Menurut kalian, apa yang harus kulakukan setelah disiram tak manusia seperti itu? Apalagi dengan Air yang aromanya busuk sekali.
Mengamuk.
Tentu saja! Memangnya aku harus diam saja diperlakukan seperti itu? Oh ... maaf. Aku nggak sebaik itu dan tidak salah. Jadi, tidak ada alasan untukku mengalah. Betul?
Aku mengamuk, aku berteriak marah dan menerjang si cewek gila itu. Tadinya aku menjambak rambut cewek itu, tapi dia membalasku sambil meraup wajahku. Ya, sudah. Aku juga ikutin aksinya, meraup wajahnya yang penuh dempulan.
Tak hanya itu, aku juga sengaja membasahi tanganku dengan tetesan air di baju, sebelum meraup wajahnya dan memeluknya kencang. Maksud aku, biar dia juga beraroma sama denganku, yaitu bau busuk dari air yang dia bawa. Adil ya ‘kan? Kalau kayak gini, dia jadi senjata makan tuan. Bener nggak?
Wanita itu pun menjadi murka dan terus saja menjambakku. Dengan senang hati aku ladenin dong. Karena aku juga sudah gemas dengan rambut blonde, hasil karya salon mewah itu.
Persetan dengan biaya yang dikeluarkan untuk membentuk rambut supernya. Berhubung dia sudah berani cari ribut sama aku, maka sudah jadi hukum wajib untukku melibasnya. Setuju?
Melihat aksiku. Si Nur kembar pun seperti tak ingin kehilangan moment. Mereka langsung saja mengabadikan kejadian itu dengan ponsel mereka.
Sahabat kampret memang! Bukannya nolongin malah sibuk bikin Video. Ternyata, bukan cuma si kembar Nur yang melakukan itu, tapi sebagian besar penghuni kantin yang ada di sana juga melakukannya. Sebagiannya lagi, menyoraki dan pasang taruhan untuk menentukan kemenangan.
Ya, salam. Mereka bener-bener dzolim ya sama aku?
Namun, Entah karena video mereka atau karena sudah dapat kabar dari mulut ke mulut, tak berselang lama Guntur pun datang dengan kawan-kawannya dan langsung memisahkan kami. Membuat koor bernada kecewa menggema di sana.
“Sayang, kamu lihat! Cewek itu bikin rambut sama make up aku rusak,” rajuk wanita itu, sambil menunjukan wajah melas pada Guntur.
Lebay!
“Jangan playing victim lo! Yang cari ribut pertama itu lo! Dasar makhluk dempulan!” sengitku tak ingin kalah.
“Udah diem!” lerai Guntur, “Kalian nih kenapa, sih? Kaya anak kecil aja tau nggak? Apa nggak malu diliatin maba yang lain?” katanya lagi. Membuat aku berdecak kesal.
Memang karena siapa coba kami jadi kaya gini?
“Kalau ada masalah itu, diomongin. Jangan kaya gini? Kalian pikir aku nggak malu jadi bahan rebutan kalian?”
Wuanjir! Pede sekali si buaya satu ini?
“Sok cakep banget lo?” tukasku tak terima. “Lo kira gue ngelawan dia buat elo, gitu? Dih, gak ada faedahny, sambungku dengan sarkas.
“Loh, tapi—”
“Gue ngelawan buat harga diri gue sendiri. Bukan buat elo, Guntur Adisaksena. Sekarang daripada lo semakin besar kepala lagi, mending lo seret nih cewek dari hadapan gue. Jangan sampai dia berani muncul di hadapan gue lagi!” tambahku dengan tegas.
“Tan, kamu salah faham. Dia ini bukan cewek aku. Kami sudah putus dan—”
“Bodo amat! Gue udah males sama lo! Minggir sana!” Aku sengaja menyela dan mendorongnya menjauh agar bisa segera pergi dari sana.
