Share

5

Akhirnya Nana pulang tanpa ikut bermain game. Dia hanya memperhatikan Sandy bermain dengan serunya sembari sesekali mengajak Rion bercerita.

Lelah memang, tapi jika mengingat setiap emosi yang diperlihatkan oleh Sandy, semuanya terbayar lunas, bahkan lebih. Teringat seperti momen waktu masih SMP yang selalu dia rindukan.

Pagi menyapa Nana, setelah menyelesaikan tugas sekolahnya lebih cepat, dia langsung tertidur tanpa sempat menikmati siaran tv ataupun update grup kelasnya. 

"Gimana tidurmu semalam? Pasti menyenangkan?" Tanya Rion ketika dia melihat Nana sudah duduk dengan rapi dalam kelasnya.

"Ya, langsung tertidur tanpa bermimpi saking capeknya." Nana menghembuskan nafas kasar.

"Gak ada mimpi pasal kejadian kemarin?"

"Kemarin kalian ngapain?" Rahma langsung masuk diantara cerita mereka tanpa permisi.

"Kemarin itu..."

"Jangan ngomong apa-apa, dia ember." Bisik Nana setelah menutup mulut Rion secepat mungkin.

"Kemarin?"

"Kemarin gak ada apa-apa kok," Jawab Nana tanpa melepas tangannya dari mulut Rion sampai tangannya terasa basah, "Kamu ngapain Yon?"

Rion hanya tersenyum menjawab pertanyaan Nana sembari memainkan alisnya naik turun.

"Ya sudahlah, pasangan mesra, kirain ada yang seru. Yuk upacara, bel udah bunyi tuh." Ajak Rahma lalu meninggalkan mereka berdua.

"Yuk Na, kita ikutan,"


"Tapi tadi ngapain kau jilatin tanganku sih?" Nana menatap Sandy bingung.


"Aku gak bisa nafas kau tutupin gitu mulut dan hidungku, ngomong juga percuma, ya udah, kujilatin." Rion tersenyum cengengesan yang membuat Nana menatapnya dengan pandangan aneh.

*

Bel istirahat pertama berbunyi, membuat beberapa orang bersorak senang karena akhirnya otak mereka bisa beristirahat sejenak. 

"Na, kau beneran suka sama Sandy ya?"

"Masih bertanya?" 

"Ya, maksudnya kan kok bisa sih kau suka. dari segimananya coba?" Rion ingin memperjelas alasan kenapa Nana menyukai Sandy.


Selain otaknya encer dan terlihat begitu manis ketika tersenyum, tak ada daya tarik lain, bahkan lelaki yang mebyandang predikat nomor satubterpuntar disekolahnya itu benar-benar terlalh angkuh, bahkan tak ada satupun wanita yang pernah dia terima sebagai pacarnya, tak bisa mengajari dan bahkan beberapa kali dia mengetahui jika Sandy tak akan pernah mengajari siapapun. Untuk tampangnya pun terluhat pas-pasan.

"Sial, yang itu bikin bingung. Dari segi mana yah?"

"Udah ah, lama. Yuk ke kantin."  akhirnya Rion mengalah untuk menunggu jawaban yang sepertinya takkan bisa dia dapatkan.

"Aku bawa bekal, mau berhemat dulu untuk sementara." ucap Nana kemudian mengeluarkan box berwarna biru beserta botol minum berwarna ungu.

"Wah, lengkap. Ya udah, tungguin yah, aku beli makanan trus sama-sama makan disini." Rion langsung berlari meninggalkan Nana yang masih menatapnya bingung.

"Aku udah bawa nih, makan yuk." Ucap Rion sesaat setelah dia kembali dari kantin.

Ada beberapa roti, air mineral, dan teh dalam kemasan yang dia bawa. Sesekali dia mencomot makanan yang ada dalam kotak bekal Nana.

"Makananmu enak banget deh. Kau buat sendiri?" Tanya Rion ketika keduanya telah selesai menikmati makanan masing-masing.

"Ya, kurang lebih, soalnya gak enak kalo ngerepotin nenek."

"Sederhana sih, tapi bikin kangen. kapan-kapan buatin aku juga yah." Rion menatap Nana penuh harap.

"Kau bayar berapa buat bekalnya?"

"Sepuluh ribu?"

Rion tertawa renyah, untuk ukuran yang seperti milik Nana, harga tersebut cukup mahal, tapi jika menilai rasa, tidak ada yang salah, bahkan termasuk murah.

"Baiklah, nanti aku pesan deh. By the way, mau kutawari kerja gak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status