Semua makanan yang dibeli Mas Bayu termasuk segelas ukuran besar minuman bersoda kumusnahkan ke ke dalam toilet. Burger dan ayam kucabik jadi potongan kecil. Sekepal nasi pun kuawur-awur terlebih dahulu agar berderai dan mudah tenggelam. Untuk minuman bersoda kubuang ke dalam saluran air kamar mandi. Kini, tersisa bungkus dan tulang ayam saja. Sengaja semuanya kembali kumasukan ke dalam paper bag yang Mas Bayu bawa tadi, kemudian kubuang dalam tong sampah dapur.
Saat Mas Bayu dan adiknya pergi, aku pun gegas mengemaskan diri. Mandi, bertukar pakaian, dandan yang cantik, kemudian memutuskan untuk keluar rumah dengan menaiki sepeda motor pembelian Mas Bayu. Lihatlah istrimu yang katamu sangat cantik dibanding SPG-SPG seantero mal ini, Mas. Dia mengikhlaskan kamu pergi dengan adikmu dengan menaiki mobil. Sedangkan istrimu harus ikhlas hanya naik motor saja. Benar-benar suami tak berperi kemanusiaan!
Tenang, Ris! Jangan gegabah! Santai saja. Begitulah ucapku dalam hati. Semencekam apa pun pertanyaan Mas Bayu, aku harus menjawabnya dengan sesantai mungkin. “Iya. Kok, tahu?” sahutku dengan nada cuek. Aslinya jantungku seperti mau lepas dari cangkangnya. Sumpah, ini pengalaman paling menegangkan yang pernah kualami seumur hidup! “Kenapa nggak bilang? Kamu emangnya ke mana?” Semakin teraduk-aduk dadaku. Lambungku seketika terasa perih. Saking paniknya, asam lambung serasa mau keluar ke mulut. Ya Allah, bantu aku buat tenang! “Lho, kan, Mas juga keluar. Masa aku nggak boleh keluar, sih?” Bibirku sudah gemetar.
“Sudah. Ini baru sampe. Radarmu kuat juga, Mas?” Aku sengaja menyindir. Agak tergopoh memasukan anak kunci ke dalam lubangnya. Perasaan was-was kini melingkupi. Tuhan … tolong lindungi aku. “Iya, dong. Namanya juga suami-istri. Wajar kalau feelingnya kuat. Hehe.” Tawa Mas Bayu malah membuatku merinding. Napas ini bahkan sampai tersengal saking cemasnya. Sial. Laki-laki ini lihai membuatku sport jantung. Pintu berhasil kubuka. Terdengar derit engsel yang malah semakin membuat bulu kuduk merinding. Andai saja rumah orangtuaku dekat dari sini, aku pasti sudah lari ke mereka. Sayang, tempat tinggal Ayah-Ibu ada di pelosok gunung sana. Jarak tempuhnya hampir 100 kilometer dari sini. Pulang ke sana juga tak memberikan solusi. Yang ada, aku pasti dimarahi sebab kabur-kaburan dari suami yang
“Bercanda, Sayangku! Hahaha kenapa diam? Ya ampun, kamu pasti kaget, ya? Jangan serius-seriuslah, Sayang. I love you, muah!” Tidak. Sedikit pun aku tak merasa bahwa yang barusan itu candaan. Mas Bayu seperti memang sungguhan tengah mengancamku tadi. “Bercandamu tidak lucu!” kataku kesal seraya bangkit dari sofa. “Eh, lucu, dong. Tuh, buktinya kamu kesel. Hehe. Udah dulu ya, Sayang. Kamu mau dibawakan apa nanti pas aku pulang?” “Aku udah kenyang!” kataku menggerutu kesal. Degupan jantung ini masih saja cepat bertalu di dada. Aku harus semakin waspada. Harus! Kalau perlu, akan kulaporkan ke polisi bi