Begini ya pemirsa! Kuakui, aku memang suka sama Guntur dan nargetin dia jadi gebetan. Namun, kalau ternyata deket sama dia malah bikin aku tambah musuh, ya ... aku nggak mau dong!
Emang siapa dia? Baru gebetan doang. Calon pacar dan bukan calon suami. Jadi ... ngapain aku bela sampai mati coba?
Demen boleh, dungu jangan! Kaya nggak ada cowo lain aja yang bisa kugebet, ye ‘kan?
“Tan, tunggu dulu. Aku bisa jelasin semuanya. Kamu jangan ngambek gini dong. Aku tuh udah klik banget sama kamu. Aku mau jadi pacar kamu!” Guntur menghalangi langkahku dan mencoba meluluhkan hatiku.
Sayangnya, aku sudah nggak minat sama dia. Soalnya aku udah hilang respect, entah karena apa.
“Gue udah nggak minat. Minggir lo!” tolakku sambil mendorongnya menjauh kembali.
“Tan?”
“Intan?”
Entah ini keajaiban atau apa, tiba-tiba tak jauh dari tempatku, Pak Dika muncul dan memanggil namaku juga.
“Nah, calon laki gue udah dateng. Minggir lo. Gue mau balik!” Aku pun sengaja berbohong, agar bisa terlepas dari Guntur.
“Loh, itu bukannya Papanya Bella.”
Aduh! Aku lupa kalau Guntur pernah lihat Pak Dika waktu negor si Bella.
“Iya, emang dia Papanya Bella. Kenapa? Nggak masalah ‘kan kalau gue nikah sama dia?” balasku lagi. Aku mencoba tetap tenang menghadapi Guntur, padahal aslinya ketakutan parah.
Apalagi kalau sampai Pak Dika tau kebohonganku. Bisa semakin mati kutu aku!
“Jadi kamu nolak aku demi duda itu?!” seru Guntur tak terima.
Bangke, ya! Aku udah ngomong pelan, biar Pak Dika nggak curiga. Eh, si Guntur malah ngomong pakai toa. Bisa turun pamor aku kalau kaya gini?
“Memang kenapa kalau saya duda? Bukannya, cinta itu tak memandang status?”
Bukan, itu bukan jawabanku, melainkan jawaban Pak Dika yang entah sejak kapan sudah ada di belakangku.
“Tapi usia kalian sangat jauh. Bapak harusnya malu!” Guntur tak terima.
“Kenapa harus malu? Intannya sendiri nggak keberatan kok. Iya ‘kan, Sayang?” balas Pak Dika sambil meraih pinggangku mesra sekali.
Makkk ... Intan mau pingsan aja kalau kaya gini ...
'Sayang'Hanya karena satu kata itu, aku langsung linglung seketika. Blank dan haluku membumbung tinggi.Serius!Saking linglungnya, setelah itu aku sampai tidak tau bagaimana perdebatan Pak Dika dengan Guntur. Aku hanya ingat mereka memang sempat berdebat sebentar, sebelum Pak Dika menggiringku pergi dari sana.Anehnya, Pak Dika tidak membawaku ke parkiran atau tempat mobilnya terparkir, melainkan ke sebuah warung rokok yang ada di dekat kampusku. Warung ya
“Papa nggak ada!”“Masa, sih, Bel? Itu mobilnya masih ada kok?”“Bella bilang nggak ada, ya gak ada! Udah tante pergi sana!”“Ih, Bella. Kok nggak sopan, sih? Gini-gini Tante calon Mama kamu, loh. Belajar hormat sama Tante, Sayang!”“Ogah! Bella nggak mau punya Mama kaya Tante.”“Eh, Bella. Kok ngomongnya gitu? Tante bisa loh jadi Mama yang baik buat kamu. Plus ngasih kamu adik-adik yang lucu, terus— arghhh ... Bella! Kok Tante disiram, sih? Jadinya basah baju Tante nih?”
