Selepas kepergian Bapak dan Mbak Eka, kuajak anak-anak naik motor. Sekedar cari angin, menghibur dua kakak beradik ini. Karena kutahu, meski hanya sebuah insiden kecil, tapi sudut hati buah hatiku merasa terluka. Ada perih yang menggores, saat mereka yang tidak bersalah sedkitpun harus ikut merasakan kemarahan kakeknya.
Saat tengah menunggu pesanan bakso di warung lesehan, Dinta bertanya mengapa ayahnya tidak pulang.
“Ayah ngembek ya, Bu?” tanyanya lagi saat tidak mendapat jawaban dari aku. Aku mengangguk mengiyakan, seraya tersenyum. Bingung mau menjelaskan apa pada anak sekecil mereka.
“Kalau Ayah tidak pulang, kita susul kesana ya, Bu? Adek gak mau kalau Ayah pergi. Adek takut tak punya ayah lagi…” Danis ikut nimbrung pembicaraan kami. Matanya terlihat berkaca-kaca. Lagi-lagi hanya anggukan yang mampu aku lakukan.
Setelah baksonya datang, keduanya tak lagi mebicarakan ayahnya. Terlihat menikmati makanan favorit mereka. Kupandangi wajah polos dan lugu kedua anakku. Delapan hari tidak bertemu, sekalipun Mas Agam tidak menghubungi mereka. Apakah memang kami tak memiliki arti sama sekali bagi dirinya?
Sepulang dari makan bakso, kulihat bapakku sudah duduk di teras rumah. Menunggu kami sepertinya. Beliau tidak bisa masuk, karena pintu rumah terkunci. Dinta dan Danis berlari memeluk mbah kakungnya. Sejenak mereka bertiga terlibat permainan yang seru. Begitulah Bapak, sangat menyayangi kedua anakku. Saat bersama, Bapak selalu memposisikan diri seperti anak-anak. Mengikuti permainan apapun yang berdua kakak beradik itu lakukan. Setelah puas bermain dengan kedua cucunya, Bapak menghampiriku ke dapur. Aku tengah mengecek ketersediaan bahan-bahan keripikku.
“Tadi Bapak lihat mertuamu datang? Bapak pulang untuk berganti baju, ternyata pas kesini mereka sudah tidak ada. Kalian bertiga juga tidak ada di rumah. Bapak juga dengar dari orang-orang yang bekerja di sini, sudah seminggu ini Agam tidak pulang, betulkah?” Bapak bertanya terkesan sangat berhati-hati.
“Iya Pak… Mereka datang cuma sebentar. Setelah Bapak dan Mbak Eka pergi, aku mengajak Dinta dan Danis makan bakso.” Setelah itu mengalir ceritaku perihal buku rekening yang kutemukan. Bapak terlihat mendengarkan dengan sksama. Sekali-kali mengangguk-anggukkan kepala.
“Nia, setiap rumah tangga pasti ada ujiannya. Tidak semua hal harus dihadapi dengan emosi. Bapak harap, kalian tidak gegabah mengambil keputusan. Besok-besok jika hatimu sudah tenang, susul Agam. Ajak dia ke rumah Bapak. Biar Bapak yang bicara sama dia.” Bapak memang orang yang bijaksana. Tidak suka memperkeruh suasana. Tapi untuk kali ini, rasanya tidak tepat. Karena anak perempuannya sudah terdzalimi. Tapi percuma juga berdebat dengan beliau. Aku hanya akan semakin dinasehati. Nasehat-nasehat beliau memang bagus, tetapi untuk saat ini aku tidak ingin membahas apapun. Aku hanya ingin mengembangkan usaha yang aku miliki sekarang. Setelah bertemu dengan keluarga Mas Agam, aku jadi bersemangat untuk menjadi wanita sukses. Akan aku tunjukkan bahwa sukses itu tidak harus berseragam.
“Bapak tahu apa yang kamu pikirkan.Ya sudah, tenangkan dirimu. Bila repot mengurus usaha barumu, bawa Dinta dan Danis pada ibumu. Biar kami yang membantu menjaga mereka. Kami juga kesepian. Adikmu juga sedang libur kuliah. Pasti senang bermain bersama mereka berdua” Kuhela nafas lega. Bapak mengerti keadaanku, itu membuatku tak perlu menjelaskan apapun lagi. Sebagai anak sulung, aku tahu Bapak menginginkan yang terbaik padaku dan rumahtanggaku. Untuk contoh adik semata wayangku, Fani itu yang beliau harapkan.
