Jerman,Hamburg
Kabut menutupi daun pepohonan yang menelan malam gelap.
“Arghh! Sakit! Jangan dipaksa!” suara serak Richella, menelan gerangan lebih dalam dari pria dengan tubuh mengkilap dibalut keringat. Ia menyisir kasar leher angsa putih milik Richelle, nafas berat yang menggebu.
“Berikan hanya untukku!” baritone yang berbisik melewati daun telinganya. Mata Richelle terpejam menanggung perih daripada rasa nikmat yang entah seperti apa rupanya.
Gairah malam yang mendayu dengan sakit yang menjalar di tulang belakangnya. Lantas, dimana rasa nikmat bercinta?
***
Pupilnya terbuka perlahan, menyusul dengan bulu mata yang naik dan turun mengikuti irama kedipan. Urat wajahnya meringis, dan aroma keringat sisa semalam masih terasa. Richella menyapu ruangan kamar dengan netranya.
“Azam?” bibir madunya menyebut nama pria yang menggelora tadi malam. Sedemikian kuatnya efek minuman tequila yang terpaksa ia minum, sebagai bukti cintanya untuk pria itu. Padahal, selama satu tahun hubungan mereka, Richelle menahan diri.
“Argh! Ngilu!” Richella bergumam. Pupil mata dengan tinta almond itu, tercengang melirik noda merah merekah di sprei kasurnya. Giginya menggigit lembut bibir bawahnya, sudah terlambat untuk menyesal.
“Kau sudah bangun? Aku pergi sekarang!” dada bidang pria itu kembali tertutup kemeja polos navy, dan ia sudah rapi dengan rambut klimis seperti biasanya.
“Kenapa buru-buru?”
“Kau tau bagaimana ayahku kan? Dia tidak akan suka, kalau aku terlambat!”
“Azam! Ini masih terasa ngilu!”
“Rici, kau sudah dewasa! kau bisa mengurus dirimu kan? Aku tidak punya waktu untuk mengantarmu pulang! pakai ini untuk naik taksi!”
Pria itu mengeluarkan uang beberapa lembar dolar, meletakkan diatas laci meja disamping tas Richella. Ia yang gagah, memiliki kulit putih yang terawat, dan dia memang terkenal dengan sikap perfectionisnya. Bahkan hingga detik ulu nafasnya, Richella masih tidak menyangka ia akan menjadi kekasih dari Azam Delvaro, putra dari tuan Varo yang merupakan Direktur rumah sakit Varo Healt, Jerman.
“A-azam? Tunggu…” Richella memaksa berdiri, dengan kaki tungkainya, membenamkan tubuhnya di dalam balutan selimut cream.
“Apalagi?”
“T-tadi malam? Kau keluarkan dimana?”
“Di dalam!”
“T-tapi kau tidak pakai pengaman kan?”
Azam mendesah berat, jemari kekarnya terangkat ke udara. Berhenti meremas lembut lengan atas milik wanita yang bercinta dengannya tadi malam. Iris mata yang menggelora saling beradu, entah dia mencintai wanita itu, atau hanya sekedar penasaran karena ia sudah mewarnai wanitanya.
“Sayang! Aku memintamu untuk minum obat tadi malam kan? Jangan khawatir! Aku dokter dan cukup tau tentang itu! Aku pergi ya, bye” Dia mengecup lembut bibir madu milik Richella, masih terasa manis tapi tidak ada waktu untuk melepaskan hasrat.
Mata sayu Richella mengemis penyesalan. Ia merenggut tas nya, membuat bunyi berisik karena ia tengah mencari pil itu dengan tergesa-gesa, dan ketika dia berhasil menemukan itu. Dia tidak beruntung sama sekali.
“Ya ampun, mati aku!” Richella menepuk jidatnya. Terduduk lesu, debaran jantung membunuh kalbu. Nafasnya memburu kemudian menjadi tenang dengan hitungan detik “Tidak apa! Aku lupa minum pil nya! Tapi, aku percaya Azam mencintaiku! Dia bahkan memberikan semua hadiah itu, dan kenikmatan oh, nikmat itu agak?”
Dia tidak melanjutkan ucapannya, karena yang terasa tadi malam hanyalah rasa sakit. Ribuan jarum menusuk liang nya, belum lagi rasa pegal,bahkan juga sulit baginya berjalan karena rasa perih.
“Aku juga harus pulang! Argh, mereka pasti sudah menungguku dengan cambukkan!” kembali ia terbenam dalam deritanya.
***
Richella Anastasya, wanita yang menyaksikan ayahnya tergantung di langit-langit kamar ketika usianya tiga belas tahun. Ia yakin penyebab ayahnya bukanlah bunuh diri, itu karena dia melihat ayahnya lembur setiap malam dan tertekan karena mengetahui rahasia perusahaan.
