Agak lama Nia tak juga membuka suara. Irsya yang duduk di sampingnya ikut merasa berdebar menantikan jawaban yang akan diberikan sang istri.“Kakak, Adek, sini!” Alih-alih memberikan jawaban, Nia justri memanggil kedua anaknya.“Kenapa, Bu?” tanya Dinta setelah sampai di ruang tamu. Di belakangnya menyusul Danis yang hari itu terlihat tampan dengan celana pendeknya.“Ajak Aira main. Kalian masih ingat Aira?” Ucapan yang disampaikan Nia membuat Agam dan Iyan bernapas lega.“Eh, iya, kayaknya masih ingat,” jawab Dinta sambil menggaruk kepalanya.“Ajaklah main. Dan, ajak juga beli es krim di depan, ya? Ambil uang di atas kulkas,” perintah Nia.“Ayo, sini, kita belie s krim,” ajak Dinta seraya melambaikan tangannya. Memberi tanda pada Aira supaya mendekat.Aira menoleh pada Iya, seolah meminta pertimbangan.“Sana, sama Mbak Dinta dan Mas Danis beli es krim!” Jawaban Iyan disambut senyum sumringah oleh Aira.Gadis kecil itu berdiri malu-malu dan mendekat ke tempat dimana Dinta berdiri.“Sa
‘Tiga tahun, ah empat tahun sepertinya. Aira hidup dalam limpahan kasih sayang dari orang-orang sekilingnya. Baju bagus dan mainan mahal seolah tidak bisa lepas dari kehidupan dia. Namun, empat tahun kemudian, ia harus hidup dalam kesengsaraan. Ibunya gila, dan ekonomi keluarga yang sepertinya kekurangan, membuatnya berpenampilan yang tidak layak. Aku pernah sakit hati, bahkan sangat membenci anak itu. Namun, apa yang ia alami, sepertinya jauh lebih buruk dari anak-anakku saat itu. Ayah darimereka diambil, tapi kemudian, ibumu yang tiba-tiba kehilangan kewarasan. Hidup adalah tabur tuai. Siapa menanam, maka dia yang akan memanen. Hati, berusahalah untuk ikhlas memaafkan. Karena mereka sudah lebih menderita dari keadaanku dulu,’ ucap Nia dalam hati. “Kak, belum mandi ‘kan dari pagi?” tanya Nia pada Dinta. “Belum ...,” jawab Dinta sambil nyengir. “Mandi, gih! Ajak Aira mandi sekalian. Nanti, suruh dia ganti baju. Di lemari bawah, banyak baju Kakak waktu kecil. Biarkan dia milih,” ujar
Genap tiga bulan sudah Rani meninggalkan Iyan dan juga Aira. Rasa sedih terkadang masih hadir dalam hati lelaki yang usianya sudah kepala tiga itu. Rasa cintanya sangat besar terhadap wanita yang ia nikahi saat usianya masih tujuh belas tahun.Selama itu pula dirinya sudah tidak pernah bertemu Maya. Kabar yang ia dengar dari salah satu tetangga Maya yang kebetulan dikenalnya mengatakan, bahwa wanita yang berstatus janda itu, kini sibuk menjadi guru ngaji.Suatu pagi yang cerah di hari libur, Iyan sudah bersiap di atas kendaraannya. Ia telah berjanji pada putri semata wayang yang telah menjadi piatu—untuk mengajaknya ke rumah Agam. Aira tentu saja sangat gembira. Selama ini, dirinya tidak pernah mengajak pergi jauh.“Apa di jalan akan dingin, Ayah?” tanyanya semalam, ketika keduanya menyusun rencana bersama.“Iya, dingin sekali,” jawab Iyan seraya meletakkan kedua tangan di depan dada, memberikan tanda orang yang tengah kedinginan.“Seperti saat kita ke rumah Mbak Dinta?” tanya Aira la
Aira mendorong Bilal yang duduk di atas sepeda, di halaman rumah. Terkadang keduanya keluar ke jalan depan.“Kalau ada motor minggir ya, Aira?” teriak Laila saat wanita itu keluar rumah untuk ke warung.“Iyaaaa …,” jawab Aira singkat.“Ajarilah anakmu sopan santun, Iyan. Beritahu cara memanggil orang dengan benar. Laila, meskipun dia jauh lebih muda umurnya dibanding kamu, dia tetap istriku. Kenalkan pada AIra kalau dia bu dhe-nya,” kata Agam pada sang adik. Keduanya memilih duduk di teras sambil mengawasi anak-anak bermain.“Iya, Mas. Maaf,” jawab Iyan. “Mas, sepertinya Mbak Nia masih kaku ya sama aku? Kayak tidak bisa tulus gitu menerima permintaan maaf dariku,” lanjutnya lagi.“Bukan tidak tulus. Hanya saja, ya, itu dia, masih kaku dan canggung. Wajarlah, itu terjadi. Kalian tidak pernah bertemu sekian lama. Pertemuan terakhir kapan? Kamu juga lupa, ‘kan? Itu pun, perpisahan antara aku dan Nia, menimbulkan masalah dengan keluarga kita. Dia sudah menerima kita dengan baik, memberi A
