Sepulangnya dari rumah Agam, Iyan selalu memikirkan saran yang diberikan oleh kakak kandungnya itu. Ia menimbang baik buruknya bila Aira dimasukkan ke pondok pesantren. Tak lupa, dirinya juga meminta pendapat dari Nusri, juga Hanif. "Jangan sembarangan kalau bicara, Iyan. Mana ada anak sekecil Aira dibawa ke pondok? Gak! Ibu tidak setuju." Nusri menolak keras. "Ini Mas Agam hanya memberi saran, Bu. Tapi, aku berpikir kalau itu ada benarnya juga. Toh, di rumah saja, dia tidak ada teman," Iyan mencoba menguatkan pendapat Agam. "Apa kita coba setahun, Bu? Kalau Aira betah, maka dia bisa melanjutkan. Kalau tidak, ya, kita bawa pulang lagi," saran Iyan. "Buat anak itu jangan coba-coba. Kamu kalau meletakkan Aira di pondok, nanti dia sakit, dia tertekan, terus nanti sakit, nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, bagaimana ayo?" Hanif ikut memberikan pendapat. "Aira mau dipondokkan, Pak. Bukan diletakkan seperti barang. Lagipula, terlalu jauh lah mikirnya Bapak ini," sahut Iyan. "
"Ayah, bolehkah aku tidur sama Ayah?" tanya Aira berdiri di samping ranjang tempat Iyan berbaring. Iyan yang masih bermain benda pipih di tangannya menoleh dan menarik bibir sehingga membentuk lengkungan. "Boleh, dong," ujarnya seraya memindahkan tubuh, menepi pada sisi ranjang untuk memberikan tempat bagi putrinya. Setelahnya, secepat kilat, Aira berbaring di samping Iyan. Tubuhnya terlentang, menatap langit-langit kamar yang warna catnya sudah usang. "Kamu mikir apa?" tanya Agam diikuti dengan gerakan memiringkan tubuh menghadap anak semata wayangnya. Tangannya terulur merapikan anak rambut Aira yang berserakan. "Aku sudah dengar, Ayah bicara apa sama Mbah. Ayah mau mengirim aku ke pondok, 'kan?" tanya Aira dengan tanpa ada nada sedih. Iyan tidak menjawab pertanyaan sangat putri. Ada yang mencekat di tenggorokan. "Ayah tidak bermaksud apa-apa, Aira. Ayah hanya ingin, Aira bisa mengaji. Aira dididik jadi anak baik dan sholehah yang bisa mendoakan Ibu. Ayah tidak bisa mengajari
"Sudah siap semuanya?" tanya Iyan di suatu malam kalau melihat Aira memasukkan jilbab terakhir ke dalam tas besar. "Sudah, Ayah," jawab Aira sambil menoleh pada ayahnya yang menampakkan raut wajah sedih. "Jangan nangis di sana ya, Ra?" pesan Iyan lagi. Satu jarinya menyeka sudut mata yang basah. "Tidak. Ayah yang nangis itu," canda Aira "Maafkan Ayah, tidak bisa memasukkan kamu ke pondok modern, ya? Kasur lantainya sudah Ayah siapkan buat tidur Aira di sana. Ayah juga sudah menyiapkan selimut baru. Dan ...." "Ayah, itu semua sudah cukup. Aku sudah memasukkan baju-baju yang panjang yang dikasih ibunya Mbak Dinta." Iyan semakin merasakan sesak dalam dada. Anaknya begitu bahagia hanya memakai baju bekas. "Maafkan Ayah ya, Aira?" "Maafkan Aku, Ayah. Karena aku nakal, Ayah jadi seperti ini. Aku janji, setelah pulang dari pondok, aku akan menjadi anak yang baik," janji Aira. Iyan melangkah menuju posisi dimana Aira berdiri. Tas besar sudah ada di atas ranjang dan siap untuk diangkut
SEASON 4 ISTRI LIMA BELAS RIBU Part 1 Aira menatap bilik kamar yang terdapat banyak barang. Lemari kayu berjajar di pinggir tembok yang bercat putih usang. Nyali menciut seketika karena sadar akan menghadapi sebuah kehidupan yang jauh berbeda dengan kehidupannya yang dulu. Ia tidak tahu sebelumnya, seperti apakah hari-hari yang dijalani para santri di pondok. Terlebih saat usianya masih sekecil itu. “Kamu akan tinggal di sini mulai sekarang,” kata Agam berbisik di telinga Aira. Iyan memindai seluruh isi kamar. Ada beberapa kasur lantai yang dilipat. Lemari berjajar dengan tembok di sebelah atasnya digunakan untuk menggantung baju dan beberapa bantal yang ditumpuk. Tidak ada santri di sana karena pagi hari, yang sekolah sudah berangkat. Yang tidak sekolah sedang melakukan kegiatan mengaji. Pondok pesantren yang akan ditempati Aira berbasis salaf. Namun, pengurus dan pemilik pondok pesantren juga menerima santri yang sekolah. “Setelah ini kita akan ke sekolah kamu yang baru,” kata