Tidak ada yang tau siapa tangan sebenarnya yang mencekik nyawa ayahnya, namun dia tau tidak ada yang beres karena setelah itu pamannya langsung menempati posisi ayahnya di perusahaan tuan Varo. Sialnya sekarang, ia tumbuh dengan suapan kebencian dari pamannya.
Richella, tidak memiliki apapun, dan pamannya satu-satunya keluarganya. Untuk gadis berusia 13 tahun, tidak ada pilihan untuk menyambung hidup.
Ibunya yang berusaha mencari kebenaran, ketika hukum menutup mata. Membuat situasi merenggut nyawa ibunya karena sakit yang ia derita. Kehilangan kedua orang tuanya, memaksa Richella tinggal dengan pamannya, Marcel.
Marcel pria ambisius, segala yang dia inginkan harus ia dapatkan. Ia memiliki keluarga yang harmonis, istri yang mendukungnya, dan putri manis yang manja padanya. Maka keberadaan Richella hanyalah racun baginya, dan pembawa sial yang layak dia asingkan.
“A-aku pulang!” Richella melangkah masuk melewati pintu belakang
Satu langkah kakinya masuk, tamparan panas mendera pipi kanan. Memberikan sensasi terbakar, dan air mata yang harus dia tahan di sudut matanya.
“Sayang, keponakan manisku, belajar menjadi jalang yang tidak tau diri ya? Bagus! Dimana kau tidur tadi malam, Rici?” suara keibuan, dengan kalimat yang menyakitkan. Begitu lembut caranya berbicara, namun tantenya ringan tangan untuk menyakitinya.
“A-aku kerja lembur tante!” kebohongan yang terlalu mencolok, tidak menolong Richella sama sekali. Masih terasa sisa darah dari kematian orang tuanya, meskipun usianya sudah menginjak 23 tahun, tapi tidak ada daya untuk itu.
“Lembur? Kau hanya bekerja sebagai tukang masak di rumah sakit, menjadi babu dari koki disana. Alasanmu tidak masuk akal, sayang! Kalau mau jadi pelacur, katakan padaku! dengan senang hati aku menjualmu! Aku tau kau berhubungan dengan seorang pria akhir-akhir ini kan!”
“T-tidak! itu tidak benar” kepala Richella menggeleng sayu
“Jeje? Tolong kesini! Cepat! Bawa semua kotak itu! Jeje?” Mona memangil kepala pembantu di rumahnya. Seorang wanita berusia 40 tahun berlarian dengan nafas terengah, membawa kotak coklat di tangannya “I-ini nonya!”
Richella terkejut melihat semua pemberian Azam ada disana, dia fikir itu sudah tersembunyi dengan baik, nyatanya tidak.
“Gajimu tidak akan pernah cukup membeli semua barang ini, Rici! Kau dapat darimana? Kepada siapa kau menjual diri?” masih dengan suaranya yang keibuan.
“Aku membeli semua itu dengan tabunganku!”
“Jeje? Tolong bakar semua barang itu ya!”
“Tidak!” Richella merenggut paksa, ia menahan perih selangkangannya untuk bersandiwara. Dorongan dari Mona membuat ia terhentak, lepas kendali tanpa tenaga yang tersisa
“Bakar!” perintah Mona sekali lagi,
Richella meringis, dan semua benda sudah masuk ke dalam tungku perapian penghangat rumah. Cermin matanya memperlihatkan segalanya, api yang memakan pemberian dari pria yang begitu dalam ia cintai.
“Sebagai istri dari pamanmu, sudah tugasku untuk mendidik mu menjadi wanita baik-baik, manisku! Jangan mengikuti jejak ibumu yang menjadi wanita murahan, dan mati dengan sia-sia!” Mona berlalu dengan kebencian yang ia tanam.
Richella menangis, air mata mengalir di pipinya. Tidak ada juluran tangan, kecuali suara pria itu. Azam yang akan menenangkan dirinya setiap malam.
Satu bulan berlalu!
Kegelisahan yang sekian waktu Richella coba hindarkan. Dia yakin tidak akan ada pengaruh apapun, karena dia dan Azam bercinta kala itu. Sialnya, jemarinya bergetar memegang tespack. Hasil positif akurat tidak terbantahkan.
Nafasnya menelfon Azam dengan terengah-engah “Azam? Azam, sayang! Dengar! A-Aku hamil!” dia memberitahu dengan hati girangnya, ia percaya Azam akan bertanggung jawab untuk cintanya.
