Pagi ini, aku sudah mendapatkan orang yang akan membantuku membuat keripik. Dengan bahan sisa yang ada, mereka mulai bekerja. Setelah sebelumnya kuajari mereka tentunya. Kulanjut menyiapkan sarapan untuk Dinta dan Danis. Setelahnya berangkat ke TK bersama Danis yang sudah mulai masuk nol kecil. Mulai hari ini kantin akan aku isi dengan makanan ringan saja, agar tidak repot. Selepas pulang nanti, aku berencana ke petani pisang sama singkong, meminta agar dikirim stok barang agak banyak.
Seminggu sudah berlalu, Mas Agam belum juga pulang. Pun tidak memberi kabar. Keripik-keripik produksiku juga sudah kupasarkan melalui story WA. Banyak warung desa lain yang ikut memesan. Ada tiga toko lagi di pasar yang meminta distok juga. Rasa yang lebih enak, menjadi alasan makanan ini semakin laris di pasaran. Namun aku percaya bahwa ini semua merupakan kemudahan yang Allah berikan. Untuk sementara, aku belum ada keinginan untuk menyusul Mas Agam. Pesanan yang semakin banyak, membuat waktuku seperti tersita untuk mengembangkan bisnis ini. Meskipun Danis beberapa kali menanyakan ayahnya, aku masih bisa membuat anak ini sabar menunggu ayahnya pulang.
Tujuh hari berjalan sudah menambah karyawan menjadi empat. Ada satu dari mereka yang bisa mengendarai motor, bertugas mengantar ke toko dan warung-warung. Terhitung selain empat took di pasar, sudah sepuluh warung di desaku yang menjadi langganan, serta ada dua puluh warung di dua desa lain yang tiga hari ini sudah kustok keripik. Aku sengaja menggunakan sistem bayar lunas, agar keuntungan bisa langsung kuhitung. Stok yang kukirim juga tidak terlalu banyak, hal ini menghindari barang tidak laku, bisa jadi kerugian buat aku. Karena perjanjian awal, barang yang tidak laku akan ditukar dengan yang baru.
Malam ini kuhitung laba bersih yang didapat, dan hasilnya Alhamdulillah, mendapatkan dua juta rupiah. Sebuah awal yang bagus menurutku. Tak lupa, kusisihkan sepuluh persennya untuk kuberikan pada Mak Tarni dan Mak Siti. Janda sebatang kara yang tinggal dekat rumah Ibu.
Aku sudah berniat memberi label keripik dengan nama DD snack. Singkatan dari Dinta dan Danis. Hari-hari besok, aku akan mempromosikan ke rumah makan dan café-café tempat nongkrong anak muda. Dan tidak menutup kemungkinan, akan kutambah lagi keripik jenis lain, jika ini sudah berjalan lancar. Selain usahaku semakin besar, tentunya bisa menyerap tenaga kerja. Memanfaatkan tenaga ibu-ibu rumah tangga agar mereka memiliki penghasilan. Untuk urusan kantin sekolah, aku akan mempekerjakan salah satu ibu wali murid yang setiap harinya mengantar dan menunggu anaknya hingga pulang. Dengan seperti ini, pekerjaanku tidak terlalu berat. Dan di sisi lain, memberikan rejeki pada orang.
Produk kecantikan dari Afifah sudah mendarat dua hari setelah Afifah telpon malam itu. Sudah mulai kuiklankan ke teman-teman guru TK. Aku pun sudah mulai menggunakan. Benar kata Afifah, produk ini bagus untuk wajah dan tidak menimbulkan ketergantungan.
Kesibukan mengurus bisnis nyatanya tak hanya membuat lupa akan masalah dengan Mas Agam. Namun juga menurunkan berat badan. Wajah yang semakin bersih memudahkanku untuk semakin gencar mempengaruhi teman-teman agar memesan produk kecantikan padaku. Karena dalam menjual, kita harus memberikan bukti terlebih dahulu.
Sepuluh hari memakai NS Glowing sudah memberi hasil nyata, aku semakin hobi berselfi, tujannya agar teman-teman melihat perbedaan yang ada pada wajahku. Agar mereka semakin tertarik dan beralih perawatan wajah ke produk ini. Namun, semua story-story, kusembunyikan dari Mas Agam serta keluarga besarnya. Biarlah mereka tidak tahu tentang aktivitasku saat ini.