“Bila mereka merindukan ayahnya, bawalah ke rumah mertua kamu. Jika di sana kamu mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan, bawa pulang mereka.” Pesan terakhir Bapak sebelum meninggalkan rumahku. Aku duduk termenung memikirkan semua nasehat yang Bapak berikan. Beliau memang tidak pernah mau mencampuri urusan rumah tanggaku lebih dalam.
***
Selang sehari stelah kedatangan mertuaku, hari ini kebetulan libur tanggal merah, aku berencana membawa anak-anak menemui ayah mereka. Dua minggu tidak berjumpa, sebagai Ibu, aku bisa melihat kesedihan di mata mereka. Perilaku kedua kakak beradik itupun terlihat lebih murung. Benar-benar tidak habis fikir dengan Mas Agam. Sekian lama tidak berjumpa dengan anak, sama sekali tidak pernah ada keinginan untuk menghubungiku sekedar mencari kabar atau minta berbicara dengan anak-anaknya.
Dengan mengendarai kendaraan roda dua kami bertiga berangkat. Dibutuhkan waktu sembilan puluh menit untuk sampai rumah mertuaku. Aku mengendarai dengan santai agar selamat sampai tujuan. Fani yang kebetulan tidak kuliah, sudah kuminta mengurus pesanan keripik.
Ada debar yang membuncah di hati ini, manakala rumah mertua sudah kelihatan. Perasaan rindu pada suami, senang akan bertemu serta rasa takut terhadap sikap keluarga mertua terhadapku bercampur menjadi satu.
Sesampainya, kami turun dari motor, melangkah ke arah pintu, kuucapkan salam dengan hati-hati. Rasa was-was kian mendera dalam hati.
Lama tak terdengar orang menjawab salamku. Rumah juga kelihatan sepi. Kami menunggu sembari duduk di teras. Dinta dan Danis terlihat kelelahan. Aku jadi semakin kasihan melihat mereka berdua.
Mbak Liha, tetangga depan rumah terlihat baru pulang dari pasar.
“Wah, kok ada Mbak Nia? Eh, Dinta sama Danis… salim sini sama Bu Dhe…” Mbak Liha menyapa dengan ramah. Dinta dan Danis segera berdiri menyalami Mbak Liha.
“Mau ketemu Ayah ya?” Tanya Mbak Liha kemudian. Seraya duduk di teras bersama kami.
“Iya Mbak… Tapi kok sepi ya?” Tanyaku balik sambil celingukan memperhatikan keadaan sekeliling. Terlihat raut ragu dalam wajah Mbak Liha. Seperti hendak menceritakan sesuatu tapi takut.
“Itu Mbak Nia, dari kemarin siang, Mas Agam mengajak keluarganya piknik ke Guci… Katanya mau sekalian nginap di sana. Aku kira Mbak Nia diajak juga, nunggu dimana gitu. Denger-denger siih, karena Mas Agam habis dapat tunjangan apa gitu, Mbak. Makanya pengin nyenengin keluarga.” Terang wanita yang usianya terpaut sepuluh tahun di atasku ini. Sakit, itu yang kurasa. Selama menikah belum pernah ia memperlakukan kami dengan special, mengajak pikinik sampai menginap ke hotel. Bila pun kami pergi, hanya sekedar tempat yang dekat-dekat saja. Mas Agam selalu menyuruhku hemat, hemat dan hemat.
“Ayah gak pernah ngajak kami piknik. Kok sekarang malah piknik gak ngajak kita ya Bu?” Tanya Dinta dengan raut muka sedih.
“Iya, Ayah jahat ya kak?” balas Danis sengit.
Mbak Liha terlihat tidak enak setelah bercerita seperti itu. Setelahnya pamit berlalu masuk rumahnya. Aku bingung sekarang. Apa yang harus kulakukan? Pulang atau menunggu? Anak-anakku terlihat semakin murung dan sedih. Kulihat air mata menetes dari sudut netra mereka.
Pernikahan adalah hal yang sakral. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan perceraian. Karena akan ada sosok makhluk kecil yang paling terluka bila hal ini terjadi. Namun apa jadinya, bila saat masih bersama_pun, seorang Ayah tega menorehkan sakit pada buah hatinya? Aku menahan air mata ini agar tidak jatuh di hadapan dua mahkluk tak berdosa ini. Karena mereka membutuhkan kekuatanku untuk sandaran saat ini. Kudekati kedua tubuh yang duduk terpekur di pojok teras dengan mata berkaca-kaca. Mendekap ke dalam pelukan. Seketika tangis pecah saat tubuh mereka menempel pada tubuhku. Kuusap pelan punggung Dinta dan Danis, berharap dapat melegakan perasaan mereka.
