Axelle nampak gagah dalam balutan set tuxedo warna putih yang ia kenakan. Rambut klimisnya tersisir rapi ke belakang. Dia memandang cermin di dalam kamar. Rasa bersalah melanda, tak pernah terpikir dia akan menduakan sang istri. Terlebih lagi pernikahan kali ini secara resmi. Axelle begitu diliputi ketidak berdayaan, di sisi lain dia melakukan demi anak. Di satu sisi lagi Axelle pasti melukai Freya pada akhirnya. Wanita itu selama ini menguatkannya, selalu di samping mendukung dalam setiap langkah. Axelle menghela napas panjang.
"Sayang, kau belum berangkat?" tanya Freya saat keluar dari kamar mandi. Axelle menoleh ke arahnya. Wanita tersebut tersenyum manis sembari menggosok rambut basah dengan handuk kecil. Freya melepas mantel handuk, mengganti dengan dress setinggi lutut, berwarna biru nampak sintal. Payudara bagian atasnya menyembul seperti meluber keluar.
"Freya, kau yakin akan mengizinkan aku menikahi gadis itu?" tanya Axelle, lelaki tersebut menatap nanar sang istri.
Freya berjalan mendekat ke arah meja rias. Dia melingkarkan kedua tangan pada leher sang suami. Menggelayut badan manja. "Semua demi anak kita, Sayang. Lagi pula kau hanya menikahinya, setelah kita dapatkan hak Mirza, kau bisa menceraikannya," tutur Freya.
"Aku paham benar hal tersebut, akan tetapi bagaimana dengan dirimu, kau terlalu banyak menanggung rasa sakit selama ini," keluh Axelle. Lelaki tersebut memeluk Freya hangat.
"Aku baik-baik saja, Sayang. Pergilah, nanti kau terlambat," ucap Freya.
Axelle merangkum wajah sang istri, mencium kening dan beralih melumat bibir ranum tersebut. Freya membalas balutan bibir sang suami dengan girang. Keduanya saling memberi dan menerima, saling bertukar saliva masing-masing. Merengkuh setitik kebahagiaan dan rasa sayang. Kecapan bibir keduanya menggema di ruang kedap suara tersebut. Keduanya berhenti di saat kadar oksigen yang mereka hirup menipis. Axelle memeluk Freya sekali lagi sebelum benar-benar melepas badan sexy sang istri.
"Aku pamit," ujar Axelle.
Lelaki tersebut melengos pergi, meninggalkan sang istri. Sesuai permintaan sang ayah, Axelle harus berangkat sendiri tanpa Freya maupun Mirza putranya. Mobil milik sang ayah telah terparkir di teras rumah. Axelle sampai menggelengkan kepala. Betapa berhati-hatinya sang ayah.
"Papa, aku akan ikut," ujar Mirza berteriak. Pemuda itu sedikit berlari ke luar rumah menghampiri ayahnya.
"Kau tidak bisa ikut Mirza, tolong mengerti posisiku sekarang. Jangan semakin mempersulit keadaan," ucap Axelle menepuk pundak putranya.
"Tapi, Pa," ucap Mirza terhenti.
"Sayang, jangan membuat Papa kamu kesulitan. Semua kami lakukan demi masa depan kamu," ujar Freya yang telah berdiri di belakang putranya.
"Aku tidak mengharapkan apapun kecuali kebahagiaan keluarga kita. Saat ini bagiku sudah cukup, aku tidak mengharap warisan ataupun gelar, aku ..." Mirza menundukkan kepala.
"Nak, jangan berkata demikian, toh Papa hanya akan menikahi Stela sampai, kakekmu memasukkan nama kamu dalam daftar keluarga Zeroun. Setelah semua selesai. Papa dan Stela akan berpisah," tutur Freya.
Axelle menatap Freya, dia sangat terharu akan ketegaran wanita tersebut. Dihela napas panjang untuk kemudian memeluk hangat anak dan istrinya. Sangat berat terasa, ingin Axelle mengumpat sang Ayah hingga puas. Namun, umpatan tak akan membuat semuanya terselesaikan. Hanya menambah masalah yang belum terselesaikan.
"Aku pamit ya," ucap Axelle mengecup kening sang istri. Untuk kemudian Mirza menyalami sang Papa.
"Hati-hati Papa," ucap Mirza. Axelle mengangguk dan masuk ke dalam mobil.
