Sebelum Richella mendengar boarding announcement . Bandara menjadi tempat yang akan menyakitkan untuk ia kenang. Ia berdiri di depan pria yang kini setengah mati ia cintai. Jemarinya menyentuh perutnya, mempertahankan bayi yang juga ia harapkan lahir dalam keadaan selamat.
“Jangan menangis! Aku akan menyusulmu! Cobalah untuk kuat selama ada disana, mengerti?” Azam menyentuh pipi lembut Richell.
Mereka terlihat seperti pasangan romantic, bagi siapapun yang melirik ke arah mereka. Richelle terpukul mendengar kalimat Azam. Sudah cukup ia membuang air mata selama ini. Sekarang di depannya ada masa depan yang menanti.
“Berjanjilah kau akan datang kesana, sayang!” Richelle memeluk Azam begitu erat, terbenam dalam aroma yang tidak ingin dia lepaskan.
“Iya! Aku akan menyusulmu! Seperti rencana kita!” Azam berucap
Kelegaan hati, itulah yang Richelle pertahankan. Ia tidak peduli bagaimana waktu bisa berjalan begitu lambat. Di ujung nanti, dia juga akan berjalan berdampingan bersama Azam di atas altar.
Richella bergegas setelah mendengarkan pengumunan. Azam menyediakan segalanya untuknya, bahkan dia duduk di bangku first class, memanjakan dirinya yang tengah hamil. Ada beberapa hal yang harus Azam urus untuk pernikahan mereka.
Matanya terpejam, menikmati perjalanan itu meskipun tubuhnya mulai gampang lelah. Ia bisa merasakan perubahan di tubuhnya, efek dari semua yang sudah terasa. Mulutnya tidak berhenti berlagu untuk berbicara dengan benih di perutnya.
Ia menghirup kasar aroma udara yang berbeda dari negri asalnya. Untunglah ia datang ketika hampir senja, jadi terik matahari tidak terlalu menyengat baginya.
“Hallo nona!” seorang pria berjas hitam, menghampirinya.
“I-iya?” Richelle mundur ke belakang, menyembunyikan semua barang-barangnya di balik badannya
“Jangan takut! Saya supir yang diperintahkan untuk menjemput anda! Saya bekerja dibawa perintah pak Varo!” ucapnya
Senyuman lega terpancar dari benang bibir Richell. Dia baru saja merasa ketakutan, karena sekarang dia berada di negri asing. Dia mencoba untuk bersikap kuat, demi anaknya dan pria yang akan ia nikahi nanti.
“Silahkan masuk nona! Aku akan mengantarkanmu ke mansion!” ucapnya
“Baik, aku lega sekali! Aku fikir, aku akan bersusah payah mencari penginapan!”
“Tentu tidak! Tuan Varo sudah menyiapkan tempat yang akan menjadi surga bagimu” ucapnya
Richelle merasa semakin bahagia. Dia merasa sudah bangkit dengan cahaya baru, harapan tinggi yang membawanya melambung ke udara. Dia memejamkan matanya dalam lamunan, membayangkan hari bahagia yang akan datang, hingga tiba-tiba saja mobil berhenti di sebuah gang.
Aura sejuk yang mematikan, menjalar di sekujur tubuhnya “Maaf? Apa yang kita lakukan disini?” Richella mencodongkan tubuhnya ke depan untuk berbicara dengan supir itu.
Sial baginya, ketika supir itu menoleh padanya dan tersenyum dengan mengerikan “Hidupmu akan berakhir disini, nona!” ucapnya
Richelle tersentak, ia mundur ke belakang “A-apa-apaan kau? Kau ingin berbuat jahat kepadaku? Kau tidak tau kalau aku adalah…”
“Kau hanya sampah yang tidak layak untuk dipertahankan! Tuan Varo memintaku untuk membunuhmu!”
Pupil matanya melebar dari yang biasanya, mulutnya menganga bingung “I-itu tidak mungkin!”
“Tentu saja. Apalagi kau menngandung benih tuan Azam. Satu-satunya orang yang berhak untuk menjadi istri dari Azam adalah nona Naomi, dia yang layak mengandung anak dari tuan Azam, jadi kau harus mati”
“Naomi? Naomi yang…”
“Naomi kakak sepupumu, siapa lagi desainer termud yang karynya sudah di akui internasiona? Kau tidak akan bisa menandingi dirinya, mereka akan menikah dua hari lagi. Azam dan nona Naomi akan menikah dan kau akan mati disini, ha ha ha ha”
***
Tangan gemetarnya mengambil botol mineral di sebelahnya, melempar wajah supir itu dengan sisa air, dia melarikan diri dengan sisa tenaga, karena rasa terkejut yang langsung menyerang sesak dadanya.
