Share

Hinaan Dari Keluarga Suami
Hinaan Dari Keluarga Suami
Penulis: Rita Febriyeni

Part 1 Hinaan

"Ini buat seminggu!" Ibu mertua melempar uang lima puluh ribu ke wajahku. Aku langsung tersentak yang sedang menyusui anak.

"Ya, Bu," jawabku sambil memungut uang itu. Terpaksa, aku sangat butuh.

"Makanya cari kerja sana!" Ia melotot seolah aku benalu di kehidupannya. Padahal aku menantunya.

"Aku sedang menyusui, Bu," lirihku.

"Jangan jadikan menyusui alasan! Kamu kira aku tak pernah kerja dan tak punya anak!"

"Jika aku kerja, gimana dengan anakku, Bu?"

"Aalah, bilang aja kamu malas dan hanya bisa mengadahkan tangan. Sudah untung kalian kutampung gratis di rumah ini. Seminggu pun kuberi uang cuma-cuma. Kalau bukan istri Bayu, sudah kuusir."

Menghela napas besar berulang kali. Aku berusaha tak mengeluarkan air mata. Jika hati terlalu sakit, untuk menangis pun rasanya tak sanggup. Kugenggam uang itu seiring menahan rasa sakit hati yang setiap hari terpendam. 

Ini seperti uang gajiku seminggu, karena melakukan semua pekerjaan rumah. Secara kasarnya, menantu sekaligus pembantu. Tak ada pilihan, karena mas Bayu sudah di PHK semenjak kaki kirinya diamputasi karena kecelakaan.

"Sabar, Rin. Ibu memang seperti itu, tapi sebenarnya hatinya baik," ucap mas Bayu melihat semua ini.

"Mas, aku ...." Ingin mengatakan 'tak sanggup' rasanya tak tega. Mas Bayu tak mampu berbuat banyak. Apa yang bisa dikerjakannya? Berdiri saja dengan satu kaki yang dibantu tongkat untuk berjalan.

"Maafkan Mas, Rin. Mas janji akan terus cari kerja."

"Ya, Mas," jawabku pilu. 

'Kerja apa, Mas? Untuk diri sendiri saja kamu tak mampu, apalagi menafkahiku,' bathinku.

Dulu, saat mas Bayu kerja, kami disanjung. Aku pun tak masalah jika gaji mas Bayu juga dijatah untuk ibu dan adiknya setiap bulan. Aku tahu itu juga kewajibannya. Lagian tak perlu dipermasalahkan karena kewajibannya sebagai suami sudah dipenuhi. 

Dan warung sembako ibu, yang ada depan rumah pun juga modal dari suamiku.

"Rina! Aku titip zilan ya, ntar kukasih dua puluh ribu." Mbak Inur menyodorkan bayinya yang masih dibedung. Ia istri mas Jaka-- kakak dari mas Bayu. Karena ia banyak menanggung biaya dapur, maka ia menantu disanjung.

"Ya, Mbak," jawabku. Tentu aku tak bisa menolak. Uang dua puluh ribu itu sangat besar bagiku saat ini. 

"Mau ke mana, Nur?" tanya ibu.

"Mau ke renuian SMA, Bu. Lumayan dapat jatah jadi panitia. Lagian nanti aku bisa bawa pulang makanan sisa acara. Lumayanlah, Buuu."

"Oooh, itu baru mantu pintar, nggak seperti itu tuuu." Ibu menunjukku dengan meruncingkan bibirnya ke arahku. Sudah biasa dibandingkan, tapi tetap saja bikin sesak.

"Bu, aku minta jajan dong." Tiba-tiba Stela keluar dari kamar. Lalu mengadahkan tangan ke ibu mertua.

"Baru kemaren di kasih seratus, kok minta lagi?" tanggapan ibu.

"Kan udah habis beli quota internet, Bu. Minta setengahnya aja ya?" ucap Stela manja. 

Lalu ibu mengeluarkan dompet. 

"Nih." Uang lima puluh ribu diberikan ke Stela.

Ibu sepertinya banyak uang. Aku butuh uang buat buka nomor rekening bank. Karena cerbung yang aku diposting di dua aplikasi prabayar, sudah menghasilkan sekitar sembilan belas juta rupiah. Hanya saja, pembayaran harus melalui rekening.

"Bu, aku bisa pinjam uang dua ratus ribu buat modal jualan online?" Bicara jujur sepertinya tak perlu. Paling mereka akan menghinaku lagi.

"Mau jualan apa? Paling nggak laris, kamu tu cuma tamat SMP, cocoknya jadi babu, beda sama Stela yang sedang kuliah S1, ha ha ha."

Ia memperbandingkan pendidikan putrinya dengan pendidikanku. Dan mereka berdua tertawa mencemooh seolah aku tak bisa apa-apa.

"Iya, Mbak. Bagusan nyuci baju aja karna udah numpuk." Entengnya Stela memerintahku. 

Mas Bayu langsung menggeleng pelan menanggapi seolah tak setuju dengan sikapku meminjam uang ke ibunya. Aku pun tak cerita kenapa mau pinjam uang. Sengaja kurahasiakan agar bisa mengumpulkan uang buat usaha buka warung dan cari kontrakkan. Cita-citaku dari dulu ingin punya rumah makan padang, modalnya besar dan saat ini belum sanggup menggapainya. Tapi aku yakin suatu saat pasti bisa.

Tuhan, kenapa aku baru menyadari sikap buruk mereka setelah mas Bayu di PHK. Sekarang kondisiku pun sedang menyusui anak. Tak punya kerjaan dan setiap hari mendengar ocehan mertua dan ipar. Sebenarnya aku menantu atau pembantu mereka? 

Hanya ponselku ini tempat curhat. Ibarat diary yang kuketik di aplikasi catatan k**p. Ini ponselku dan sudah hampir setahun kumiliki.

Apakah tamat SMP seperti orang tak berpendidikan? Bukan aku tak mau sekolah, tapi kondisinya orang tua tak mampu membiayai. Dan akhirnya, aku kerja di rumah makan Padang. Awalnya hanya sebagai tukang cuci piring, terakhir sebelum mengundurkan diri karena menikah, jadi tukang masak. Dari sanalah pertemuanku dengan mas Bayu, ia sering makan siang di tempatku bekerja.

"Jangan banyak berharap, sudah sana lanjutkan nyuci, biar Raka dan zilan kujaga di kamar. Nanti kalau menangis akan kupanggil," ujar mas Bayu pelan.

"Ya, Mas."

Aku harus cari pinjaman ke yang lain.

***

Dua hari berlalu.

"Rina! Rina!" Tiba-tiba ibu mertua memanggil. Seperti biasa, jam segini aku harus masak makan malam. 

"Tuh Ibu nyuruh masak, Mbak," ucap Stela.

"Mas, tolong jagain Raka. Aku mau masak."

"Aduh, Rin. Aku juga mau nyuci motor Mas Jaka. Lumayan dapat upahnya dari pada dibawa ke tempat cucian," tolak mas Bayu.

"Oh, ya, Mas."

Kugendong anakku ke dapur. Di sana, ibu sedang mengeluarkan sayuran dari kantong kresek. 

"Lama amat, kerongkonganku sakit teriak-teriak. Cepat masak! Goreng ayam itu dan bikin sambal terasi." Ibu mertua terlihat kesal. Sebenarnya ini sudah biasa kuterima, tapi tetap saja hati ini sakit saat ucapan itu dilontarkan dengan nada tak enak di telinga.

"Ya, Bu," jawabku pelan. Lalu meletakkan Raka di lantai dapur dan diberi kerupuk agar ia tak ke mana-mana. Raka sedang lincahnya karena baru satu bulan ini bisa berjalan.

"Kamu tu beruntung tinggal di sini. Tak keluarin uang banyak buat biaya makan. Listrik dan air tak perlu mikir," ujar ibu mertua sambil mencuci tangan.

"Ya, Bu," jawabku, lagi menahan.

"Mana uang dapurmu?" Ibu mengadahkan tangan.

"Ini, Bu." Kusodorkan uang lima puluh ribu padanya. Itu uang yang ia berikan dua hari yang lewat.

Satu hari aku dijatah uang seribu lima ratus rupiah. Satu minggu total sepuluh ribu lima ratus rupiah. Kata ibu mertua aku tak perlu mikirkan tentang makan lagi karena ia yang bantu. Uang lima puluh ribu yang diberinya, kuberikan lagi.

Biasanya, sepuluh ribu lima ratus rupiah itulah kugunakan untuk membeli quota internet. Karena dapat uang dua puluh ribu dari mbak Inur, uang lima puluh ribu itu masih utuh kupegang.

"Ini kusisakan seperti biasa." Ibu menyodorkan uang sepuluh ribu lima ratus rupiah padaku. Lalu ia berlalu ke luar  membiarkan aku memasak sendiri.

Keadaan ini sudah biasa kualami. Ibarat pembantu, semuanya aku yang kerjakan. Mau pergi dari sini, aku tak punya tempat tujuan selain rumah orang tua. Tak mungkin aku pulang karena kondisi ibu bapak juga serba kekurangan. Seharusnya aku yang membantu mereka. Tapi itu hanya dulu.

Setiap malam aku curhat ke seorang penulis. Memberanikan messenger dan Alhamdulillah tanggapannya baik dan ramah. Sebenarnya aku tertarik membaca cerbungnya yang tak jauh dari kondisi rumah tanggaku. Jujur, aku merasa tercerahkan. Dan rasa kasihannya menyuruhku mencoba menulis cerbung. 

Awalnya aku tak percaya diri. Mana mungkin tamat SMP seperti aku bisa menulis seperti Author top yang sukses di beberapa aplikasi baca novel. Hasilnya, satu minggu aku belajar menulis darinya secara diam-diam, dan sekarang kuberanikan menposting di dua aplikasi prabayar. Alhamdulillah, aku sudah punya pendapatan kurang lebih dua puluh tiga juta rupiah. Hanya saja uang itu besok atau lusa baru kuterima.

"Rina! Rina!"

Astagfirullah'alaziim, aku mengucap saat mendengar ibu mertua berteriak memanggil.

"Rina! Sini cepat!"

Ya Tuhan, aku melakukan kesalahan apa? Kali ini teriakkan mas Bayu memanggil. Dari nadanya terdengar sangat marah.

"Ya, Mas!" sahutku sambil mematikan kompor.

"Cepat sini!" Ibu mertua seperti tak sabar ingin memarahiku. Ya Tuhan, ada apa ini?

"Iya, Bu," jawabku sambil menggendong Raka.

Jantungku berdegup tak enak. Ini bukan karena aku merasa bersalah, tapi suara ibu dan suamiku terdengar lantang. 

"Ya, Bu," jawabku sudah berdiri di depan mereka. Mereka yang kumaksud ada mbak Inur, mas Jaka, Stela, ibu mertua dan suamiku. Tapi kok ada mbak Leha? Jangan-jangan ....

"Sudah untung kamu kutampung di rumah ini!" tukas ibu mertua.

"Sadar diri dong, Bayu cacat dan hanya bisa mengadahkan tangan," timpal mas Jaka.

"Ya paling kalau mau mengadahkan tangan di lampu merah, pasti dapat uang." Stela berucap tak menghargai kakaknya. Padahal ia bisa tamat D3 adalah biaya dari mas Bayu.

"Sini!"

Mas Bayu tiba-tiba marah. Raka dalam gendongan langsung menangis.

"A-apa salahku, Mas?" lirihku, mas Bayu terlihat sangat marah.

"Berani kamu pinjam uang! Bayar pakai apa? Lihat kondisiku!" Mas Bayu berucap lantang. Aku tahu ia merasa terhina dengan ucapan ibu dan saudaranya.

"Sabar, Bayu. Lagian ini urusanku dengan Rina. Jangan gitu dong, kasihan istrimu sudah kurus kok dimarahi?" Terlihat mbak Leha menatap prihatin.

"Biar aja, Leha! Toh ia salah kok. Tak punya uang sok minjam," tukas mbak Inur.

"Hey! Kamu tu punya ot*k nggak sih? Beraninya minjam uang ke Leha. Bisa bayar nggak?" Ibu melotot sambil mencubit lenganku. Sakit, tapi hatiku lebih sakit.

"Mana bisa, Bu. Lah kerjanya hanya mengadahkan tangan aja, lagian Mas Bayu bisa apa?" timpal Stela yang membuat diriku semakin terpojok.

Ya, aku minjam uang dua ratus ribu ke mbak Leha buat buka nomor rekening. Gunanya untuk tranfer hasil dari menulis. Itulah kenapa aku berani meminjam uang. Namun, uang itu lupa kutarik via Atm karena kondisi Raka rewel saat berada di bank. Lagian aku takut dimarahi ibu, jika belum kunjung pulang. Itulah kenapa hari ini mbak Leha datang menagih hutang.

Aku hanya terdiam. Raka rewel dan segera kususui sambil berdiri. Lagi, tak ada air mata yang tumpah. Mungkin aku sudah kebal.

"Kenapa diam aja! Jangan kamu kira aku yang akan membayar hutangmu. Sepersen pun aku tak sudi!" Ucapan lantang ibu mertua seolah aku ini bukan menantunya.

Amarah mereka kuterima dalam diam. Sambil berkata di hati, "Sebentar lagi apakah kalian akan meremehkan aku? Tamat SMP saja, bukan berarti aku bodoh."

"Mbak Leha, maaf ya, uangnya besok atau tiga hari lagi kuganti, aku janji akan melebihkan seratus ribu karena telat bayar," kataku yakin.

"Apa? Hey! Mau bayar pake apa. Kamu sedang mimpi punya uang banyak?" 

"Mungkin dapat warisan dari orang tuanya kali, Bu. Tapi boong, ha ha ha." Ucapan Stela disambut yang lain tertawa menghina. Kecuali suamiku yang hanya terpana. Entah apa yang ia pikirkan. Aku tahu ia tak terima jika aku dihina. Hanya saja ia tak bisa melawan.

Bersambung

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Gracia Frans Budiman
Aku udah baca di novel sebelah, sekarang udah episode 3..udah serinya Maya anaknya Rina n Bayu
goodnovel comment avatar
Nyonya Sinyo
bagus cerita nya
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
jjjjjjkkkkkkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status