Hari ini, jadwal Mas Agam pulang ke rumahku. Iya, rumahku. Karena rumah ini diberikan oleh orangtuaku. Mereka membuat rumah ini saat Dinta berumur satu tahun. Jarak dengan tempat tinggal Ibu dan Bapak hanya lima ratus meter.
Aku tidak langsung menanyakan perihal buku rekening yang kutemukan tadi siang. Menunggu saat yang tepat.
Setelah anak-anak tidur, dan kami berdua tengah menonton televisi, barulah aku menyusun bahasa untuk memulai menanyakan tentang gajinya. Lebih tepatnya menginterogasi.
“Mas, saat bersih-bersih tadi siang, aku menemukan ini.” Kuberikan buku rekening miliknya. Buku tersebut sebelumnya sudah kusimpan di bawah kasur yang sengaja digunakan saat anak-anak menonton TV. Wajahnya terlihat pucat. Tangan bergetar saat memegang benda berharga miliknya itu.
“Ka Kamu nemu dimana dek? Ka kamu udah buka isinya?” Tanyanya dengan nada terbata-bata.
“Di dalam buku pelajaran matematika. Sudah... “ Jawabku santai.
“Kenapa Mas? Kenapa kamu pucat seperti itu? Apa karena isi dalam buku itu berbeda dengan yang kamu ceritakan padaku?” Tanyaku kemudian sembari menatap tajam matanya.
“Tega kamu, Mas! Aku seperti kamu paksa untuk berjuang sendiri demi menghidupi keluarga kita. Sekarang aku tanya. Kemana uang kamu yang lain?”
Ia diam tidak menjawab. Terlihat tertunduk kepalanya. Sembari memainkan kuku-kukunya.
“Aku kasihkan sama Ibu, Dek…” jawabnya lirih setelah sekian lama.
Kuhembuskan nafas dengan kasar. Lalu mencoba menetralisir gemuruh dalam dada dengan menarik nafas kembali secara pelan-pelan.
“Sebagian uang sertifikasi juga?” Ia mengangguk.
“Begini Dek, Mas kan menjadi seorang PNS karena jasa Ibu. Kamu kan dapat senengnya, Dek. Sedang Ibu telah berjuang agar Mas bisa sekolah. Hingga sampai di titik ini. Kamu harus nerima dong. Jangan egois gitu lah. Kamu seharusnya bersyukur. Dapat laki-laki mapan kayak aku. Hidupmu terjamin.”Jelasnya terdengar agak ketus.
What? Beruntung karena hidupku terjamin?
“Kalau hidupku terjamin, aku harusnya tak perlu susah payah jualan ini itu dong Mas?”
“Ya sudah nasib kamu lah, coba kamu kaya aku. Jadi Abdi Negara juga. Kamu gak perlu ngemis nafkah gitu sama aku. Kalau kamu harus susah payah jualan, ya, itu karena gajimu kecil. Bahkan gak tahu, kamu ngajar dapat gaji apa tidak.” Netra ini tiba-tiba memanas. Suamiku yang selalu bertutur kata lembut, malam ini sungguh kata-katanya tajam bagai belati.
“Mas, seorang istri wajib kamu nafkahi. Uang suami berarti uang istri juga. Sedangkan uang istri, bukan uang suami. Aku tidak melarangmu memberi uang sama Ibu, tapi tolonglah, lihat dulu keadaan aku. Sementara Ibu, hidup berkecukupan bahkan berlebihan. Tidakkah bisa, kamu menukar nominal uang yang diberikan pada Ibu untukku. Karena aku lebih membutuhkan itu Mas. Lalu uang sertifikasi yang separuh kemana?”
“Ya, buat Ibu juga lah. Terserah aku dong. Uang uangku. Kenapa kamu yang sewot. Itu kalau kamu masih mau jadi istriku, kamu harus nurut.”
Selepas bicara itu, dia bangkit. Masuk kamar mengambil jaket, lalu terdengar ia pergi mengendarai motornya.
Kulihat tas di meja kerjanya tidak ada. Helm juga. Sepertinya ia pergi ke rumah orangtuanya…
Selepas kepergian Mas Agam, aku masih terpaku. Tak percaya bila ia tega mengatakan kata-kata yang begitu menyakitkan padaku. Apakah ini sisi lain darinya yang tidak kuketahui? Kuakui aku hanya tahu kehidupannya bila di rumah saja, di luar sana aku tidak pernah tahu, apa yang dilakukan serta bagaimana perilakunya.
Saat sedang asyik dengan segala pemikiranku, tiba-tiba gawaiku berdering. Nomer baru menghubungi pada telepon seluller.
“Assalamualaikum…” Sapaku.
