengan tinggi hanya 155 cm, berusaha tenang di antara kerusuhan yang terjadi. Dia menghubungi dokter pribadi keluarga. Di usia tuanya Zeroun masih saja mengkhawatirkan banyak hal. Dia hanya butuh istirahat lantaran kelelahan dan banyak pikiran. Kata dokter yang memeriksa. Seorang lelaki tampan, maskulin mirip aktor korea yang sering wara-wiri di saluran tv.
Sudah hampir satu minggu Axelle melakukan pekerjaan di rumah utama keluarga Zeroun. Zeroun tidak memperbolehkan Axelle berangkat ke kantor, lelaki tua tersebut menyuruh anaknya istirahat selama seminggu. Untuk sementara pekerjaan di lakukan di rumahnya jika ingin. Kali ini dia menuruti titah sang ayah. Seperti yang dokter katakan, demi kesehatannya. Bukan hanya itu, Axelle merasa seperti tersihir menikmati waktu di ruang kerja bersama Stela. Ia tak sabar mendengar cerita-cerita yang selalu ada saja untuk dibahas. Ruang kerja yang biasanya senyap berubah ramai. Namun, ada kala keduanya saling diam, fokus pada pekerjaan masing-masing. Stela sibuk menggambar di kertas, karena penasaran Axelle mendekat. Dia mendapati banyak coret-coretan gambar komik. Gambar yang sangat bagus, Axelle mengingat masa kecilnya. Dahulu ia sering meminta buku komik pada almarhum sang ibu. Axelle tersenyum dan mengambil satu lembar kertas hvs. Gadis itu masih sibuk dengan pe