Masih ada beberapa kerabat yang tengah sibuk membukakan kado, pemberian sahabat maupun relasi bisnis sebagai ucapan selamat kepada pernikahan Axelle dan Stela. Zeroun memandang gadis manis yang kini menjadi menantunya tersebut. Ada rasa bersalah bercampur rasa lega. Lelaki tua itu mengingat kembali malam hari sebelum acara pernikahan berlangsung. Sang gadis kecil marah besar dan menolak. Namun, Zeroun membuatnya tak berkutik. Dengan kekuasaannya, lelaki tua itu menghubungi pihak kampus. Alhasil Stela dikeluarkan dengan paksa. Mata bening gadis tersebut berkaca, air mata meleleh, Stela terdiam seribu bahasa tak berkomentar lagi. Dia akhirnya berjalan gontai menuju kamar yang telah Zeroun persiapkan. Gadis itu meringkuk di tengah ranjang. Hidungnya memerah, matanya sembab dalam kelelahan.
Zeroun mengurut dada berpikir perbuatannya terlalu kejam. Lelaki tua itu sempat ingin membatalkan niatnya. Dia melangkah keluar kamar tersebut dengan hati gundah. Pikirannya kacau, ingin dia meraih sang putra kembali. Dia pun bertekad, tegar, dihela napas panjang dalam. Zeroun memandang ke arah kerabat jauhnya. Mereka menyambut bahagia pernikahan dadakan itu. Rasa bersalahnya sedikit berkurang kala menilik Stela, yang tanpa perlawanan di rias dengan sangat anggun dan cantik.
"Maafkan orang tua egois ini, Nak," ujar Zeroun, menatap Stela dari cermin.
"Mulai sekarang saya akan berpikir realistis kakek. Mau melawan juga tidak akan berguna, kan," keluh Stela. Kalimat yang benar-benar menohok mengena pada Zeroun.
Gelak tawa menggema membuyarkan lamunan Zeroun, lelaki tua tersebut menoleh ke arah sepasang pengantin baru yang tengah menjadi bulan-bulanan kerabatnya. Lelaki tersebut tersenyum melihat gadis muda itu hanya tertunduk malu.
"Berhentilah menggoda mereka, biarkan sepasang pengantin ini istirahat," ucap Zeroun membuat ketiga bibi Axelle itu terdiam.
"Aku tahu kakak, aku sangat bahagia. Akhirnya bujang lapuk ini menikah juga. Aku sempat khawatir dia penyuka sesama jenis," kelakar seorang wanita paruh baya mengenakan kebaya warna biru muda tersebut.
Stela terlihat menutup mulut dengan jari-jemari lentiknya, menahan tawa. Axelle sendiri menggeleng kepala menahan ketidak berdayaan. Lelaki itu memandang sang Ayah dalam. Zeroun mengerti maksud sang anak menyingkir dari kerumunan. Dia menuju ke balkon yang ada di lantai dua. Selang tak lama Axelle muncul.
"Kenapa?" tanya Zeroun basa-basi, padahal ia sudah tahu maksud sang anak.
"Aku akan pulang, Ayah setuju atau tidak, aku tetap akan pulang," dengkus Axelle.
"Baiklah, aku tidak akan melarangmu. Silahkan kau pulang temui wanitamu, jika kau ingin mempermalukan gadis yang kini menjadi istri sahmu," terang Zeroun dengan santai. "Kau pikir bagaimana tanggapan para kerabat jika mereka melihatmu pergi meninggalkan wanita yang baru saja kau nikahi? Jika tidak ingin memikirkan dirimu, pikirkanlah perasaan gadis itu," lanjutnya memprovokasi.
"Benar-benar keterlaluan, kenapa Ayah selalu menempatkan aku pada posisi sulit?" pekik Axelle.
"Aku tidak pernah menempatkan dirimu pada posisi sulit. Kau sendiri yang salah jalur sejak awal, aku hanya berusaha meluruskan, agar saat kau jatuh nanti tidak terlalu sakit," kata Zeroun datar. "Semua tergantung keputusanmu, pergilah jika ingin pergi aku tidak akan melarang," imbuh Zeroun. Lelaki tersebut melenggang pergi dengan langkah panjangnya.