“Bu, Ayah kenapa piknik gak ajak Danis? Ayah pasti main seneng-seneng sama Aira.” Ucap Danis di tengan isak tangisnya. Aira anak Iyan, adiknya Mas Agam. Aku tak bisa menjawab.
“Kakak sama Danis mau piknik? Akhir bulan ini ya, kita akan piknik naik kereta. Nanti kita menginap di hotel. Kita bertiga.” Mereka mengangguk dalam dekapan.
Tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Aku yang semula hendak mengajak mereka pulang, kuurungkan, menunggu hujan reda. Kami berteduh. Mepet ke depan pintu, agar tidak basah terkena air hujan. Dinta dan Danis tertidur setelah menangis. Dinta kubaringkan dengan berbantalkan tas. Sedang Danis berada di pangkuan. Gawaiku bergetar. Ada sebuah pesan di aplikasi dari Fani. [Mbak, udah kuantar semua keripiknya. Tadi bagi tugas sama Anis. Ini dapat uang enam juta.] [Ya, Fan…] [Mbak, kapan pulang? Gak kenapa-napa kan di sana?] [Iya, gak terjadi apa-apa. Bentar lagi pulang. Nunggu hujan reda.] Fani serta Bapak Ibu pasti mengkhawatirkanku. Biar nanti di rumah saja aku cerita sama mereka. [Paket krimnya tadi ada yang ambil. Temen Mbak katanya. Udah kasih uang juga. Habis mbak, creamnya] Lanjutnya lagi. Alhamdulillah usahaku maju. Segera kum
Part 6Semakin sesak kurasakan beban dalam dada. Bila tidak sedang berada di tengah-tengah keluarganya, ingin aku menangis. Demi melihat teganya ia pada darah dagingnya sendiri.“Danis, sini. Peluk Ayah. Gak kangen sama Ayah?” Tangan suamiku terulur hendak mengangkat Danis. Tubuhnya perlahan mendekati Dinta dan Danis.“Ayah yang gak kangen sama kami. Ayah pergi gak pulang. Juga gak telpon. Ayah lupa ya sama Kakak sama Danis?” Dinta, tiba-tiba ia berani berkata seperti itu terhadap Ayahnya. Aku berfikir, ini adalah luapan kekesalan hati yang sejak tadi ia pendam.“Iya, Ayah jahat. Ayah gak pernah ajak piknik. Tapi ajak Aira. Ayah lebih sayang Aira. Danis gak pernah dibelikan mainan sama Ayah. Tapi Aira sering.” Setelah berkata seperti itu, Danis menangis.“Kakak juga belum pernah Dek, dibelikan boneka kayak gitu sama Ayah.” Aku bingung, anak-anakku kenapa bisa berkata se
Part 7Aku memilih pulang ke rumah Ibu. Agar Danis dan Dinta tidak larut dalam kesedihan. Di rumah Ibu lebih rame. Mereka pasti terhibur bila bermain bersama Tante dan Mbah Kakungnya.Nyatanya aku salah. Kedua anakku malah menangis sesenggukan di kursi ruang tamu. Fani bergegas memeluk dan menenangkan Dina, sedang Bapak menggendong Danis. Ibu yang tidak tahu menahu langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan. Akhirnya di depan Bapak, Ibu serta Fani kuceritakan semua hal yang terjadi di rumah itu. Di luar dugaan, Bapak yang biasanya bersikap bijaksana, kali ini terlihat menahan amarah. Kedua bola mata itu memerah. Rahangnya terlihat mengeras.“Nia, selama ini Bapak berusaha untuk tidak ikut campur urusan kalian. Meski sebenarnya, Bapak merasa janggal dengan sikap Agam yang seringkali tidak pulang. Naluri lelaki Bapak menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Namun Bapak masih bisa mentolerir hal itu. Tapi tidak untuk kali ini. Bapak tidak s
Di toko ini, aku sudah mendapat barang yang kuinginkan. Aku yakin, mereka akan bahagia melihat kejutan dari Ibunya. Sebuah mobil sport mini untuk Danis, sepeda motor matic mini berwarna pink untuk Dinta serta kolam renang plastik untuk bermain air berdua. Kutelepon sopir angkot untuk membawa barang-barang tersebut. Setelah diangkut mobil, tak lupa aku mampir ke toko pakaian. Membeli banyak untuk diriku sendiri. Dan beberapa potong untuk Dinta, Danis, Ibu serta Bapak. Selama ini, anak-anakku sering kubelikan pakaian bagus. Sedangkan aku, paling banyak dua tahun sekali membeli baju. Ah, betapa diri terlalu menyiksa sendiri. Sedang di belahan bumi sana, ada yang bahagia menikmati uang suamiku.Sebelum pulang, entah mengapa aku ingin mampir ke bank untuk mengeprint buku tabungan. Selama ini memang aku tak pernah menabung. Mas Agam langsung mentansfer uang dari rekeningnya ke rekeningku yang berbeda bank. Ia hanya menunjukkan bukti transfer setelahnya. Tertera nomina