Sore itu, hari keempat belas Mas Agam meninggalkan rumah. Aku sedang mendampingi anak-anak belajar. Saat tengah asyik mengajari mereka, pintu rumah diketuk, agak keras. Aku berfikir jika orang itu sedikit marah. Setengah berlari, menuju pintu depan. Segera kubuka handle pintu, dan betapa terkejutnya, saat mengetahui tamu yang datang, dengan raut muka yang tidak bersahabat.
Mencoba tersenyum saat hendak menyalami tamuku, namun tangan ini segera ditepis olehnya, Bapak mertua. Ia datang bersama Mbak Eka. Setelah dipersilahkan masuk, berdua melangkah ke dalam rumah.
“Langsung saja Nia, bapak mau bertanya. Kamu apakan Agam? Sehingga ia pulang ke rumah kami dan menangis?” Belum juga tubuh ini duduk, bapak mertuaku langsung bertanya tanpa basa basi.
Aku ternganga di tempatku berdiri. Pria yang sudah beranak dua, dan berprofesi sebagai seorang pendidik, punya masalah yang disebabkan oleh dirinya sendiri, mengadu pada orangtuanya? Aku bingung hendak menjelaskan dari mana. Toh, aku juga sudah paham, mereka berada pada pihak siapa. Akankah penjelasanku ini penting? Muka Mbak Eka terlihat sinis saat memandangku. Segera kuatur nafas, agar bicara yang akan kusampaikan ini, tidak berujung emosi.
“Bapak, kira-kira kalau Mbak Eka diberi nafkah yang jauh dari cukup oleh suami Mbak Eka, dan Mbak Eka harus berjuang keras agar tidak hidup kekurangan, kemudian akhirnya Mbak Eka tahu jika suaminya berbohong tentang gajinya, apa kira-kira Mbak Eka akan diam saja? Tidak menanyakan hal ini pada suami?” Mbak Eka sebagai objek percontohan segera membuang muka. Sementara Bapak, masih menunjukkan muka masam.
“Jangan bawa-bawa namaku ke dalam masalah kamu, Nia. Kita jauh berbeda. Adikku PNS. Kamu harus bersyukur nikah sama dia. Hidupmu terjamin, wajah kamu aja kelihatan bersih, mana bisa kamu perawatan, bila tidak memakai gaji suamimu? Kayak gitu gak tahu diuntung, pakai ngungkit uang yang dikasih ke Ibu segala. Masih banyakan yang dikasih ke kamu Nia… daripada buat Ibuku.” Mbak Eka bicara dengan nada yang sedikit tinggi dan ketus.
“Banyak aku kata Mbak Eka? Mbak, uang lima ratuis ribu banyak? Sementara yang dikasih ke Ibu tiga kali lipatnya, itu sedikit?” jawabku tak kalah sengit.
“Ya kamu tidak usah cari tahu tentang gaji suami kamu. Biar tidak sakit hati. Dasar kamunya saja, perempuan lancang.”
“Jadi, menurut bapak, aku yang salah? Mas Agam tidak bersalah?” Tanyaku untuk memutus perdebatan. Bukankah menghindari perdebatan adalah hal yang terpuji? Sekalipun seseorang berada di pihak yang benar. Terlebih berbicara dengan orang yang tidak mau merasa salah.