“Waalaikumsalam… Nia sayang, apa kabarnya? Sudah lama aku tak pernah tahu kabarmu. Tadi iseng-iseng buka grup WA alumni Aliyah, eh aku lihat foto kamu. Uh, maklumlah ya, kita kan dulu sekolah di jaman belum ada hp. Jadi, setelah lulus aku kehilangan jejak kamu deh.” Suara di seberang telepon terdengar terus berbicara tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjawabnya. Aku tahu siapa dia. Tiga tahun kami satu kelas, dan satu kos, membuatku tak bisa melupakan spesies langka yang satu ini. Afifah, gadis mungil yang kecepatan bicaranya melebihi kilat, gadis baik yang selalu menolong siapapun yang membutuhkan. Teman sekaligus saudara bagiku, namun harus terpisah saat kami lulus. Ia berasal dari kabupaten lain. Pada waktu itu, handphone menjadi barang langka, hanya mereka dari kalangan berada saja yang punya. Itu pun belum secanggih sekarang untuk fitur dan aplikasinya. Afifah sudah mempunyainya, tapi aku belum punya. Sempat ia memberi nomer agar aku bisa menghubunginya, tapi hilang.
“Halo… haloo… Ni? Kamu masih dengerin aku kan?” Setelah ia berbicara panjang lebar barulah ia ingat aku.
Akhirnya malam itu, kami bercerita panjang lebar tentang kehidupan kami selepas lulus Aliyah. Ia ternyata belum memiliki anak di usia pernikahan yang keenam ini. Begitulah kehidupan, tak ada yang sempurna. Setiap orang akan mendapat ujian yang berbeda-beda.
Mengobrol dengan Afifah membuatku sejenak lupa pada permasalahanku dengan Mas Agam. Afifah ternyata sekarang sedang menggeluti bisnis produk kecantikan, yang diendorse oleh artis-artis ternama, salah satunya pemeran utama sinetron Ikatan Tinta yang sedang viral. NS Glowing, Nama produknya. Ia sudah menjadi member dengan penghasilan di atas dua puluh juta dalam satu bulan. Dan saat ini tengah mengajukan untuk menjadi agen. Afifah paham, bahwa di daerahku belum ada yang menjadi member untuk produk ini, ia menawari kerjasama denganku. Awalnya ia bilang akan mendaftarkanku sebagai reseller. Mengirimku sepuluh paket produk tersebut, plus gratis satu paket untukku. Uangnya bisa ditransfer setelah semua laku. Ah, dia memang baik dari dulu.
“Kamu pakai aja dulu, insya allah aman dan tidak menimbulkan ketergantungan. Kalau gak percaya, kamu pakai, setelah wajahmu bagus, coba berhenti beberapa hari. Timbul reaksi gak sama wajahmu. Insya allah sih enggak. Habis kamu berubah cantik tuh, kamu iklan deh. Nanti aku kirimi video yang endorse artis-artis, kamu buat story. Kalau udah banyak yang pakai, kamu daftar member. Nanti aku bantu modalnya say, jangan kuatir. Kamu bisa balikin modal nyicil dari untung-untung yang didapatkan. Di kabupaten kamu, aku cek belum ada member. Pasti nanti laku keras, apalagi kalau kamu juga jual di aplikasi jual beli juga. Pasti tambah untung tuh. ”Sebuah tawaran yang menggiurkan dan patut aku coba. Apalagi, aku tak perlu modal. Setelah pembicaraan ngalor ngidulku dengan Afifah, semangatku untuk bangkit dan menjadi wanita sukses, berkobar dalam dada. Akan aku tunjukkan, kalau aku bias menjadi wanita sukses pada Mas Agam yang sudah bilang bahwa aku mengemis nafkah padanya.
Dewi fortuna sepertinya sedang mengikutiku. Selesai berceloteh ria dengan Afifah, gawaiku kembali berdering. Kali ini dari pemilik toko makanan ringan besar di kecamatanku. Ternyata ia ingin menjalin kerjasama juga. Pernah mencoba keripik dari salah satu guru TK yang membeli di aku, ia meminta untuk distok dalam berbagai kemasaan. Ia menanyakan apakah aku sanggup apa tidak. Tentu saja, kesempatan ini tidak ingin aku lewatkan sia-sia.
“Keripik pisang sama singkongnya bisa dikirim lusa Mbak Nia?” Tanyanya kemudian setelah aku menyanggupi.