Part 9Pengiriman hari ini telah selesai. Kurir juga sudah mengambil ke rumah Ibu tadi. Anak-anak tertidur di sini juga. Bimbang, mau pulang males ada Mas Agam. Tidak pulang, aku perlu mandi dan berganti baju. Sembari menimbang-nimbang keputusan, hendak pulang atau tetap di sini, iseng kulihat story di aplikasi hijau. Jariku berhenti pada sebuah unggahan seseorang, Rani, Ibu Aira. Tumben buat story. Atau selama ini disembunyikan dari aku?Nangis, ditinggal pulang Pak Dhe. Efek terlalu dimanja. Biasanya jam segini diajak jalan-jalan. Begitu bunyi story-nya.Apa kabar anak-anakku yang ditinggal tiga minggu? Gatal terasa jari ini ingin bermain perasaan dengannya. Segera kupencet tombol balas.[Anak kesayangan. Caption love] Read[Iya Mbak. Nangis terus gara-gara ditinggal] Rani membalas.[Kalau ada Mas Agam aku gak capek jagain Aira][Terus, maunya Mas Agam yang ninggal anak-anak gitu?] Balasku dengan perasaan sengit.
Part 10Tiga hari di Jogja, banyak tempat yang sudah kami kunjungi. Mulai dari Pantai Parangtritis karena penginapan kami ada di sana, Keraton, Candi Prambanan di Klaten, Candi Borobudur di Magelang, Museum Dirgantara, hingga terakhir Mallioboro. Surganya wanita berbelanja. Sejenak lupa pada masalah yang sedang dihadapi. Hingga saatnya kami pulang. Mengendarai taksi sampai stasiun.Saat berada dalam kereta menuju perjalanan pulang, sebuah pesan masuk dari Fani.[Mbak, tadi Mas Agam kesini, ambil kunci. Tapi pergi lagi. Aku gak tahu dia mau apa. Soalnya tadi kuncinya diantar kesini lagi.] Tak kubalas pesan dari Fani. Aku memilih menentramkan hati dengan lantunan dzikir.Iseng kubuka story teman-teman pada aplikasi hijau. Hal rutin yang kulakukan saat merasa kesepian. Sudut mataku memanas, melihat sebuah foto pada story Mas Agam, ia menuliskan sebuah kalimat, Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi
Part 11Hari ini, aku ada janji untuk menemui seseorang. Kami saling kenal lewat akun biru. Orang tersebut memiliki rumah makan. Ia ingin mengadakan kerjasama. Oh iya, saat ini tidak hanya keripik saja, tapi kerupuk yang digoreng pasir dan diberi bumbu juga menjadi produk unggulan dari pabrikku. Sepertinya teman dunia mayaku ini ingin aku mengirim kerupuk tersebut ke rumah makannya.Pria itu menyebutkan sebuah warung bakso yang cukup terkenal. Kami akan bertemu di sana nanti. Tapi sepertinya, warung tersebut berada di jalan arah Kecamatan tempat suamiku mengajar. Dulu ia bercerita kadang nongkrong di situ bersama kawan-kawan. Kami jelas belum pernah diajak serta. Seringkali memuji betapa lezat rasa bakso di tempat lesehan itu. Aku hanya ngiler mendengarkan. Entahlah, betapa bodoh diri ini, yang sama sekali tak memiliki keberanian untuk meminta.[Aku sudah berada di lokasi, Mbak] Pesan dari lelaki yang baru pertama kali ini akan berjumpa. Aku sudah
Sekarang, pergilah! Buang air matamu. Jangan sampai suami kamu tahu, kita bersama. Balas dia dengan cara membuat menyesal telah menyakiti kamu. Aku akan ke toilet. Tagihan ini biar aku yang bayar. Bersihkan udara matamu. Agar kamu terlihat cantik di depan mereka berdua. Kamu paham, Nia?” Aku mengangguk. Pak Irsya segera berdiri dan hendak pergi.