“Iyalah… kamu kalau tidak suka, ya minta cerai dari Agam, sesalah apapun, anakku tetap aku bela. Jangan pernah kamu mencoba menyakiti Agam. Agam adalah anak kesayangan kami, anak yang saya besarkan sendiri dengan tangan ini. Dia menjadi pegawai negeri berkat jasa dari orang tuanya. Camkan itu!” Ancamnya kemudian, Bapak mertua dan Mbak Eka lantas berdiri, berlalu pergi begitu saja. Bahkan berpamitan ataupun menyapa Dinta dan Danis pun tidak. Mereka berdua terlihat ketakutan, berdiri mengintip dari balik tembok. Aku membuang nafas kasar dan bergegas menghampiri kedua buah hatiku. Membawa mereka dalam pelukan…
Selepas kepergian Bapak dan Mbak Eka, kuajak anak-anak naik motor. Sekedar cari angin, menghibur dua kakak beradik ini. Karena kutahu, meski hanya sebuah insiden kecil, tapi sudut hati buah hatiku merasa terluka. Ada perih yang menggores, saat mereka yang tidak bersalah sedkitpun harus ikut merasakan kemarahan kakeknya.Saat tengah menunggu pesanan bakso di warung lesehan, Dinta bertanya mengapa ayahnya tidak pulang.“Ayah ngembek ya, Bu?” tanyanya lagi saat tidak mendapat jawaban dari aku. Aku mengangguk mengiyakan, seraya tersenyum. Bingung mau menjelaskan apa pada anak sekecil mereka.“Kalau Ayah tidak pulang, kita susul kesana ya, Bu? Adek gak mau kalau Ayah pergi. Adek takut tak punya ayah lagi…” Danis ikut nimbrung pembicaraan kami. Matanya terlihat berkaca-kaca. Lagi-lagi hanya anggukan yang mampu aku lakukan.Setelah baksonya datang, keduanya tak lagi mebicaraka
Tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Aku yang semula hendak mengajak mereka pulang, kuurungkan, menunggu hujan reda. Kami berteduh. Mepet ke depan pintu, agar tidak basah terkena air hujan. Dinta dan Danis tertidur setelah menangis. Dinta kubaringkan dengan berbantalkan tas. Sedang Danis berada di pangkuan. Gawaiku bergetar. Ada sebuah pesan di aplikasi dari Fani. [Mbak, udah kuantar semua keripiknya. Tadi bagi tugas sama Anis. Ini dapat uang enam juta.] [Ya, Fan…] [Mbak, kapan pulang? Gak kenapa-napa kan di sana?] [Iya, gak terjadi apa-apa. Bentar lagi pulang. Nunggu hujan reda.] Fani serta Bapak Ibu pasti mengkhawatirkanku. Biar nanti di rumah saja aku cerita sama mereka. [Paket krimnya tadi ada yang ambil. Temen Mbak katanya. Udah kasih uang juga. Habis mbak, creamnya] Lanjutnya lagi. Alhamdulillah usahaku maju. Segera kum
Part 6Semakin sesak kurasakan beban dalam dada. Bila tidak sedang berada di tengah-tengah keluarganya, ingin aku menangis. Demi melihat teganya ia pada darah dagingnya sendiri.“Danis, sini. Peluk Ayah. Gak kangen sama Ayah?” Tangan suamiku terulur hendak mengangkat Danis. Tubuhnya perlahan mendekati Dinta dan Danis.“Ayah yang gak kangen sama kami. Ayah pergi gak pulang. Juga gak telpon. Ayah lupa ya sama Kakak sama Danis?” Dinta, tiba-tiba ia berani berkata seperti itu terhadap Ayahnya. Aku berfikir, ini adalah luapan kekesalan hati yang sejak tadi ia pendam.“Iya, Ayah jahat. Ayah gak pernah ajak piknik. Tapi ajak Aira. Ayah lebih sayang Aira. Danis gak pernah dibelikan mainan sama Ayah. Tapi Aira sering.” Setelah berkata seperti itu, Danis menangis.“Kakak juga belum pernah Dek, dibelikan boneka kayak gitu sama Ayah.” Aku bingung, anak-anakku kenapa bisa berkata se
Part 7Aku memilih pulang ke rumah Ibu. Agar Danis dan Dinta tidak larut dalam kesedihan. Di rumah Ibu lebih rame. Mereka pasti terhibur bila bermain bersama Tante dan Mbah Kakungnya.Nyatanya aku salah. Kedua anakku malah menangis sesenggukan di kursi ruang tamu. Fani bergegas memeluk dan menenangkan Dina, sedang Bapak menggendong Danis. Ibu yang tidak tahu menahu langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan. Akhirnya di depan Bapak, Ibu serta Fani kuceritakan semua hal yang terjadi di rumah itu. Di luar dugaan, Bapak yang biasanya bersikap bijaksana, kali ini terlihat menahan amarah. Kedua bola mata itu memerah. Rahangnya terlihat mengeras.“Nia, selama ini Bapak berusaha untuk tidak ikut campur urusan kalian. Meski sebenarnya, Bapak merasa janggal dengan sikap Agam yang seringkali tidak pulang. Naluri lelaki Bapak menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Namun Bapak masih bisa mentolerir hal itu. Tapi tidak untuk kali ini. Bapak tidak s