*****
Hiruk pikuk kerumunan orang-orang nampak terlihat dari kaca mobil, yang membawa Axelle masuk ke rumah utama keluarga besar Zeroun. Lelaki sexy tersebut terlihat gugup, turun dari dalam mobil. Ada beberapa wartawan di sana, langsung menghambur lari ke arahnya mengambil foto Axelle. Lelaki tersebut berusaha tersenyum manis ke arah kamera. Kecanggungan ia tutup baik-baik. Beberapa relasi bisnis datang menyapa memberi selamat.
Dia menyapa seadanya, untuk kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Dekorasi minimalis terpampang indah di sudut dinding. Bunga-bunga segar menjadi hiasan indah, harum semerbak. Tirai warna cream bercampur putih terpasang menutupi dinding-dinding dan pilar di ruang tamu rumah tersebut. Di sudut lain nampak empat buah kursi tertutup kain warna putih. Ada meja di tengahnya, dengan hiasan bunga mawar merah segar bergerombol di dalam pot bening. Kerabat mendekat ke arah Axelle, semua orang mengucapkan selamat dan berbahagia. Yah, mereka yang memang tak pernah tahu-menahu mengenai pernikahan siri lelaki tersebut bersama Freya. Hanya ayah dan sahabat dekatnya Marvel yang tahu tentang hubungan rumit tersebut.
"Kau melihat Ayahku?" tanya Axelle pada Marvel.
"Dia ada di kamar mempelai perempuan," jawab Marvel. "Selamat atas pernikahanmu ya," kelakar Marvel terkekeh.
"Ingin aku tonjok?" kata Axelle terjeda, "kau paling paham mengerti posisi sulitku, kenapa ucapanmu seolah bahagia melihat penderitaanku?" keluh Axelle kemudian.
"Justru karena aku tahu kebenarannya sobat," cecar Marvel masih menahan tawa.
"Marvel Alister, mau kau gantikan posisiku menikah dengan gadis belia?" keluh Axelle.
"Jangan berpikir untuk kabur, kau akan mempersulit posisi istri dan anakmu nanti," saran Marvel. "Lagi pula, Freya tidak keberatan karena dia pasti percaya denganmu. Kau dan Stela juga akan berpisah ketika keinginan kalian terwujudkan," imbuh Marvel menjelaskan.
"Aku akan ke atas mencari Ayah," dengkus Axelle kesal. Marvel terkekeh menatap sahabatnya yang melengos pergi.
Tak butuh waktu lama untuk menuju tempat yang di maksud. Axelle sudah dapat bersua Zeroun di lantai dua, tanpa harus susah payah naik ke lantai tiga. Keduanya berjalan, semakin dekat. Mereka berdiri tegak saling menatap. Aura berubah dingin seketika membuat tiga orang bodyguard yang mengekor di belakang Zeroun merinding.
"Ayah, kenapa ada wartawan juga di bawah?" keluh Axelle.
"Memang kenapa jika aku ingin mengumumkan pernikahan putra tunggalku?" kata Zeroun dengan mimik wajah pura-pura terharu.
"Ayah, berhentilah bersikap menjijikan. Aku tidak akan termakan ucapan konyol yang tidak sesuai dengan umur Ayah," cemooh Axelle.
Zeroun terbahak, "Kau ini benar-benar," ucapannya kemudian. "Aku hanya mengundang beberapa wartawan dan kerabat serta relasi bisnis terdekat saja. Sesuai permintaanmu, pestanya aku buat sesederhana mungkin. Mari kita turun, ijab qobul akan segera dimulai," terang Zeroun tak mau kalah.
Axelle menggelengkan kepala, mendengkus kesal. Ia kemudian berjalan turun tangga berdampingan dengan sang Ayah, menuju kursi yang tertata rapi. Mereka kemudian duduk di tempat masing-masing. Tak lama muncul gadis manis yang terlihat cantik dalam balutan kebaya putih dan jarik batik. Rambutnya tertutup jilbab dengan mahkota berlian di kepala, yang membuat para hadirin terpesona. Axelle menatap dalam ke arah Stela. Hatinya tak dapat memungkiri akan kecantikan gadis belia tersebut. Axelle menghela napas panjang. Ia merasa sedikit gugup, tak pernah ia segugup ini bahkan dengan pernikahan bersama Freya terdahulu. Upacara pernikahan dilaksanakan beserta hadirnya wali hakim yang menjadi pendamping Stela. Tangan Axelle sedikit gemetar kala ia berjabat tangan dengan penghulu, beruntung saat mengucapkan kalimat ijab dengan bahasa arab terucap lancar. Kini Axelle dan Stela sah menjadi suami istri.