“Sial! Dia kabur!” suara supir itu sayup-sayup berteriak
Richelle tidak tau tempat ini, daerah lembab yang sunyi. Kakinya hanya melangkah ke sembarang arah, tidak tau harus kemana. Air mata yang mengalir, kekecewaan yang tidak menentu. Ketika dia mencoba untuk tidak percaya, tapi supir itu mengenalnya di negri asing ini, bahkan mengenal tuan Varo.
“Kenapa? Kenapa? Anakku dan aku! Kenapa?” mulutnya bergumam, pertanyaan yang tidak mungkin terjawab karena boleh jadi dia mati disini
Ia sudah merasa berlari dengan cepat,seorang pria mencegat langkahnya “Mati kau!” ucapnya. Ia menarik rambut Richelle, menamparnya dengan kasar dan mendorong tubuhnya untuk tersungkur di lanti yang basah bekas hujan
“Argh!” Richelle memberikan perlawanan, matanya dengan sigap mengambil bongkahan batu dan memukul kepala pria itu.
“Arghh, sial!” pria itu meringis.
Richelle memanfaatkan kesempatan, ia mencoba untuk lari kembali dengan tergopoh-gopoh. Pria yang menyerangnya tadi berbeda dari supir yang ia temui, itu artinya Richella menyadari kalau tidak hanya satu pria yang mengerjarnya.
“Tenang nak! Mommy bersamamu! Sabar, kita akan selamat” tersisa sedikit harapan dari sudut matanya, mencari jalan keluar untuk kabur dari situasi ini.
Dia bersusah payah, berjuang hanya untuk mempertahankan nyawa di ujung tenggorokkannya. Pria lain menghadang jalannnya, dia menyeringai dengan tatapan membunuh.
“Bunuh dia, atau kita tidak akan mendapatkan bayaran!” Teriak pria dari arah belakang yang memegang luka di kepalanya. Bagian kiri pipinya merona merah karena darah yang mengalir.
Richelle menyerang dengan nekat. Pemuda itu menangkis tangan ringkihnya dengan mudah “Jalang sialan!” pemuda itu mengumpat, dia menendang kasar perut Richelle.
“Arghhhh!” rasa sakit yang lebih sakit, dan membuat Richelle tersungkur. Dia meringkuk disamping selokkan, meringis menahan sakit berdenyut di perutnya. Pandangan matanya mulai kabur, dia putus asa dengan jiwanya yang terancam
“Pisau saja, tusuk dia! kalau pakai senjata, bisa terdengar orang! Jalang sialan ini, menyusahkan saja!” pria dengan kepala berdarah menendang kakinya.
Richelle sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk bergerak. Dia memaksa dirinya, bahkan kakinya saja tidak bisa ia gerakkan lagi. Langit yang mendung akan menangisi kepergiannya.
“K-kenapa Azam tega padaku” serak suara terakhir keluar mulut Richelle
“Sial, dia masih sanggup berbicara!” ucap pria yang keningnya berdarah, dia berjongkok lalu mendorong kening Richelle dengan telunjuknya.
“Kau ini terlalu naif! Wanita pelayan sepertimu, berharap menjadi ratu dalam satu malam? mana mungkin! Azam dan Naomi sudah dijodohkan sejak awal, mereka diam-diam menjalin kasih. Ketika Naomi sudah kembali dari meeting besarnya di luar negri, mereka akan menikah dan yang pantas melahirkan benih sebagai penerus keluarga Varo, tentu saja rahim wanita elit! Bukan wanita pelacur sepertimu, mau saja dibayar dengan cinta untuk keperawananamu”
Perih sekali ucapan pria itu, dia tertawa dia atas penderitaan Richella “Sekarang matilah dengan tenang, jangan menjadi beban di dunia yang sudah menjijikkan ini” Pria itu mengangkat tangannya ke udara, dan Richelle bisa melihat ujung pedang yang tajam akan melayang menusuk dadanya.