“A-pa? Benarkah? Sayang, kamu dimana sekarang? Aku ingin bicara!” suara berat Azam, adalah perintah yang tidak bisa dia tolak oleh nya dengan nada yang tegas
Seorang pria berusia lima puluh tahun, ada bekas luka di alisnya. Dia duduk dibalik meja hitam, sembari menatap keluar jendela dari lantai paling atas kantornya. Ia sudah tidak bisa merokok, harus menahan diri karena peringatan keras dari dokternya. “Permisi pak?” seorang pria jangkung, dengan stelan serba hitam masuk ke dalam ruangan itu. “Bagaimana?” “Sudah dipastikan pak!” Beberapa uban sudah terselip di balik rambut hitamnya. Uang memberikan segala baginya, dia pun mendapatkan perawatan yang sangat baik dari dokter pilihan. Dialah tuan Varo, Direktur rumah sakit. Kegigihannya diakui oleh pesaingnya, hingga ia bisa mendirikan rumah sakit terbaik di kota. “Hah! Sepertinya aku kurang tegas mendidik putraku! Dia mungkin mengira aku tidak bisa melakukan apapun di usiaku ini ya, ha ha ha” Varo tertawa dengan berwibawa Matanya kembali terangkat “Dimana gadis itu sekarang?” “Dia masih bekerja di bagian dapur! Ada hal penting pak yang harus anda tau!” ucap Galang, pria yang sudah be
Sebelum Richella mendengar boarding announcement . Bandara menjadi tempat yang akan menyakitkan untuk ia kenang. Ia berdiri di depan pria yang kini setengah mati ia cintai. Jemarinya menyentuh perutnya, mempertahankan bayi yang juga ia harapkan lahir dalam keadaan selamat. “Jangan menangis! Aku akan menyusulmu! Cobalah untuk kuat selama ada disana, mengerti?” Azam menyentuh pipi lembut Richell. Mereka terlihat seperti pasangan romantic, bagi siapapun yang melirik ke arah mereka. Richelle terpukul mendengar kalimat Azam. Sudah cukup ia membuang air mata selama ini. Sekarang di depannya ada masa depan yang menanti. “Berjanjilah kau akan datang kesana, sayang!” Richelle memeluk Azam begitu erat, terbenam dalam aroma yang tidak ingin dia lepaskan. “Iya! Aku akan menyusulmu! Seperti rencana kita!” Azam berucap Kelegaan hati, itulah yang Richelle pertahankan. Ia tidak peduli bagaimana waktu bisa berjalan begitu lambat. Di ujung nanti, dia juga akan berjalan berdampingan bersama Azam di
“Aduhh!” Richelle mengeluh, perlahan matanya terbuka. Alat monitor yang berbunyi, aroma ruangan yang begitu kental. Jendela kaca geser terbuka lebar, menunjukkan awan cerah berbaur dengan langit biru. “Di-Dimana ini?” Dia memaksa diri untuk duduk, hingga rasa ngilu diseluruh tubuhnya terasa. Tangan yang pegal, kaki yang perih, dan perut nya yang terasa sangat ngilu. “Ya ampun! Tu-tubuhku!” dia meringis. Matanya teralihkan ke arah pintu geser bercorak bunga di depannya. Seseorang membuka pintu ruangan itu. Pria dengan T-shirt hitam masuk dan mereka langsung saling beradu tatap. “Kau sudah bangun rupanya!” baritone pria itu terdengar asing untuk Richell. “S-siapa kau?” Richelle teringat dengan serangan yang dia terima. Meskipun tubuhnya menahan rasa perih bertubi-tubi, dia mencoba untuk mundur padahal tidak banyak pergerakkan yang bisa dia lakukan di atas tempat tidur, dan alat medis melekat di tubuhnya. “Kenapa? Aku bukan salah satu dari mereka! Tidak perlu takut padaku!” “Kau
“A-aku berakhir seperti ini?” Richelle bergumam. Dia memandang pantulan seluruh tubuhnya yang mengenakkan gaun pengantin di depan cermin panjang. Ruangan tunggu untuk pengantin wanita sebelum masuk ke altar pernikahan.Untuk permukaannya saja, Richelle sudah mengetahui siapa Daimaro. Founder perusahaan mobil yang bahkan mendapatkan penghargaan tahun lalu berskala internasional, dialah putra sang walikota di tempat asalnya.Lalu kenapa dari sekian banyak wanita, Daimaro memilih dirinya? Ini perihal balas budi di masa lalu yang Daimaro sudah katakan kepada Richelle, meskipun Richelle masih belum tau pasti tentang itu.“Nona Richella! Sudah waktunya!” seorang wanita dengan gaun putih, dan rambut yang ditata sanggul formal datang menghampirinya. Dia Mona, sekretaris yang sudah bekerja dengan Daimaro enam tahun lebih. Boleh dibilang, keluarganya sudah melayani keluarga besar Daimaro sejak dulunya.“A-apa? Sekarang?” Richelle tersentakDaimaro hanya memberikan waktu satu malam untuk mendeng
