"Tunggu apa lagi? Ayo naik!" Minuman yang ada di hadapannya sudah habis dalam sekali tegukan.
Rion menepuk wajahnya lalu menunduk, tak habis fikir dengan tingkah teman sekelasnya satu itu, jika menyangkut tentang Sandy, dia akan melakukan apapun dengan semangat empat lima, padahal jika dengan yang lain, dia terlihat biasa saja.
"Na, ubah sifatmu yang seperti itu, tak baik. Jangan sampai ada yang berniat buruk padamu dengan memanfaatkan Sandy yang kamu bahkan tak tau apakah dia suka atau tidak." Ucap Rion sembari memegang bahu Nana yang telah duduk kembali disamping Rion.
Tapi Nana sama sekali tak mendengarkan nasihat Rion.
"Yuk ah, ayo!" Kali ini Nana kembali menarik Rion menuju ke tempat dimana Sandy berada. Kapan lagi bisa bersama dengan Sandy tanpa perlu pusing memikirkan alasannya.
"Akhirnya sampai," Ucap Nana, dia tak mengira bahwa kamar temannya yang satu itu berada di lantai tiga. Dan dia sama sekali tak kuat untuk menaiki tiap anak tangga setelah lantai dua.
Terdengar suara ribut dari balik pintu yang ada di sebelah kanan.
"Disini hanya ada kamarku dan kamar Leon, serta satu kamar mandi. Jadi, kalau pagi ya kita berebutan siapa yang cepat bangun, dia yang lebih dulu mandi."
"Kedengarannya seru tuh tapi ka..." Ucapan Nana menggantung ketika melihat Sandy bersama yang lain sedang bercengkrama.
"Kalian lanjut main aja, aku ngambil cemilan dulu," Saudara kembar Rion keluar dari kamar yang ada dibelakang Nana "Eh, udah dateng, masuk aja, gak apa."
"Na, kamu masuk duluan, aku ada sesuatu sama kakakku satu ini." ucap Rion kemudian mendorong Nana ke dalam kamar dan segera menutupnya.
"Kau udah minta izin buat proyek kita gak ke gadis itu?"
"Waduh, lupa Len!"
"Astaga Rin, momennya susah tau buat bisa ajak dia kesini, mana Sandy susah buat dibujuk dateng. Pokoknya kau harus cari cara!"
Leon meninggalkan Rion yang terpaku sambil menunjuk wajahnya. Dia masih bingung menggunakan alasan apa agar Nana mau melakukannya.
"Na, gak ikutan main?" tanya Rion ketika melihat Nana hanya duduk diatas ranjang sembari melihat Sandy dan Taufik bermain Ps dengan serunya.
Rion sudah duduk disamping Nana.
"Ntar aja ikutannya, mereka keliatan asik banget." Nana ikut tersenyum ketika melihat Sandy tertawa selama bermain game.
"Lagipula, kapan lagi bisa liat Sandy ketawa gitu secara langsung, iya kan?" bisik Rion yang membuat Nana kaget dan langsung bergeser sejauh mungkin hingga terjatuh dari ranjang, membuat semua orang yang ada di ruangan itu berbalik.
"Astaga, Nana, kau gak apa apa? tanya Sandy yang lebih dulu mengangkat Nana.
"Aku terlalu ringan sampe kau ngangkat aku kayak boneka gini?" Ucap Nana dengan wajah sedikit memerah, dia tak pernah sedekat ini, bahkan bersentuhan dengannya pun tak pernah.
"Kau ini kecil, kurus pula, kita semua besar dan tinggi loh!" ucap Rion diselingi tawa.
Rona di wajah Nana semakin terlihat karena komentar Rion barusan.
"Kau sakit Na?" Tanya Rion, yang membuat Sandy melihat ke depan tanpa menurunkan Nana dari pegangannya.
"San, bisa turunin gak? Malu nih." Akhirnya suaranya bisa keluar setelah bersusah payah mengumpulkan suaranya.
"Eh, sori-sori, kau kayak boneka sih, kecil kurus, kayak boneka yang ada di meja sana." ucap Sandy.
Nana melihat ke meja belajar yang ada di sudut dekat jendela. Dan benar saja, ada boneka cantik yang harganya cukup mahal bagi Nana.
Sandy telah menurunkan Nana setelah memperhatikan tubuh Nana ada yang luka atau tidak.
"Itu BJD kan? yang harganya bisa sampe 20an?"