"Ayah, aku akan pulang," bisik Axelle menjelang tengah malam.
"Kau menginap disini sampai seminggu ke depan!" perintah Zeroun. Axelle menatap tajam Ayahnya.
Bersambung….
Masih ada beberapa kerabat yang tengah sibuk membukakan kado, pemberian sahabat maupun relasi bisnis sebagai ucapan selamat kepada pernikahan Axelle dan Stela. Zeroun memandang gadis manis yang kini menjadi menantunya tersebut. Ada rasa bersalah bercampur rasa lega. Lelaki tua itu mengingat kembali malam hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Sang gadis kecil marah besar dan menolak. Namun, Zeroun membuatnya tak berkutik. Dengan kekuasaannya, lelaki tua itu menghubungi pihak kampus. Alhasil Stela dikeluarkan dengan paksa. Mata bening gadis tersebut berkaca, air mata meleleh, Stela terdiam seribu bahasa tak berkomentar lagi. Dia akhirnya berjalan gontai menuju kamar yang telah Zeroun persiapkan. Gadis itu meringkuk di tengah ranjang. Hidungnya memerah, matanya sembab dalam kelelahan. Zeroun mengurut dada berpikir perbuatannya terlalu kejam. Lelaki tua itu sempat ingin membatalkan niatnya. Dia melangkah keluar kamar tersebut dengan hati g
Axelle masih tertegun mendapati tubuh mungil tersebut. Stela nampak menggoda dalam balutan lingerie hitam yang terkesan menerawang, memperlihatkan lekuk ramping tubuhnya. Seharusnya ia tidak menarik selimut. Akan tetapi ia tidak bermaksud kurang ajar, dia hanya ingin berbicara dengan bertatap muka. Tidak pernah terbayang Stela berpakaian sesexy itu. Jiwa lelakinya berkobar, sebagai lelaki normal dirinya tidak dapat memungkiri ketertarikan yang membelenggunya kini. Wajah Axelle memerah, dia memalingkan wajah, menelan ludah membuat jakunnya bergerak naik turun. Dihela napas panjang berat. Stela langsung menarik kembali selimut di tangan Axelle. Lelaki itu sadar seketika dari lamunan sesaatnya. Stela beringsut duduk, membalutkan selimut ke tubuh. Kali ini kepala sampai badan tertutup rapat, hanya bagian wajah yang terlihat. "Sudah saya katakan jangan tarik selimutnya," dengkus Stela. "Maa
Angin dingin di pagi hari berhembus mesra, menelusup masuk dari sela-sela ventilasi. Tangan nakal Axelle masih mengelus mesra pipi istri barunya. Stela sendiri mendelik saking terkejut. Gadis tersebut tengah menahan kantuk di sela doanya dan tiba-tiba dikejutkan dengan adanya tangan hangat berotot membelai pipi. Tubuh Stela melonjak, netra keduanya saling bertemu pandang. Debaran jantung masih terasa bergejolak. Rasa terkejut Stela perlahan menghilang, pandang masih tertuju pada mata bening suami barunya. Tidak ingin terlalu terhanyut akan pesona tampan yang tak mampu Stela elak. Gadis tersebut menutup mata, menghela napas panjang. Dia mengelus dada berulang kali, mencoba berpikir jernih. "Ada yang bisa Stela bantu, Om?" tanyanya. "Ah, maaf," kata Axelle, lelaki itu celingukan. Dia merasa malu akan tingkah spont
Hari pertama sebagai pasangan suami istri yang baru menikah, dilalui Axelle dan Stela dengan cukup berat namun, ledekan demi ledekan berakhir dengan perginya para kerabat yang berpamitan pulang. Saat itu Axelle berencana untuk kembali ke kediamannya. Akan tetapi ada saja alasan yang membuat ia tak dapat beranjak. Mulai dari Zeroun yang tiba-tiba pingsan mendadak. Saking terkejutnya Axelle panik, Stela yang melihat suaminya kelabakan berusaha menenangkan dengan kata-kata yang terdengar manja. Kepala pengurus rumah tangga, seorang wanita bertubuh gempal dengan tinggi hanya 155 cm, berusaha tenang di antara kerusuhan yang terjadi. Dia menghubungi dokter pribadi keluarga. Di usia tuanya Zeroun masih saja mengkhawatirkan banyak hal. Dia hanya butuh istirahat lantaran kelelahan dan banyak pikiran. Kata dokter yang memeriksa. Seorang lelaki tampan, maskulin mirip aktor korea yang sering wara-wiri di saluran tv.