Part 2 “Aira sudah ada di pondok. Kamu harus membuka kembali lembaran hidup. Cari istri dan kerja yang benar. Tapi, carilah istri yang bisa menerima Aira sebagai anakmu,” kata Agam. Iyan diam, tetapi otaknya mencoba mencerna apa yang disampaikan oleh sang kakak. Sampai di rumah, Iyan mendapati Nusri sedang menangisi Aira. Pun dengan Hanif yang memandangi terus wajah cucunya yang ada di foto. “Dia tidak menangis?” tanya Nusri. “Tidak. Doakan saja semoga bahagia,” jawab Agam seraya duduk bersandar pada kursi karena kelelahan. “Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” tanya Agam. “Aku belum kepikiran, Mas. Aku masih memikirkan Aira. Dia harus hidup tanpa siapapun di sana. Aku menyesal sudah membawanya ke pondok,” kata Iyan lalu terisak. “Jangan sesali! Karena Aira harus diberi pendidikan yang lebih baik. Di sini, dia hanya akan menjadi masalah bagi orang sekeliling karena sifatnya yang terkadang mau menang sendiri. Apa yang terjadi sama Aira, marilah kita jadikan sebagai pelajaran
Part 3“Jangan sembarangan ambil piring! Kamu gak bawa piring juga?” bentak Cika saat Aira hendak makan makanan yang dibeli di luar bersama Aini. Saat itu, Aini dipanggil oleh pengurus pondok.Aira menggeleng pelan.Cika memutar bola mata kesal. “Kamu ini kesini niat apa sih? Kenapa ini gak bawa, itu gak bawa. Ibu kamu mengurusi kamu gak?” bentak Cika lagi. “Kamu mau seenaknya saja memakai barang orang. Dipikirnya semua ini gratis disediakan pondok. Gak punya sopan santun banget sih main ambil tanpa izin dan permisi? Punya adab atau tidak?”Mata Aira merah. Antara ingin melawan dan juga takut. Ia menoleh mencari dimana Aini berada tetapi gadis itu tidak ada.Aira membanting piring yang berbahan seng itu ke lantai. Sifat ingin menang sendirinya datang lagi karena perlakuan dari Cika.“Eh, malah dibanting lagi. Ambil!” teriak Cika.“Ambil sendiri! Aku tidak suka dibentak-bentak,” teriak Aira. Ia lalu keluar kamar pondok dan duduk di teras seorang diri.Cika yang tidak terima dibentak a
Part 4Aini membelai lembut punggung Aira. Ia menangis dan mengusap air matanya menggunakan lengan baju yang kebesaran.“Cika, dia anak baru. Seharusnya kamu bisa mengayomi dia. Seharusnya kamu nasehati saja. Tidak perlu mengajaknya berkelahi,” kata Ustadzah. “Kamu kenapa masih suka membuat onar?”“Saya tidak suka barang-barang saya diambil. Saya tidak suka kalau ada orang asing seenaknya saja memakai barang saya,” ujar Cika tidak suka. “Dan saya tidak mau dia ada di kamar saya,” katanya lagi.“Kalau begitu, kamu pindah kamar.” Ustadzah memutuskan demikian.“Tidak bisa begitu, Ustadzah! Saya yang lama. Kenapa harus mengalah dengan anak yang baru? Tidak! Saya tidak mau pindah!” tolak Cika.“Kalau begitu, jangan bikin ulah lagi! Sekarang, kamu minta maaf sama Aira!”“Tidak mau. Dia yang sudah mengambil piring saya, kenapa saya yang minta maaf? Dia dong, yang minta maaf?”“Tapi kamu yang menyerang dia dulu, Cika.”“Tidak mau. Dia yang harus minta maaf dulu sama saya.”Aini merasa kepalan
Part 5Aira sudah memakai baju lengkap. Beberapa anak yang hendak sekolah juga memakai baju yang sama. Lagi-lagi, Aini harus merasa kasihan dengan anak itu. Aira memakai baju yang agak besar juga.“Apa itu juga punya Mbak Dinta?” tanya AIni penasaran.“Iya,” jawab Aira pelan sambil memakai sepatu.Cika yang belum mau masuk ke kamarnya lewat dan berbisik dengan teman yang bersamanya. “Idih, Mbak Aini sudah kayak ibunya Aira saja, ya? Lebay banget gak sih?” bisiknya.“Iya. Berlebihan sekali.”Mereka memandang sinis pada Aira yang duduk di pinggiran teras bilik sambil memakai sepatu.“Ingat, Aira! Jangan apa?” tanya Aini.“Jangan nakal.”“Kalau kamu nakal, Mbak Aini gak mau lagi berteman sama kamu,” pesan Aini.“Iya, Mbak.”“Kalau dinakali harus apa?” tanya Aini lagi.“Harus diam.”“Bagus! Sekarang, kenalan sama teman-teman yang akan sekolah ya? Mereka adalah saudara kamu di sini,” kata Aini lagi lalu memanggil beberapa anak yang akan pergi ke sekolah.Mereka diminta mengajak Aira berang