Axelle meraup wajah, bingung, dia kemudian mengambil ponsel di saku celananya, mengabarkan pada Freya bahwa ia tak dapat pulang malam ini. Beruntung Freya sangat percaya padanya, wanita tersebut tak pernah sekalipun marah ataupun kesal pada sikap mertuanya. Mereka sama-sama saling memahami, karena sejak awal pernikahan jua sangat berat terasa. Axelle berjalan menelusuri koridor, naik ke lantai tiga, yang merupakan kamarnya terdahulu ketika ia masih muda. Lelaki itu membuka pintu.
"Aaa?!" teriak Stela yang langsung menutup bagian payudaranya yang terbuka. Axelle langsung membalikkan badan. Dia tak mungkin keluar kamar sekarang. Jalan terbaik satu-satunya adalah masuk ke kamar mandi.
"Maafkan aku," ujar Axelle melengos, menutup pintu kamar mandi dengan kasar.
Lelaki tersebut masih terkejut sangat, melihat gadis muda yang baru dinikahinya hampir bertelanjang dada. Rambutnya basah kuyup. Dipastikan Stela baru saja usai mandi dan tengah mengganti pakaian. Tubuh mulus terpampang jelas, payudaranya terlihat ranum dan kencang, meski ukurannya tak sebesar milik Freya. Paha mulusnya begitu menggiurkan untuk di sentuh. Wajah Axelle merah padam memikirkan bayangan gadis muda tersebut.
"Astaga! Apa yang aku pikirkan?" keluh Axelle. Dia melucuti semua pakaian yang dikenakan. Kemudian mengguyur badan dengan air dingin yang mengalir lewat shower. Axelle berusaha menghilangkan bayang-bayang tubuh sang gadis nan kencang menggoda tersebut.
Axelle keluar kamar mandi, mengenakan mantel handuk. Dia menghela napas panjang, berjalan mendekat ke arah istri yang baru ia nikahi. Gadis itu menutup rapat tubuh kecilnya dengan selimut.
"Stela, maafkan aku, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu jika kamu berada di kamar ini," keluh Axelle. Lelaki itu duduk di sudut tempat tidur.
"Tidak apa," jawab Stela singkat. "Anggap saja kejadian baru saja tidak pernah terjadi," imbuhnya. "Tuan bisa istirahat dengan tenang," lanjutnya masih membekap tubuh dengan selimut.
"Baiklah, selamat tidur, aku akan tidur di ruang kerja, ada sofa di sana?" terang Axelle kikuk.
"Om bisa tidur di ranjang, aku sudah menyiapkan guling sebagai pembatas," jelas Stela.
Axelle menilik ke ranjang, dia mendapati guling dan bantal bertumpuk di tengah. Saking fokusnya ia sampai tak sadar melihat itu tadi. Tanpa berkomentar Axelle merebahkan tubuh di kasur.
"Jangan panggil aku Tuan, akan terasa canggung jadinya," kata Axelle mengingatkan.
"Baiklah, Om," jawab Stella.
Axelle menoleh ke arah Stela, hanya bantal yang dapat ia tatap. Lelaki itu bangkit duduk. "Stela, kau percaya aku tidak akan melakukan hal aneh-aneh padamu?" selidik Axelle.
"Justru karena saya percaya dengan Om, saya mengizinkan anda tidur di kasur yang sama," jelas Stela.
Axelle terkekeh, "Hei, kau tidak kegerahan membalut dirimu dengan selimut seperti kepompong?" kelakarnya mulai nyaman bercakap.
"Sebenarnya saya tidak merasa nyaman. Saya ingin kembali ke kamar semula saja. Tapi kakek tidak mengizinkan," ucap Stela.
"Maaf, karena kau harus terlibat dalam masalah keluarga kami," tutur Axelle.
"Tidak masalah, mulai saat ini saya akan berpikir realistis saja. Toh saya tidak rugi, saya bisa tinggal di tempat yang nyaman untuk sementara waktu, bisa makan enak," ucap Stela bergetar.
Axelle sadar gadis tersebut sedang menangis sekarang, hantinya trenyuh. Lelaki itu menyingkirkan bantal pembatas ke samping. Tangannya kemudian menarik selimut yang dikenakan Stela.
"Jangan ditarik!" pekik Stela menahan.
"Memangnya kenapa? Aku tidak nyaman berbincang dengan kau memunggungiku. Mari kita duduk berhadapan dan saling bicara, kita selesaikan masalah ini bersama," ujar Axelle. Dia ingin menghibur Stela. Karena Axelle berpikir pasti sangatlah berat beban untuknya saat ini.
