145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
“Ris, kamar sebelah sudah dibersihkan belum? Lia soalnya sejam lagi sampai.” Perintah Mas Bayu membuatku berpaling dari wajan berisi gulai kepala ikan. Kutoleh wajah suamiku. Terlihat resah mimiknya. “Sudah, Mas.” Kujawab dengan senyum. Padahal, sebenarnya hatiku agak dongkol. Sudah lebih dari lima kali dia mengingatkan untuk membereskan kamar tamu yang berada di sebelah kamar kami. “Alat mandinya sudah kamu taruh juga, kan?” “Sudah, Sayang. Pasta dan sikat gigi, sabun cair, dan puff-nya. Semua sudah siap.” Nadaku sudah agak sengak. Seharian ini aku hanya direpotkan oleh permintaan Mas Bayu. Demi adik semata wayangnya yang akan berlibur di rumah kami. Lia namanya. 
“Uuh ….” Aku mengerang kesakitan. Kepalaku terasa sangat pening sekali. Ketika mata telah mampu terbuka sepenuhnya, tampak mentari pagi telah menyingsing lewat jendela kamar yang disibak gordennya. Aku kaget. Kupaksakan diri untuk bangun. Ketika kulihat jam waker di nakas, sudah pukul 10.00 pagi. Astaga! “Ya Allah! Sakit.” Kumengaduh sakit. Nyeri sekali kepala kiri dan kananku. Dunia seperti oleng. Tubuhku seakan tengah berada di atas kapal yang diterjang oleh ombak. “Aku nggak pernah bangun sesiang ini,” gumamku. “Apalagi sepusing sekarang. Apa jangan-jangan ….” Aku mulai menaruh cur
“Ini? Digigit nyamuk kali, Mbak!” Lia menepis tanganku yang hendak meraba lehernya. Bukan main aku geram melihat kelakuan kasar adik ipar yang baru berusia 20 tahun tersebut. “Gigit nyamuk?! Kenapa sampai merah begitu?” Aku nyolot. Tak mau kalah begitu saja. Suuzanku telanjur menguasai isi otak. Aku mendekat. Mencengkeram bahunya hingga tubuh ramping itu bisa kukuasai. Lia terlihat seperti ketakutan saat kuteliti lehernya. Tanda bundar berwarna kemerahan itu sialnya memang bekas gigitan nyamuk. Sebuah bentol kecil masih hinggap di tengah rona merah tersebut. Seketika tungkaiku lemas. “Lihat yang betul, Mbak!”
Aku segera mengurung diri dalam kamar. Mengunci pintu dari dalam dan memilih untuk tak melakukan apa pun selain duduk memainkan ponsel. Biar saja. Kalau mereka lapar, silakan makan di luar atau suruh saja si Lia masak. Aku bukan pembantu di rumah ini. Aku dinikahi oleh Mas Bayu juga untuk berbakti padanya, bukan pada adiknya yang songong sekaligus keterlaluan itu. Sekitar dua puluh menitan kemudian, pintuku tiba-tiba diketuk dari luar. Mas Bayu terdengar memanggil namaku dengan suara yang lembut. Mendadak aku kaget. Dia rela pulang jam segini demi menuruti perintah adiknya. Mas Bayu benar-benar sudah tidak waras! Apa dia tidak takut ditegur oleh atasannya? “Risti, bukakan pintunya. Aku datang.” Mas Bayu berulang kali memintaku untuk membukakan pintu. Awalnya hanya kudiamkan saja. Lama-lama telinga ini
“Oh, ya? Jadi, apa yang kupikirkan dan kudengar itu hanya bagian dari depresiku?” tanyaku seraya memiringkan muka. “Tentu, Sayang. Orang depresi bisa saja berhalusinasi. Baik visual maupun auditori.” Mas Bayu mengusap-usap rambutku. Menatap dengan serius dan penuh perhatian. Halusinasi matamu! Aku bisa memastikan bahwa seluruh cakap Mas Bayu hanyalah tipu daya dan usaha memanipulasi psikisku belaka. Enak saja dia bilang aku berhalusinasi! 100% aku masih waras. Aku pun manggut-manggut. Menggigit bibir bawah, menatap ke langit-langit seolah sedang merenung. Padahal, dalam hati aku begitu dongkol bukan main. “Kamu mau
“Maaf, Mas. Oke, sini aku makan.” Tanganku melambai-lambai. Meminta cheese burger yang bungkus kertasnya sudah dibuka setengah oleh Mas Bayu. Pura-pura saja aku ketakutan sebab habis dibentak olehnya.Pria itu pun senyum lagi. Buru-buru menyerahkannya kepadaku dengan ekspresi senang. Oke, akan kuikuti alur permainanmu, Mas! “Makanlah, Sayang. Yang banyak.” Mas Bayu berkata. Dia tak melepaskan matanya dariku sedikit pun. Mau tak mau, aku mulai memakan burger pemberian Mas Bayu. Dalam hati aku berdoa agar Allah melindungiku. Aku belum mau mati konyol, sebelum mengungkap kejahatan Mas Bayu yang diam-diam sepertinya akan menusukku dari belakang. Satu gigitan, dua gigitan, hingga tiga gigitan. Tak ada ta