"Ehm, itu sebenarnya tiga puluhan, dipesan khusus soalnya." Rion menjawab dengan wajah tersipu karena ada yang mengenali koleksinya.
Nana langsung menghampiri boneka berambut panjang yang duduk dengan cantiknya dengan gaun biru beserta renda dan banyak lagi aksesoris yang membuat boneka itu terlihat begitu mewah.
"Punyamu Rion?"
"Binggo! itu hadiah dari teman waktu terakhir kali ikut lomba."
Akhirnya Nana pulang tanpa ikut bermain game. Dia hanya memperhatikan Sandy bermain dengan serunya sembari sesekali mengajak Rion bercerita.Lelah memang, tapi jika mengingat setiap emosi yang diperlihatkan oleh Sandy, semuanya terbayar lunas, bahkan lebih. Teringat seperti momen waktu masih SMP yang selalu dia rindukan.Pagi menyapa Nana, setelah menyelesaikan tugas sekolahnya lebih cepat, dia langsung tertidur tanpa sempat menikmati siaran tv ataupun update grup kelasnya."Gimana tidurmu semalam? Pasti menyenangkan?" Tanya Rion ketika dia melihat Nana sudah duduk dengan rapi dalam kelasnya."Ya, langsung tertidur tanpa bermimpi saking capeknya." Nana menghembuskan nafas kasar."Gak ada mimpi pasal kejadian kemarin?""Kemarin kalian ngapain?" Rahma langsung masuk diantara cerita mereka tanpa permisi."Kemarin itu...""Jangan ngomong apa-apa, dia ember." Bisik Nana setelah menutup mulut Rion secepa
"Kerja? Apaan?" Nana ragu. Terlalu banyak cerita kejahatan yang dia baca yang menyangkut tentang penawaran kerja pada awalnya, namun merugikan di akhir."Model?""Model apa? Jangan yang aneh-aneh ya, aku gak suka yang aneh." Nana cukup menyukai Rion, tapi tawaran menjadi model cukup meragukan mengingat terlalu banyak hal buruk yang terjadi dalam dunia permodelan yang selama ini dia ketahui melalui publik."Gak kok. Model biasa aja, pose depen kamera, cekrek, udah, gitu doang."*Nana menyetujui tawaran Rion, dan disinilah dia sekarang, menunggu di ruang tamu setelah disapa oleh saudara perempuan si kembar.Dan Rion serta Leon muncul bersamaan. tanpa kacamata yang bertengger di wajahnya, membuat keduanya terlihat bak pinang di belah dua, tak ada beda sama sekali."Cara kerja dan honornya akan dijelasin ama kakak aku yah Na." Ucap Rion kemudian menyerahkan sebuah map berisi beberapa lembar kertas yang su
"Kalian ini, bisa gak sih dipisahin barang sebentar aja, lima menit gitu?" Seorang perempuan dengan rambut dikuncir dan membawa selembar kertas bertanya pada keduanya.Rion dan Nana saling berpandangan seakan sedang bertelepati, beberapa kali keduanya mengerutkan kening dan menggeleng, namun di menit berikutnya setelah gadis itu bosan menunggu jawaban, akhirnya keduanya kompak untuk mengatakan tidak lalu memberikannya tawa dan tos."Sudah kuduga. Tapi sayangnya kalian memang harus pisah, kelompok yang baru diberikan Bu Erna bilang gitu." Ucap perempuan itu lagi.Teman sekelasnya memberikan secarik kertas kemudian meninggalkan mereka berdua menuju papan tulis untuk mengumumkan kelompok tersebut."Pisah Rin." Wajah Nana terlihat sedih dan mengerucutkan bibirnya tanda tak terima."Iya nih, ya mau gimana lagi lah, guru yang nentuin." Rion hanya terlihat santai dan mengangkat bahunya, pasrah.