"Jangan!" pekik Stela sekali lagi saat, selimut benar-benar terlepas. Stela tertunduk malu, Axelle sendiri ternganga melihat gadis tersebut.
Bersambung….
Axelle masih tertegun mendapati tubuh mungil tersebut. Stela nampak menggoda dalam balutan lingerie hitam yang terkesan menerawang, memperlihatkan lekuk ramping tubuhnya. Seharusnya ia tidak menarik selimut. Akan tetapi ia tidak bermaksud kurang ajar, dia hanya ingin berbicara dengan bertatap muka. Tidak pernah terbayang Stela berpakaian sesexy itu. Jiwa lelakinya berkobar, sebagai lelaki normal dirinya tidak dapat memungkiri ketertarikan yang membelenggunya kini. Wajah Axelle memerah, dia memalingkan wajah, menelan ludah membuat jakunnya bergerak naik turun. Dihela napas panjang berat. Stela langsung menarik kembali selimut di tangan Axelle. Lelaki itu sadar seketika dari lamunan sesaatnya. Stela beringsut duduk, membalutkan selimut ke tubuh. Kali ini kepala sampai badan tertutup rapat, hanya bagian wajah yang terlihat. "Sudah saya katakan jangan tarik selimutnya," dengkus Stela. "Maa
Angin dingin di pagi hari berhembus mesra, menelusup masuk dari sela-sela ventilasi. Tangan nakal Axelle masih mengelus mesra pipi istri barunya. Stela sendiri mendelik saking terkejut. Gadis tersebut tengah menahan kantuk di sela doanya dan tiba-tiba dikejutkan dengan adanya tangan hangat berotot membelai pipi. Tubuh Stela melonjak, netra keduanya saling bertemu pandang. Debaran jantung masih terasa bergejolak. Rasa terkejut Stela perlahan menghilang, pandang masih tertuju pada mata bening suami barunya. Tidak ingin terlalu terhanyut akan pesona tampan yang tak mampu Stela elak. Gadis tersebut menutup mata, menghela napas panjang. Dia mengelus dada berulang kali, mencoba berpikir jernih. "Ada yang bisa Stela bantu, Om?" tanyanya. "Ah, maaf," kata Axelle, lelaki itu celingukan. Dia merasa malu akan tingkah spont
Hari pertama sebagai pasangan suami istri yang baru menikah, dilalui Axelle dan Stela dengan cukup berat namun, ledekan demi ledekan berakhir dengan perginya para kerabat yang berpamitan pulang. Saat itu Axelle berencana untuk kembali ke kediamannya. Akan tetapi ada saja alasan yang membuat ia tak dapat beranjak. Mulai dari Zeroun yang tiba-tiba pingsan mendadak. Saking terkejutnya Axelle panik, Stela yang melihat suaminya kelabakan berusaha menenangkan dengan kata-kata yang terdengar manja. Kepala pengurus rumah tangga, seorang wanita bertubuh gempal dengan tinggi hanya 155 cm, berusaha tenang di antara kerusuhan yang terjadi. Dia menghubungi dokter pribadi keluarga. Di usia tuanya Zeroun masih saja mengkhawatirkan banyak hal. Dia hanya butuh istirahat lantaran kelelahan dan banyak pikiran. Kata dokter yang memeriksa. Seorang lelaki tampan, maskulin mirip aktor korea yang sering wara-wiri di saluran tv.