“Oh, jamu, ya? Iya, iya. Jamu.” Suara Mama terdengar seperti orang gelagapan. Instingku kuat mengatakan apabila … beliau tengah berbohong. Apa sih, sebenarnya motif Mama? Apa yang sedang berusaha untuk dia tutup-tutupi? “Mama tahu, kan?” tanyaku memastikan. “Lho, tahu, dong! Masa nggak. Kan, Mama yang belikan untukmu.” Deg! Belikan? Bukannya … Lia bilang bahwa itu Mama yang bikin? “Mama beli di mana?” Terus kukorek informasi dari Mama. Telanjur aku penasaran.&nbs
“Kalau memang perasaan Mas Bayu sebegitu besarnya kepada Lia, mengapa dia harus menikahiku segala?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir. Saking gregetnya, aku meremas ujung sprei hingga terlepas dari ranjang. Ucapan Mama begitu keterlaluan. Wajar bukan, kalau aku melakukan perlawanan? “Pertanyaan macam apa itu?!” bentak Mama tak terima. “Aku hanya membalikkan kata-kata Mama saja.” Aku berucap tenang. Meski sempat luruh air mataku, tapi kurasa aku tak boleh terus-terusan lemah menghadapi keluarga ini. Ya, aku harus berontak! “Dia menikahimu karena dia melas. Karena dia tak tega melihat w
Aku berkuat untuk tak membuka mata. Tetap berpura-pura tidur, apa pun ceritanya. “Sudah dua kali dia begini, Mbak Tika. Semalam dan siang ini. Tidur terus menerus, lalu bangun-bangun sudah marah-marah kepada adikku yang baru datang. Omongannya juga ngelantur. Aku khawatir. Apa yang sebenarnya tengah menyerang Risti.” Terdengar ucap kegelisahan dari suara milik Mas Bayu.Apa dia bilang? Aku ngelantur? Enak saja! Apa maksud Mas Bayu? Ingin membuatku benar-benar terlihat gila di mata orang lain?“Ngelantur bagaimana maksudnya?” Tika yang masih mengelus-elus puncak kepalaku bertanya. Penuh selidik nadanya. Aku benci situasi ini. Seolah-olah diperlakukan seperti orang dengan gangguan mental.“Dia mencurigaiku secara berlebih. Tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar. Mencari-cari Mas Bayu seola
POV MAMA INA “Dasar menantu gila! Tidak sopan sekali sama mertua!” Saking emosinya, aku kelepasan berteriak. Kubanting kasar ponsel ke atas ranjang. Sialan sekali istrinya Bayu yang sekarang! Semakin kurang ajar saja sikapnya. Berani-beraninya dia berkata-kata kasar dan sinis pada Lia? Awas saja dia! Nanti akan kubejek-bejek jika ketemu nanti. “Ma, kenapa teriak-teriak, sih?” Mas Anwar tiba-tiba masuk ke kamar tidur kami. Pria yang berpakaian rapi dengan kaus berkerah motif kuda dan celana jins biru itu membuka celah pintuku semakin lebar. Aku yang salah tak mengunci pintu tadinya. Lihat, pria tua itu akhirnya masuk juga, kan! “Oh, maafkan aku, Pa. Ini. Menantumu. Menyebalkan sekali.” Aku bangk
“Ya. Kalau Risti terus menerus begini, mungkin … terpaksa sekali aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih lanjut,” ungkap Ma Bayu bernada sedih. Sungguh, batinku berontak. Aku rasanya ingin buru-buru bangun saja dari kepura-puraan ini. Akan tetapi, bakal terlihat sangat konyol bila kuakhiri sandiwara di tengah-tengah obrolan panas barusan. Aku akan terlihat semakin gila di hadapan mereka. Tahan, Risti. “Jangan, Mas. Apa kata teman-temanmu nanti? Bagaimana tanggapan keluarga kita?” “Aku bingung, Li. Sungguh! Aku sebenarnya ikut stres berat memikirkan hal ini. Jadi … apa yang harus kita lakukan, Lia?” Bicara Mas Bayu makin terdengar frustrasi saja. Namun, kukua