Hari yang ditunggu Nana akhirnya tiba, hari sabtu. Hari yang dijanjikan oleh Rion bahwa akan membuat Sandy terpesona dengannya."Karena hari ini spesial, kakakku Marina yang akan memoles wajahmu." Rion berkata dengan wajah bersinar."Gak akan menor kan?" Nana tak terlalu yakin dengan keputusannya kali ini, mengingat dandanan Marina selalu saja tampak mencolok di matanya."Meragukan kemampuanku ya Na?" Marina menjawab pertanyaan Nana dengan pertanyaan.Marina mengajak Nana mengikutinya, melangkah masuk ke dalam kamar kakak perempuan Rion. Gaya minimalis, dengan meja yang penuh dengan alat-alat make up serta cermin yang lumayan besar dan terpasang beberapa bohlam yang bersinar dengan terangnya."Duduk Nana."Nana mengikuti perintah Marina untuk duduk dan Marina pun mulai menjalankan sesuatu yang paling disukainya, memoles wajah perempuan menjadi cantik dan bers
"Sempurna seperti biasa kak," Ucap Rion dengan jempol dan rona yang masih bertahan di wajahnya, "Yuk, temui Leon." lanjut Rion lagi.Nana hanya mengangguk kemudian menyusul Rion di belakangnya, menuju lantai tiga. Kamar kakaknya berada di lantai dua, bersama dengan kamar kedua orang tua Rion."Bro, kita udah siap nih, yuk ke bawah!" Teriak Rion dari balik pintu, sengaja menggoda saudara kembarnya untuk bisa segera bertemu dengan Nana yang sudah di make over oleh kakak mereka."Iya, bentar. Masih siapin kamera dan perangkatnya nih. Kamu sini kek, bantuin bawa!" Perintah Leon yang tak membuka pintu, hanya menjawab tanpa melihat ke arah sumber suara, dan terus sibuk merapikan alat - alat yang berhamburan.Akhirnya Rion menyerah, dia membuka pintu untuk membantu saudara kembarnya merapikan alat yang semalam di cek kondisinya dan tak sempat di rapikan kembali."Na, kamu bi
Ketika Sedang berfoto setelah beberapa kali take, Sandy dan Taufik muncul. Leon tak menghiraukan mereka dan melanjutkan untuk memfoto keduanya.Sandy dan Taufik begitu memperhatikan Rion dan Nana yang terlihat seperti pasangan sejati, saling bergandengan tangan dan menatap, membuat keduanya memiliki chemistry yang begitu kuat. Beberapa kali mereka merubah gaya, namun tetap saja, seakan keduanya memang pasangan sejati yang diciptakan dari tulang rusuk yang sama."Break!"Teriakan Leon membuat Nana menghembuskan nafas lega, disambut tawa hangat dari Rion yang memperhatikannya."Kenapa, Na? Tumben banget bernafas berat, kayak lagi banyak beban aja." Celetuk Rion menggoda Nana yang tidak biasanya."Akhirnya, pose tadi berat banget, tau gak sih? Mana harus mandang Rion kayak lagi liatin orang yang paling disuka.""Kau gak suka padaku Na?" Rion
Taufik hampir setiap hari datang ke kelasnya setelah hari itu. Mengajaknya bercerita, dan bahkan terkadang membawa cemilan untuk dirinya dan untuk NanaDan itu sangat mengganggu bagi Rion, terutama Nana. Karena dia tak bisa leluasa bercerita atau bercengkrama bersama Nana seperti biasanya. Taufik selalu saja muncul seperti setan yang tak di harapkan, lalu mencampuri cerita apa saja yang sedang mereka ceritakan."Rin, lama-lama aku jadi benci banget sama kehadiran Taufik, tau gak sih? Udah kelewatan gangguinnya." Nana melipat tangannya di dada dan menekuk wajahnya.Rion tertawa cukup keras, walau harus dia akui kalau Taufik memang mengganggu belakangan ini."Itu bukti kalau kau emang mempesona hari itu, coba kalau make overmu dipakai ke sekolah?" Rion mencoba menyemangati Nana dengan melihat sisi positif dari tingkah Taufik.Tawaran Rion membuat fikiran Nana melanglang
"Betul banget kak." Jawab Rion dengan riang.Marina membisikkan sesuatu yang hanya Nana dan Marina yang bisa dengar, bahkan Rion yang berada tepat di samping Nana pun tak mendengarnya."Oke kak, dengan senang hati." Nana langsung memperlihatkan jempol dan senyuman terbaiknya yang membuat Marina langsung bergegas keluar ruangan tersebut."Dibisikin apa sih?" Rion penasaran tentu saja, namun Nana hanya tersenyum menjawab pertanyaan Rion lalu kembali menekuri buku di hadapannya.Rion dan Leon hanya menghela nafas pasrah, percuma juga dia memaksa, karena tak mungkin Nana akan mengatakan sesuatu yang rahasia. Butuh lebaran monyet untuk itu.Rion pun ikut kembali menekuri soal-soal seperti yang dilakukan Nana."Bro, ngelamun aja, udah mutusin hadiahnya apa?" Taufik menepuk pundak Sandy yang sedang melamunkan sesuatu.Mendengar kata hadiah dari Taufik, me