Di toko ini, aku sudah mendapat barang yang kuinginkan. Aku yakin, mereka akan bahagia melihat kejutan dari Ibunya. Sebuah mobil sport mini untuk Danis, sepeda motor matic mini berwarna pink untuk Dinta serta kolam renang plastik untuk bermain air berdua. Kutelepon sopir angkot untuk membawa barang-barang tersebut. Setelah diangkut mobil, tak lupa aku mampir ke toko pakaian. Membeli banyak untuk diriku sendiri. Dan beberapa potong untuk Dinta, Danis, Ibu serta Bapak. Selama ini, anak-anakku sering kubelikan pakaian bagus. Sedangkan aku, paling banyak dua tahun sekali membeli baju. Ah, betapa diri terlalu menyiksa sendiri. Sedang di belahan bumi sana, ada yang bahagia menikmati uang suamiku.Sebelum pulang, entah mengapa aku ingin mampir ke bank untuk mengeprint buku tabungan. Selama ini memang aku tak pernah menabung. Mas Agam langsung mentansfer uang dari rekeningnya ke rekeningku yang berbeda bank. Ia hanya menunjukkan bukti transfer setelahnya. Tertera nomina
Part 9Pengiriman hari ini telah selesai. Kurir juga sudah mengambil ke rumah Ibu tadi. Anak-anak tertidur di sini juga. Bimbang, mau pulang males ada Mas Agam. Tidak pulang, aku perlu mandi dan berganti baju. Sembari menimbang-nimbang keputusan, hendak pulang atau tetap di sini, iseng kulihat story di aplikasi hijau. Jariku berhenti pada sebuah unggahan seseorang, Rani, Ibu Aira. Tumben buat story. Atau selama ini disembunyikan dari aku?Nangis, ditinggal pulang Pak Dhe. Efek terlalu dimanja. Biasanya jam segini diajak jalan-jalan. Begitu bunyi story-nya.Apa kabar anak-anakku yang ditinggal tiga minggu? Gatal terasa jari ini ingin bermain perasaan dengannya. Segera kupencet tombol balas.[Anak kesayangan. Caption love] Read[Iya Mbak. Nangis terus gara-gara ditinggal] Rani membalas.[Kalau ada Mas Agam aku gak capek jagain Aira][Terus, maunya Mas Agam yang ninggal anak-anak gitu?] Balasku dengan perasaan sengit.
Part 10Tiga hari di Jogja, banyak tempat yang sudah kami kunjungi. Mulai dari Pantai Parangtritis karena penginapan kami ada di sana, Keraton, Candi Prambanan di Klaten, Candi Borobudur di Magelang, Museum Dirgantara, hingga terakhir Mallioboro. Surganya wanita berbelanja. Sejenak lupa pada masalah yang sedang dihadapi. Hingga saatnya kami pulang. Mengendarai taksi sampai stasiun.Saat berada dalam kereta menuju perjalanan pulang, sebuah pesan masuk dari Fani.[Mbak, tadi Mas Agam kesini, ambil kunci. Tapi pergi lagi. Aku gak tahu dia mau apa. Soalnya tadi kuncinya diantar kesini lagi.] Tak kubalas pesan dari Fani. Aku memilih menentramkan hati dengan lantunan dzikir.Iseng kubuka story teman-teman pada aplikasi hijau. Hal rutin yang kulakukan saat merasa kesepian. Sudut mataku memanas, melihat sebuah foto pada story Mas Agam, ia menuliskan sebuah kalimat, Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi
Part 11Hari ini, aku ada janji untuk menemui seseorang. Kami saling kenal lewat akun biru. Orang tersebut memiliki rumah makan. Ia ingin mengadakan kerjasama. Oh iya, saat ini tidak hanya keripik saja, tapi kerupuk yang digoreng pasir dan diberi bumbu juga menjadi produk unggulan dari pabrikku. Sepertinya teman dunia mayaku ini ingin aku mengirim kerupuk tersebut ke rumah makannya.Pria itu menyebutkan sebuah warung bakso yang cukup terkenal. Kami akan bertemu di sana nanti. Tapi sepertinya, warung tersebut berada di jalan arah Kecamatan tempat suamiku mengajar. Dulu ia bercerita kadang nongkrong di situ bersama kawan-kawan. Kami jelas belum pernah diajak serta. Seringkali memuji betapa lezat rasa bakso di tempat lesehan itu. Aku hanya ngiler mendengarkan. Entahlah, betapa bodoh diri ini, yang sama sekali tak memiliki keberanian untuk meminta.[Aku sudah berada di lokasi, Mbak] Pesan dari lelaki yang baru pertama kali ini akan berjumpa. Aku sudah