“Bisa Mbak, Insya Allah…” Jawabku mantap. Sepertinya aku tidak bisa memproduksi sendiri. Harus mencari orang untuk membantu. Ah, tidak mengapa, aku mengenal tetangga yang cekatan untuk kuminta mengerjakan ini. Besok pagi aku akan mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Malam telah semakin larut, akhirnya rasa kantuk menyerang juga. Kubaringkan tubuh di samping Danis. Memeluknya erat ke alam mimpi…
Pagi ini, aku sudah mendapatkan orang yang akan membantuku membuat keripik. Dengan bahan sisa yang ada, mereka mulai bekerja. Setelah sebelumnya kuajari mereka tentunya. Kulanjut menyiapkan sarapan untuk Dinta dan Danis. Setelahnya berangkat ke TK bersama Danis yang sudah mulai masuk nol kecil. Mulai hari ini kantin akan aku isi dengan makanan ringan saja, agar tidak repot. Selepas pulang nanti, aku berencana ke petani pisang sama singkong, meminta agar dikirim stok barang agak banyak.Seminggu sudah berlalu, Mas Agam belum juga pulang. Pun tidak memberi kabar. Keripik-keripik produksiku juga sudah kupasarkan melalui story WA. Banyak warung desa lain yang ikut memesan. Ada tiga toko lagi di pasar yang meminta distok juga. Rasa yang lebih enak, menjadi alasan makanan ini semakin laris di pasaran. Namun aku percaya bahwa ini semua merupakan kemudahan yang Allah berikan. Untuk sementara, aku belum ada keinginan untuk menyusul Mas Agam. Pesanan yang semakin banyak,
Selepas kepergian Bapak dan Mbak Eka, kuajak anak-anak naik motor. Sekedar cari angin, menghibur dua kakak beradik ini. Karena kutahu, meski hanya sebuah insiden kecil, tapi sudut hati buah hatiku merasa terluka. Ada perih yang menggores, saat mereka yang tidak bersalah sedkitpun harus ikut merasakan kemarahan kakeknya.Saat tengah menunggu pesanan bakso di warung lesehan, Dinta bertanya mengapa ayahnya tidak pulang.“Ayah ngembek ya, Bu?” tanyanya lagi saat tidak mendapat jawaban dari aku. Aku mengangguk mengiyakan, seraya tersenyum. Bingung mau menjelaskan apa pada anak sekecil mereka.“Kalau Ayah tidak pulang, kita susul kesana ya, Bu? Adek gak mau kalau Ayah pergi. Adek takut tak punya ayah lagi…” Danis ikut nimbrung pembicaraan kami. Matanya terlihat berkaca-kaca. Lagi-lagi hanya anggukan yang mampu aku lakukan.Setelah baksonya datang, keduanya tak lagi mebicaraka
Tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Aku yang semula hendak mengajak mereka pulang, kuurungkan, menunggu hujan reda. Kami berteduh. Mepet ke depan pintu, agar tidak basah terkena air hujan. Dinta dan Danis tertidur setelah menangis. Dinta kubaringkan dengan berbantalkan tas. Sedang Danis berada di pangkuan. Gawaiku bergetar. Ada sebuah pesan di aplikasi dari Fani. [Mbak, udah kuantar semua keripiknya. Tadi bagi tugas sama Anis. Ini dapat uang enam juta.] [Ya, Fan…] [Mbak, kapan pulang? Gak kenapa-napa kan di sana?] [Iya, gak terjadi apa-apa. Bentar lagi pulang. Nunggu hujan reda.] Fani serta Bapak Ibu pasti mengkhawatirkanku. Biar nanti di rumah saja aku cerita sama mereka. [Paket krimnya tadi ada yang ambil. Temen Mbak katanya. Udah kasih uang juga. Habis mbak, creamnya] Lanjutnya lagi. Alhamdulillah usahaku maju. Segera kum
Part 6Semakin sesak kurasakan beban dalam dada. Bila tidak sedang berada di tengah-tengah keluarganya, ingin aku menangis. Demi melihat teganya ia pada darah dagingnya sendiri.“Danis, sini. Peluk Ayah. Gak kangen sama Ayah?” Tangan suamiku terulur hendak mengangkat Danis. Tubuhnya perlahan mendekati Dinta dan Danis.“Ayah yang gak kangen sama kami. Ayah pergi gak pulang. Juga gak telpon. Ayah lupa ya sama Kakak sama Danis?” Dinta, tiba-tiba ia berani berkata seperti itu terhadap Ayahnya. Aku berfikir, ini adalah luapan kekesalan hati yang sejak tadi ia pendam.“Iya, Ayah jahat. Ayah gak pernah ajak piknik. Tapi ajak Aira. Ayah lebih sayang Aira. Danis gak pernah dibelikan mainan sama Ayah. Tapi Aira sering.” Setelah berkata seperti itu, Danis menangis.“Kakak juga belum pernah Dek, dibelikan boneka kayak gitu sama Ayah.” Aku bingung, anak-anakku kenapa bisa berkata se