“Pecundang! Beraninya dengan perempuan hah?” suara laki-laki lain terdengar, tapi Richelle sudah kehilangan kesadarannya sebelum mengenali pria asing itu
“Aduhh!” Richelle mengeluh, perlahan matanya terbuka. Alat monitor yang berbunyi, aroma ruangan yang begitu kental. Jendela kaca geser terbuka lebar, menunjukkan awan cerah berbaur dengan langit biru. “Di-Dimana ini?” Dia memaksa diri untuk duduk, hingga rasa ngilu diseluruh tubuhnya terasa. Tangan yang pegal, kaki yang perih, dan perut nya yang terasa sangat ngilu. “Ya ampun! Tu-tubuhku!” dia meringis. Matanya teralihkan ke arah pintu geser bercorak bunga di depannya. Seseorang membuka pintu ruangan itu. Pria dengan T-shirt hitam masuk dan mereka langsung saling beradu tatap. “Kau sudah bangun rupanya!” baritone pria itu terdengar asing untuk Richell. “S-siapa kau?” Richelle teringat dengan serangan yang dia terima. Meskipun tubuhnya menahan rasa perih bertubi-tubi, dia mencoba untuk mundur padahal tidak banyak pergerakkan yang bisa dia lakukan di atas tempat tidur, dan alat medis melekat di tubuhnya. “Kenapa? Aku bukan salah satu dari mereka! Tidak perlu takut padaku!” “Kau
“A-aku berakhir seperti ini?” Richelle bergumam. Dia memandang pantulan seluruh tubuhnya yang mengenakkan gaun pengantin di depan cermin panjang. Ruangan tunggu untuk pengantin wanita sebelum masuk ke altar pernikahan.Untuk permukaannya saja, Richelle sudah mengetahui siapa Daimaro. Founder perusahaan mobil yang bahkan mendapatkan penghargaan tahun lalu berskala internasional, dialah putra sang walikota di tempat asalnya.Lalu kenapa dari sekian banyak wanita, Daimaro memilih dirinya? Ini perihal balas budi di masa lalu yang Daimaro sudah katakan kepada Richelle, meskipun Richelle masih belum tau pasti tentang itu.“Nona Richella! Sudah waktunya!” seorang wanita dengan gaun putih, dan rambut yang ditata sanggul formal datang menghampirinya. Dia Mona, sekretaris yang sudah bekerja dengan Daimaro enam tahun lebih. Boleh dibilang, keluarganya sudah melayani keluarga besar Daimaro sejak dulunya.“A-apa? Sekarang?” Richelle tersentakDaimaro hanya memberikan waktu satu malam untuk mendeng
“Apa dia sudah tidur?” Daimiro duduk di mini bar sayap kanan dari rumahnya. Tidak ada orang tua, dan rumah ini begitu besar untuk menampung dirinya. Meskipun dia mempekerjakan beberapa pegawai di rumah ini, tetap saja dia merasa sepi.“Setelah minum obat, dia sudah tidur! Apa kau tidak terlalu menekannya, tuan Dai?” Mona menuangkan sampanye ke gelas berukuran kecil, dia harus memastikan atasannya itu tidak minum terlalu banyak. Besok ada rapat mengenai barang import yang sempat tertunda, salah satu pegawai menggelapkan uang dan itu menjadi masalah yang masih cukup mudah diatasi oleh Daimaro.“Kalau aku tidak bersikap keras padanya, dia akan hanyut dengan mentalnya dan menjadi gadis lemah! Sudah cukup aku mendengar kehidupannya buruk tentangnya”“Dia, gadis yang malang!”“Hmmm, aku akan membuatnya menyadari perang yang sebenarnya!”“Kenapa tidak berencana untuk mencintainya saja, tuan?”“Mencintainya? Aku tidak tertarik, Mona! Aku hanya bertanggung jawab sampai balas dendamnya terlepas
Daimiro, lebih gampangnya mereka selalu memanggil dirinya dengan tuan Dai. Dia sudah teralahir dari keluarga pengusaha garis keras. Bebuyutnya memiliki beramacam-macam usaha, hingga dia mewarisi segala ilmu dan membiarkan orang tuanya pergi dengan tenang.“Pusing sekali kepalaku, sudah lama aku mencarinya, malah berakhir menjadi gadis buangan!” Dai menyipit bingung. Tumpukkan berkas pekerjaan dimejanya tidak dia indahkan.Dia menyingsing lengan kemejanya tiga lipat, melangkah menuju kulkas mini disamping meja kecil di dekat rak buku. Ia mengeluarkan botol wine 1924 buatan prancis, menuangkan setengah gelas dan menghirup dalam aroma minuman itu sebelum menyusup melewati bibirnyaTiga menit dia menikmati wine nya, ketukan di pintu tidak membuatnya berpaling dari jendela “Masuk!”Pria bertubuh tegap dengan dada bidang, stelan serba hitam masuk dengan senyuman di wajahnya “Saya sudah kembali pak!” suara Sean membuat Dai memutar badannya.“Senang bertemu lagi! Kau sudah bisa bekerja besok!
“Menyentuh dia layaknya seorang istri, hmmm?” Dai tersenyum tipis Usai meeting dengan investor, dia melangkah ke lantai paling atas, melewati pintu dengan lima tangga dan berada di taman atap gedung pencakar langit itu. Angin sejuk berhembus, memberikan sensasi sejuk dengan mata yang dimanjakan oleh pemandangan kota. Sean khawatir dengan tingkah laku atasannya itu, jangankan sarapan, untuk menyentuh minuman kesukaannya saja sudah tidak. “Tuan Dai?” Sean berdiri disampingnya, memandang pria yang tengah termenung dalam lamunannya itu “Apa masih ada meeting?” “Tidak, aku hanya bertanya-tanya tentang dirimu!” “Kenapa?” mata Dai beralih untuk menatap Sean. Sean memilih berdiri di depan atasannya, meskipun mereka sudah saling mengenal lama, ada batasan yang terkadang tidak bisa untuk Sean sentuh. “Apa rencanamu untuk nona Richi?” “Aku hanya perlu membantunya untuk membalaskan dendamnya kan?” “Bagaimana kalau dia tidak mau?” “Sudah kubilang, aku yang akan membunuhnya, dengan begit
Richelle berulang kali menyiratkan tentang pernikahan yang sesungguhnya. Di benaknya, menaklukkan Daimiro, agar dia memiliki senjata yang tangguh. Ketika pria itu memberinya pilihan, sulit baginya untuk tidak memikirkan cara yang licik.Jiwanya berdesir menerima remasan halus di bagian bongkahan pinggulnya, dia menarik dirinya dan seketika aroma alkohol yang tidak terlalu kuat tercium dari tubuh Daimiro.“Dai? Kau mabuk?”“Sedikit! Aku masih sadar!” Daimiro menarik lengan Richelle, mempersempit jarak diantara mereka ketika tubuh Richelle harus condong ke arahnya. Mendekati aroma maskulin yang bercampur dengan parfum luxury, tidak ini juga sisa minuman yang menepi di sudut bibir Daimiro.“Katakan, kau siap aku gagahi?”“A-apa? Kenapa tiba-tiba?” Richelle tersentak. Awalnya dia hanya sekedar mengancam, hatinya belum bisa pulih dari luka itu.Semenjak Azam mewarnainya, mereka melakukan hubungan itu tiga kali lagi, dan setelah kehamilan dia dicampakkan. Azam selalu melakukan segalanya
Mona melirik ke langit-langit di atasnnya, helaan nafas dan senyuman menjadi satu. Dia merasa berhasil dengan rencananya, meskipun masih ada keraguan yang terbesit. Wisky terakhir ia telan dalam hitungan detik. Matanya sudah mulai lelah dengan rasa kantuk.“Honey? Jangan minum lagi, nanti mabuk!” suara suaminya yang sudah lama ia rindukan. Sean menghampirinya, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Seperti biasa, Mona tidak akan langsung membalas hangat sentuhan Sean. Meskipun secara usia, Mona jauh lebih muda dari Sean, sulit baginya untuk menjadi gadis manja bagi pria itu.“Aku memasukkan pil perangsang ke dalam minuman tuan Dai!” Mona berucap“Kau mengerjainya? Kalau dia tau, bisa habis kita dimarahi tuan kasar itu!”“Mau bagaimana lagi, dia menikahi gadis malang itu, tapi tidak menyentuhnya layaknya seorang istri. Aku yang perih mendengar rengekkan Richelle memohon disentuh!”“Yah, semoga saja obat itu bekerja!”“Sepertinya sedang bekerja! Sebelum efeknya habis!”“Hmm, apa kau tid
Richelle tidak bisa bergerak bebas, dia tersentak ketika Mona menarik erat tali di pinggangnya. Gaun itu sangat ketat, apalagi di bagian pinggangnya. Belum lagi model belahan yang terbuka di punggungnya, memperlihatkan kulit mulut hingga pingganya.“Kenapa harus begini? Apa kau yakin ini hanya latihan, Mona?”“Iya, mau bagaimana lagi! Kau tidak bisa berjalan dengan postur tubuh tegap, kepala mu harus menatap pasti ke depan, pundakmu harus percaya diri, jangan berjalan dengan membungkuk!”Paru-parunya terasa sesak ketika dia bernafas, tidak ada celah baginya untuk lari dari situasi ini.“Berjalan lah sekarang, ke depan sana!” perintah MonaLirikkan matanya memastikan Richelle aman, meskipun dia menahan senyuman karena Richelle terlihat sangat risih dengan balutan gaun berwarna hitam itu.“Kaki ku sudah lelah!”“Kau tidak bisa menyerah Richi, waktumu hanya satu minggu. Selain mendidik postur tubuhmu, kau juga harus membaca semua buku itu, melatih caramu berbicara, dan…”“Dan apa?”“Aku