“Apa dia sudah tidur?” Daimiro duduk di mini bar sayap kanan dari rumahnya. Tidak ada orang tua, dan rumah ini begitu besar untuk menampung dirinya. Meskipun dia mempekerjakan beberapa pegawai di rumah ini, tetap saja dia merasa sepi.“Setelah minum obat, dia sudah tidur! Apa kau tidak terlalu menekannya, tuan Dai?” Mona menuangkan sampanye ke gelas berukuran kecil, dia harus memastikan atasannya itu tidak minum terlalu banyak. Besok ada rapat mengenai barang import yang sempat tertunda, salah satu pegawai menggelapkan uang dan itu menjadi masalah yang masih cukup mudah diatasi oleh Daimaro.“Kalau aku tidak bersikap keras padanya, dia akan hanyut dengan mentalnya dan menjadi gadis lemah! Sudah cukup aku mendengar kehidupannya buruk tentangnya”“Dia, gadis yang malang!”“Hmmm, aku akan membuatnya menyadari perang yang sebenarnya!”“Kenapa tidak berencana untuk mencintainya saja, tuan?”“Mencintainya? Aku tidak tertarik, Mona! Aku hanya bertanggung jawab sampai balas dendamnya terlepas
Daimiro, lebih gampangnya mereka selalu memanggil dirinya dengan tuan Dai. Dia sudah teralahir dari keluarga pengusaha garis keras. Bebuyutnya memiliki beramacam-macam usaha, hingga dia mewarisi segala ilmu dan membiarkan orang tuanya pergi dengan tenang.“Pusing sekali kepalaku, sudah lama aku mencarinya, malah berakhir menjadi gadis buangan!” Dai menyipit bingung. Tumpukkan berkas pekerjaan dimejanya tidak dia indahkan.Dia menyingsing lengan kemejanya tiga lipat, melangkah menuju kulkas mini disamping meja kecil di dekat rak buku. Ia mengeluarkan botol wine 1924 buatan prancis, menuangkan setengah gelas dan menghirup dalam aroma minuman itu sebelum menyusup melewati bibirnyaTiga menit dia menikmati wine nya, ketukan di pintu tidak membuatnya berpaling dari jendela “Masuk!”Pria bertubuh tegap dengan dada bidang, stelan serba hitam masuk dengan senyuman di wajahnya “Saya sudah kembali pak!” suara Sean membuat Dai memutar badannya.“Senang bertemu lagi! Kau sudah bisa bekerja besok!
“Menyentuh dia layaknya seorang istri, hmmm?” Dai tersenyum tipis Usai meeting dengan investor, dia melangkah ke lantai paling atas, melewati pintu dengan lima tangga dan berada di taman atap gedung pencakar langit itu. Angin sejuk berhembus, memberikan sensasi sejuk dengan mata yang dimanjakan oleh pemandangan kota. Sean khawatir dengan tingkah laku atasannya itu, jangankan sarapan, untuk menyentuh minuman kesukaannya saja sudah tidak. “Tuan Dai?” Sean berdiri disampingnya, memandang pria yang tengah termenung dalam lamunannya itu “Apa masih ada meeting?” “Tidak, aku hanya bertanya-tanya tentang dirimu!” “Kenapa?” mata Dai beralih untuk menatap Sean. Sean memilih berdiri di depan atasannya, meskipun mereka sudah saling mengenal lama, ada batasan yang terkadang tidak bisa untuk Sean sentuh. “Apa rencanamu untuk nona Richi?” “Aku hanya perlu membantunya untuk membalaskan dendamnya kan?” “Bagaimana kalau dia tidak mau?” “Sudah kubilang, aku yang akan membunuhnya, dengan begit
Richelle berulang kali menyiratkan tentang pernikahan yang sesungguhnya. Di benaknya, menaklukkan Daimiro, agar dia memiliki senjata yang tangguh. Ketika pria itu memberinya pilihan, sulit baginya untuk tidak memikirkan cara yang licik.Jiwanya berdesir menerima remasan halus di bagian bongkahan pinggulnya, dia menarik dirinya dan seketika aroma alkohol yang tidak terlalu kuat tercium dari tubuh Daimiro.“Dai? Kau mabuk?”“Sedikit! Aku masih sadar!” Daimiro menarik lengan Richelle, mempersempit jarak diantara mereka ketika tubuh Richelle harus condong ke arahnya. Mendekati aroma maskulin yang bercampur dengan parfum luxury, tidak ini juga sisa minuman yang menepi di sudut bibir Daimiro.“Katakan, kau siap aku gagahi?”“A-apa? Kenapa tiba-tiba?” Richelle tersentak. Awalnya dia hanya sekedar mengancam, hatinya belum bisa pulih dari luka itu.Semenjak Azam mewarnainya, mereka melakukan hubungan itu tiga kali lagi, dan setelah kehamilan dia dicampakkan. Azam selalu melakukan segalanya