Sudah hampir satu minggu Axelle melakukan pekerjaan di rumah utama keluarga Zeroun. Zeroun tidak memperbolehkan Axelle berangkat ke kantor, lelaki tua tersebut menyuruh anaknya istirahat selama seminggu. Untuk sementara pekerjaan di lakukan di rumahnya jika ingin. Kali ini dia menuruti titah sang ayah. Seperti yang dokter katakan, demi kesehatannya. Bukan hanya itu, Axelle merasa seperti tersihir menikmati waktu di ruang kerja bersama Stela. Ia tak sabar mendengar cerita-cerita yang selalu ada saja untuk dibahas. Ruang kerja yang biasanya senyap berubah ramai. Namun, ada kala keduanya saling diam, fokus pada pekerjaan masing-masing. Stela sibuk menggambar di kertas, karena penasaran Axelle mendekat. Dia mendapati banyak coret-coretan gambar komik. Gambar yang sangat bagus, Axelle mengingat masa kecilnya. Dahulu ia sering meminta buku komik pada almarhum sang ibu. Axelle tersenyum dan mengambil satu lembar kertas hvs. Gadis itu masih sibuk dengan pe
Marvel menatap sang sahabat dalam. Ia tahu benar apa yang dipikirkan Axelle, di satu sisi dia merindukan istri beserta anaknya. Di sisi lain ia mengkhawatirkan sang ayah. Angin berhembus masuk lewat jendela kaca besar dengan ukiran indah, yang terbuka lebar. Kain gorden berwarna hijau botol motif bunga mawar merah besar, berkelebatan tersapu angin. Hari sudah mulai sore, namun panas sang surya masih mengusik. "Axelle, jangan terlalu ketus dengan Ayahmu. Walau bagaimanapun dia orang tua satu-satunya yang masih kau miliki. Jangan sampai kau menyesal setelah kehilangan dia," keluh Marvel. "Aku paham benar Marvel, berhentilah menceramahi, kepalaku pening," keluhnya. "Mau aku buat pening kamu menghilang?" tanya Marvel cengengesan. "Bagaimana kalau kita minum wine. Lama kita tak minum bersama. Stok wine di rumah kamu pasti banyakkan?" kata Marvel tersenyum lebar. Kerlingan matanya me
Axelle semakin mendekatkan tubuh. Napasnya menyapu pipi Stela, membuat gadis tersebut merinding. Jarak mereka hanya tinggal satu inci saja. Dia masih syok terkejut tak percaya, mendapat kecupan-kecupan mesra pada pipi dan bibir dari sang suami. Ia mencoba mendorong jauh tubuh suaminya, tapi gagal. Tangan berotot tersebut melingkar di pinggang. Axelle sendiri seperti kehilangan akal. Dia begitu terpedaya akan bibir Stela yang sedari tadi menganggu pikirannya. Semenjak adegan ciuman yang tak ia sengaja lihat, bayangan Stela seakan menari di pikiran. "Om, tolong lepaskan saya," ketus Stela memasang raut khawatir. "Kenapa, kau bahkan memperbolehkan Mirza mencium bibirmu," celetuk Axelle. "Saya tidak membiarkannya, dia yang menarik saya," jelas Stela semakin gusar. "Kalau begitu, bagaimana jika aku yang suami kamu ini," kata Axelle meracau. "Menarikmu dan meminta bi
Sunyi, gambaran keheningan di antara sepasang suami istri tersebut. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Axelle merasa bersalah pada gadis muda tersebut. Ingin ia mengelus punggung yang ada di hadapannya. Antara ragu dan tidak, terbesit dalam pikiran konyolnya. Walau bagaimanapun mereka telah sah menjadi sepasang suami istri. Tak ada yang salah ia menyentuhnya. Lelaki mana yang tak akan tergoda ketika secara terus menerus mendapat kesempatan. Menyesal atau tidak pada akhirnya Axelle tidak perduli, wine membuatnya semakin hilang akal. Dia meraih tubuh mungil itu dalam dekapan. Stela sedikit melonjak saking terkejut. Gadis itu akhirnya mendiamkan saja, melawan pun sepertinya tidak akan berhasil. Asal tidak melebihi batas, dia akan mencoba menerima. Tangan berotot Axelle terasa hangat mendekapnya. Membuat jantung Stela berdebar kencang tak beraturan. Ia tidak pernah membayangkan, tidur dalam dekapan seseorang akan sedamai ini. Stela merasa a