“Kiri-kiri, Sist. Di sini aja.” Aku menepuk pundak Nur, yang hari ini tumben baik hati mau nganterin aku pulang.Nurhayati tepatnya, karna Nurbaiti sedang tidak masuk hari ini. Si Nur pun mencebik kesal dan menoyorku yang tadi iseng memperlakukannya seperti kang ojeg.“Kunyuk! Ngelunjak emang lo ya? Udah gue anterin bukannya makasih, malah bikin gue kaya kang ojek aja,” omelnya membuat aku terbahak saja.“Abis lo mirip banget sama kang ojek jaman now. Sweater ijo sama helm ijo. Jadi salfok ‘kan gue. Lo kayaknya benar-benar menghayati banget peran lo jadi kang ojek ya, Nur?” sindirku di sela kekehanku.“Bangke emang lo! Temen nggak ada akhlak. Nama gue emang Nurhayati, kali! Dan gue—”“POKOKNYA BELLA NGGAK MAU!”Ucapan si Nur pun langsung terhenti, tatkala lengkingan suara Bella menginterupsi dari arah rumahnya. Aku dan si Nur sontak menoleh ke arah sumber suara. Kami langsung melihat Bella tiba-tiba keluar dari sana, sambil berlari sembarang arah. Entah mau ke mana itu bocah, yang jela
“Tunggu deh, Pak!” Aku akhirnya menarik tangan Pak Dika, setelah kami lumayan jauh dari mantan istrinya.Ya! Setelah pernyataan sepihaknya itu. Pak Dika memang langsung menyeretku lagi, hingga aku tidak bisa berkilah untuk ucapannya tadi. Namun, walau pun begitu, tetap saja ini harus diluruskan. Semua karena wanita selalu membutuh kepastian. Iya ‘kan?“Kenapa, Tan?” tanya Pak Dika akhirnya. Ia menurut untuk menghentikan langkahnya.“Itu, Pak. Sebelum kita lanjut cari si Bella. Saya mau tanya dulu. Tadi itu ... maksud Bapak apa men
“Pokoknya Bella maunya sama Tante Intan aja!” Bella merapatkan pelukannya padaku, saat ibunya berusaha menggendongnya.Ya! Akhirnya kami berhasil menemukan Bella, berkat orang gila yang terus saja menyebut Bella ini boneka. Wajar, sih. Bella memang seperti boneka tampangnya. Soalnya, biangnya juga licin banget kayak keramik di mall.Nggak itu bapak atau ibunya. Dua-duanya dari bibit unggul. Lalu, apa kalian mau tau di mana Bella ditemukan?
“Tan?”“Iya, Pah?”“Sini bentar, Nak,”Aku pun langsung mengurungkan niatku yang tadinya hendak ke dapur untuk ambil minum. Kini aku berbelok ke arah ruang tv, di mana Papa dan Mama berada.“Duduk sini, Nak,” titah Papah saat sudah dekat dengan tempat itu.Aku pun mengambil duduk di sofa samping Mama, karena Papa sendiri duduk di sofa single. Mama duduk di sebelahnya, di
Ratu Isabella sakit!Wew! Haruskah aku bikin pengajian buat ngerayainnya? Soalnya aku senang banget dengar kabar ini.Asli!Please, jangan bilang aku kejam atau nggak punya hati. Kalian nggak tau aja bagaimana rasanya hidup berdampingan sama makhluk ngeselin kayak bocah itu.Hidupku rasanya runyam!Makanya boleh ya aku adain pengajian syukuran. Biar boc
Sluuurrrppp ….Aaahhh ….Glek!Aku meneguk ludah tanpa sadar. Saat melihat Bella menyeruput kuah sayur yang aku buatkan, hingga tak bersisa di mangkuknya.Gila! Nih bocah doyan apa lapar, sih? Sampai bersih gitu mangkoknya. Nggak usah dicuci lagi kayaknya. Sudah licin gitu kok.“Enak, Tante. Nanti bikinin lagi ya?”Kebiasaan! Sakit-sakit tetap aja ngelunjak.“Masih ad