Sepulangnya dari rumah Agam, Iyan selalu memikirkan saran yang diberikan oleh kakak kandungnya itu. Ia menimbang baik buruknya bila Aira dimasukkan ke pondok pesantren. Tak lupa, dirinya juga meminta pendapat dari Nusri, juga Hanif. "Jangan sembarangan kalau bicara, Iyan. Mana ada anak sekecil Aira dibawa ke pondok? Gak! Ibu tidak setuju." Nusri menolak keras. "Ini Mas Agam hanya memberi saran, Bu. Tapi, aku berpikir kalau itu ada benarnya juga. Toh, di rumah saja, dia tidak ada teman," Iyan mencoba menguatkan pendapat Agam. "Apa kita coba setahun, Bu? Kalau Aira betah, maka dia bisa melanjutkan. Kalau tidak, ya, kita bawa pulang lagi," saran Iyan. "Buat anak itu jangan coba-coba. Kamu kalau meletakkan Aira di pondok, nanti dia sakit, dia tertekan, terus nanti sakit, nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, bagaimana ayo?" Hanif ikut memberikan pendapat. "Aira mau dipondokkan, Pak. Bukan diletakkan seperti barang. Lagipula, terlalu jauh lah mikirnya Bapak ini," sahut Iyan. "
"Ayah, bolehkah aku tidur sama Ayah?" tanya Aira berdiri di samping ranjang tempat Iyan berbaring. Iyan yang masih bermain benda pipih di tangannya menoleh dan menarik bibir sehingga membentuk lengkungan. "Boleh, dong," ujarnya seraya memindahkan tubuh, menepi pada sisi ranjang untuk memberikan tempat bagi putrinya. Setelahnya, secepat kilat, Aira berbaring di samping Iyan. Tubuhnya terlentang, menatap langit-langit kamar yang warna catnya sudah usang. "Kamu mikir apa?" tanya Agam diikuti dengan gerakan memiringkan tubuh menghadap anak semata wayangnya. Tangannya terulur merapikan anak rambut Aira yang berserakan. "Aku sudah dengar, Ayah bicara apa sama Mbah. Ayah mau mengirim aku ke pondok, 'kan?" tanya Aira dengan tanpa ada nada sedih. Iyan tidak menjawab pertanyaan sangat putri. Ada yang mencekat di tenggorokan. "Ayah tidak bermaksud apa-apa, Aira. Ayah hanya ingin, Aira bisa mengaji. Aira dididik jadi anak baik dan sholehah yang bisa mendoakan Ibu. Ayah tidak bisa mengajari
"Sudah siap semuanya?" tanya Iyan di suatu malam kalau melihat Aira memasukkan jilbab terakhir ke dalam tas besar. "Sudah, Ayah," jawab Aira sambil menoleh pada ayahnya yang menampakkan raut wajah sedih. "Jangan nangis di sana ya, Ra?" pesan Iyan lagi. Satu jarinya menyeka sudut mata yang basah. "Tidak. Ayah yang nangis itu," canda Aira "Maafkan Ayah, tidak bisa memasukkan kamu ke pondok modern, ya? Kasur lantainya sudah Ayah siapkan buat tidur Aira di sana. Ayah juga sudah menyiapkan selimut baru. Dan ...." "Ayah, itu semua sudah cukup. Aku sudah memasukkan baju-baju yang panjang yang dikasih ibunya Mbak Dinta." Iyan semakin merasakan sesak dalam dada. Anaknya begitu bahagia hanya memakai baju bekas. "Maafkan Ayah ya, Aira?" "Maafkan Aku, Ayah. Karena aku nakal, Ayah jadi seperti ini. Aku janji, setelah pulang dari pondok, aku akan menjadi anak yang baik," janji Aira. Iyan melangkah menuju posisi dimana Aira berdiri. Tas besar sudah ada di atas ranjang dan siap untuk diangkut
SEASON 4 ISTRI LIMA BELAS RIBU Part 1 Aira menatap bilik kamar yang terdapat banyak barang. Lemari kayu berjajar di pinggir tembok yang bercat putih usang. Nyali menciut seketika karena sadar akan menghadapi sebuah kehidupan yang jauh berbeda dengan kehidupannya yang dulu. Ia tidak tahu sebelumnya, seperti apakah hari-hari yang dijalani para santri di pondok. Terlebih saat usianya masih sekecil itu. “Kamu akan tinggal di sini mulai sekarang,” kata Agam berbisik di telinga Aira. Iyan memindai seluruh isi kamar. Ada beberapa kasur lantai yang dilipat. Lemari berjajar dengan tembok di sebelah atasnya digunakan untuk menggantung baju dan beberapa bantal yang ditumpuk. Tidak ada santri di sana karena pagi hari, yang sekolah sudah berangkat. Yang tidak sekolah sedang melakukan kegiatan mengaji. Pondok pesantren yang akan ditempati Aira berbasis salaf. Namun, pengurus dan pemilik pondok pesantren juga menerima santri yang sekolah. “Setelah ini kita akan ke sekolah kamu yang baru,” kata