Sudah hampir satu minggu Axelle melakukan pekerjaan di rumah utama keluarga Zeroun. Zeroun tidak memperbolehkan Axelle berangkat ke kantor, lelaki tua tersebut menyuruh anaknya istirahat selama seminggu. Untuk sementara pekerjaan di lakukan di rumahnya jika ingin. Kali ini dia menuruti titah sang ayah. Seperti yang dokter katakan, demi kesehatannya. Bukan hanya itu, Axelle merasa seperti tersihir menikmati waktu di ruang kerja bersama Stela. Ia tak sabar mendengar cerita-cerita yang selalu ada saja untuk dibahas. Ruang kerja yang biasanya senyap berubah ramai. Namun, ada kala keduanya saling diam, fokus pada pekerjaan masing-masing. Stela sibuk menggambar di kertas, karena penasaran Axelle mendekat. Dia mendapati banyak coret-coretan gambar komik. Gambar yang sangat bagus, Axelle mengingat masa kecilnya. Dahulu ia sering meminta buku komik pada almarhum sang ibu. Axelle tersenyum dan mengambil satu lembar kertas hvs. Gadis itu masih sibuk dengan pe
Marvel menatap sang sahabat dalam. Ia tahu benar apa yang dipikirkan Axelle, di satu sisi dia merindukan istri beserta anaknya. Di sisi lain ia mengkhawatirkan sang ayah. Angin berhembus masuk lewat jendela kaca besar dengan ukiran indah, yang terbuka lebar. Kain gorden berwarna hijau botol motif bunga mawar merah besar, berkelebatan tersapu angin. Hari sudah mulai sore, namun panas sang surya masih mengusik. "Axelle, jangan terlalu ketus dengan Ayahmu. Walau bagaimanapun dia orang tua satu-satunya yang masih kau miliki. Jangan sampai kau menyesal setelah kehilangan dia," keluh Marvel. "Aku paham benar Marvel, berhentilah menceramahi, kepalaku pening," keluhnya. "Mau aku buat pening kamu menghilang?" tanya Marvel cengengesan. "Bagaimana kalau kita minum wine. Lama kita tak minum bersama. Stok wine di rumah kamu pasti banyakkan?" kata Marvel tersenyum lebar. Kerlingan matanya me
Axelle semakin mendekatkan tubuh. Napasnya menyapu pipi Stela, membuat gadis tersebut merinding. Jarak mereka hanya tinggal satu inci saja. Dia masih syok terkejut tak percaya, mendapat kecupan-kecupan mesra pada pipi dan bibir dari sang suami. Ia mencoba mendorong jauh tubuh suaminya, tapi gagal. Tangan berotot tersebut melingkar di pinggang. Axelle sendiri seperti kehilangan akal. Dia begitu terpedaya akan bibir Stela yang sedari tadi menganggu pikirannya. Semenjak adegan ciuman yang tak ia sengaja lihat, bayangan Stela seakan menari di pikiran. "Om, tolong lepaskan saya," ketus Stela memasang raut khawatir. "Kenapa, kau bahkan memperbolehkan Mirza mencium bibirmu," celetuk Axelle. "Saya tidak membiarkannya, dia yang menarik saya," jelas Stela semakin gusar. "Kalau begitu, bagaimana jika aku yang suami kamu ini," kata Axelle meracau. "Menarikmu dan meminta bi
Sunyi, gambaran keheningan di antara sepasang suami istri tersebut. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Axelle merasa bersalah pada gadis muda tersebut. Ingin ia mengelus punggung yang ada di hadapannya. Antara ragu dan tidak, terbesit dalam pikiran konyolnya. Walau bagaimanapun mereka telah sah menjadi sepasang suami istri. Tak ada yang salah ia menyentuhnya. Lelaki mana yang tak akan tergoda ketika secara terus menerus mendapat kesempatan. Menyesal atau tidak pada akhirnya Axelle tidak perduli, wine membuatnya semakin hilang akal. Dia meraih tubuh mungil itu dalam dekapan. Stela sedikit melonjak saking terkejut. Gadis itu akhirnya mendiamkan saja, melawan pun sepertinya tidak akan berhasil. Asal tidak melebihi batas, dia akan mencoba menerima. Tangan berotot Axelle terasa hangat mendekapnya. Membuat jantung Stela berdebar kencang tak beraturan. Ia tidak pernah membayangkan, tidur dalam dekapan seseorang akan sedamai ini. Stela merasa a
Tatapan mata tua itu menelisik ke depan sana. Menatap sepasang pengantin baru yang tengah berpelukan di koridor tersebut. Senyumnya tersungging membuat guratan wajahnya yang keriput nampak jelas. Zeroun, lelaki tua itu kemudian berjalan pelan ke tempat yang berlawanan dari mereka. Ada perasaan lega, bersyukur. Ia berharap sang putra kelak dapat hidup bahagia. Putra semata wayang yang masih tersesat dalam cinta butanya. Harapan tak pernah pudar, begitu pula dengan kasih sayangnya. Perasaan Zeroun tepat, menjadikan Stela sang menantu. Gadis muda yang karismatik, memiliki pesona tersendiri. Dalam langkah kaki tuanya, Zeroun selalu memanjatkan do'a, agar tidak ada hambatan pada hubungan rumah tangga sang putra. Dia jua sangat berharap agar Axelle putranya segera meninggalkan Freya. Perempuan yang tak seharusnya masuk ke dalam kehidupan sang putra. Di sisi lain Axelle masih memeluk tubuh sang istri kecil Dalam hatinya terbesit rasa bersalah terama