Part 7Aku memilih pulang ke rumah Ibu. Agar Danis dan Dinta tidak larut dalam kesedihan. Di rumah Ibu lebih rame. Mereka pasti terhibur bila bermain bersama Tante dan Mbah Kakungnya.Nyatanya aku salah. Kedua anakku malah menangis sesenggukan di kursi ruang tamu. Fani bergegas memeluk dan menenangkan Dina, sedang Bapak menggendong Danis. Ibu yang tidak tahu menahu langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan. Akhirnya di depan Bapak, Ibu serta Fani kuceritakan semua hal yang terjadi di rumah itu. Di luar dugaan, Bapak yang biasanya bersikap bijaksana, kali ini terlihat menahan amarah. Kedua bola mata itu memerah. Rahangnya terlihat mengeras.“Nia, selama ini Bapak berusaha untuk tidak ikut campur urusan kalian. Meski sebenarnya, Bapak merasa janggal dengan sikap Agam yang seringkali tidak pulang. Naluri lelaki Bapak menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Namun Bapak masih bisa mentolerir hal itu. Tapi tidak untuk kali ini. Bapak tidak s
Di toko ini, aku sudah mendapat barang yang kuinginkan. Aku yakin, mereka akan bahagia melihat kejutan dari Ibunya. Sebuah mobil sport mini untuk Danis, sepeda motor matic mini berwarna pink untuk Dinta serta kolam renang plastik untuk bermain air berdua. Kutelepon sopir angkot untuk membawa barang-barang tersebut. Setelah diangkut mobil, tak lupa aku mampir ke toko pakaian. Membeli banyak untuk diriku sendiri. Dan beberapa potong untuk Dinta, Danis, Ibu serta Bapak. Selama ini, anak-anakku sering kubelikan pakaian bagus. Sedangkan aku, paling banyak dua tahun sekali membeli baju. Ah, betapa diri terlalu menyiksa sendiri. Sedang di belahan bumi sana, ada yang bahagia menikmati uang suamiku.Sebelum pulang, entah mengapa aku ingin mampir ke bank untuk mengeprint buku tabungan. Selama ini memang aku tak pernah menabung. Mas Agam langsung mentansfer uang dari rekeningnya ke rekeningku yang berbeda bank. Ia hanya menunjukkan bukti transfer setelahnya. Tertera nomina
Part 9Pengiriman hari ini telah selesai. Kurir juga sudah mengambil ke rumah Ibu tadi. Anak-anak tertidur di sini juga. Bimbang, mau pulang males ada Mas Agam. Tidak pulang, aku perlu mandi dan berganti baju. Sembari menimbang-nimbang keputusan, hendak pulang atau tetap di sini, iseng kulihat story di aplikasi hijau. Jariku berhenti pada sebuah unggahan seseorang, Rani, Ibu Aira. Tumben buat story. Atau selama ini disembunyikan dari aku?Nangis, ditinggal pulang Pak Dhe. Efek terlalu dimanja. Biasanya jam segini diajak jalan-jalan. Begitu bunyi story-nya.Apa kabar anak-anakku yang ditinggal tiga minggu? Gatal terasa jari ini ingin bermain perasaan dengannya. Segera kupencet tombol balas.[Anak kesayangan. Caption love] Read[Iya Mbak. Nangis terus gara-gara ditinggal] Rani membalas.[Kalau ada Mas Agam aku gak capek jagain Aira][Terus, maunya Mas Agam yang ninggal anak-anak gitu?] Balasku dengan perasaan sengit.
Part 10Tiga hari di Jogja, banyak tempat yang sudah kami kunjungi. Mulai dari Pantai Parangtritis karena penginapan kami ada di sana, Keraton, Candi Prambanan di Klaten, Candi Borobudur di Magelang, Museum Dirgantara, hingga terakhir Mallioboro. Surganya wanita berbelanja. Sejenak lupa pada masalah yang sedang dihadapi. Hingga saatnya kami pulang. Mengendarai taksi sampai stasiun.Saat berada dalam kereta menuju perjalanan pulang, sebuah pesan masuk dari Fani.[Mbak, tadi Mas Agam kesini, ambil kunci. Tapi pergi lagi. Aku gak tahu dia mau apa. Soalnya tadi kuncinya diantar kesini lagi.] Tak kubalas pesan dari Fani. Aku memilih menentramkan hati dengan lantunan dzikir.Iseng kubuka story teman-teman pada aplikasi hijau. Hal rutin yang kulakukan saat merasa kesepian. Sudut mataku memanas, melihat sebuah foto pada story Mas Agam, ia menuliskan sebuah kalimat, Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi