Share

Part 5 Mereka Mentertawakan Aku

"Aku kecewa padamu, Mas. Raka disakiti kamu hanya diam!" Duduk di tepi ranjang, kupandangi Raka sedang tertidur.

Sudah tak tahan ingin mengucapkanya. Ia seorang bapak, meskipun dengan keadaan fisik kaki satu, tapi bukan berarti diam melihat anak disakiti. Sekilas merasakan, akulah yang mengendalikan semua keadaan tanpa ada tempat mengadu dan berlindung.

Tuhan, maaf jika sering hinggap dengan sebuah rasa lelah. Tapi aku hanya perempuan biasa yang juga butuh perlindungan. Tapi kenyataanya ..., Astagfirullah'alaziim, kenapa aku mengeluh di saat keadaan mas Bayu seperti ini. 

"Aku tidak lihat, Rin. Hanya sebentar kutinggal karena Ibu minta bersihkan genangan air hujan di teras. Lagian jika dibiarkan takutnya yang lewat terjatuh."

"Tapi bukan berarti kamu diam kalau tau dia mencubit anakku!" 

Ibu mana yang rela jika anaknya disakiti orang lain. Apalagi Raka baru satu tahun.

"Aku tidak tau, Rin. Tiba-tiba Raka menangis dan kudekati, Mbak Inur sedang asik duduk menonton tivi."

"Seharus tanya kenapa Raka nangis."

"Iya, kata Mbak Inur terjatuh tadinya."

Oooh, jadi si Inur berbohong dan mengakui setelah aku yang bertanya. Mau cari sesuatu membalasku? Lagian jika aku menolak mengasuh bayinya, bukan hak dia memaksa. 

Lama-lama ia semena-mena menginjak kami.

"Oke, sekarang kita kemasi baju balik ke rumah orang tuaku. Lama-lama di sini bisa bikin aku melakukan sesuatu di luar kewajaran. Aku capek menahan dan bersabar selama ini." Aku bangkit dari ranjang, lalu mengambil tas besar di sudut kamar.

"Rina, tolong beri tau aku dari mana kamu bisa punya uang sebanyak ini. Setengah hari keluar rumah mustahil bisa beli emas."

Kuletakkan tas lalu menoleh ke mas Bayu. "Aku menulis cerbung di aplikasi prabayar, Mas," jawabku.

"Cerbung? Maksudnya cerita bersambung seperti novel gitu?" Alis mas Bayu bertaut. Tentu ia kurang mengerti karena sebelumnya aku hanya pernah bercerita belajar menulis dengan seorang teman.

"Iya, Mas."

"Tapi, tapi mustahil jika hanya nulis cerbung bisa dapat uang sebanyak ini. Dan ...."

"Kamu lihat setiap malam aku main hp, kan?"

"Iya, sih. Tapi ..., katanya kamu hanya belajar menulis."

"Mas, maksud menulis di sini menulis cerita bersambung, bukan menulis seperti anak baru sekolah. Dari dulu aku sudah bisa nulis dan baca, kalo nggak, nggak mungkin juga aku bisa tamat SMP."

Beginilah nasib yang hanya tamat SMP. Seolah seperti orang bodoh. Mas Bayu bukan menganggapku bodoh, hanya saja ia terlihat tertegun jika aku bisa melakukan sesuatu yang setara dengan orang-orang yang pernah kuliah. Itu yang kubaca dari caranya menanggapi. Bagiku, asal ada kemauan belajar, umur bukan masalah.

"Bentar." Lalu kukeluarkan ponsel dari saku. Lalu jariku memencet ponsel, untuk melihat tampilan penghasilan menulis di aplikasi baca novel. 

"Lihat ini, Mas." Ponsel kuulurkan ke mas Bayu, memperlihatkan nominal yang tertera.

"Astagfirullah'alaziim! I-ini benaran, Rin? Masya Allah ...." Mata mas Bayu membulat sempurna melihat layar ponsel.

"Sekarang, aku ingin kita pergi dari sini. Aku akan buka warung di rumah Ibuku, sambil aku menulis kamu juga bisa jagain warung, Mas. Ini lebih baik dari pada kita diperbudak, seperti rumah ini bukan rumah ibumu, tapi rumah majikan." Kuperjelas agar mas Bayu sadar jika keluarga kandungnya tak ada yang bisa membantu dan menghargai kami.

"Maafkan aku, Rin. Aku memberi kehidupan seperti ... seandainya kamu pun mau meninggalkan aku karena kondisiku, aku tak akan melarangmu karena aku sadar tak bisa memberi nafkah untukmu dan Raka. Aku hanya beban bagimu ...." Mendadak mas Bayu tersekat bicara, ia mengusap mata dengan jari agar air matanya tak berjatuhan. Ini kedua kali kulihat ia menangis. Pertama saat ia menerima kenyataan jika kakinya diamputasi.

"Mas, aku istrimu. Selagi semua yang kamu lakukan wajar, tak masalah. Lagian kita masih punya tangan dan otak sehat untuk bisa berusaha."

Bahasa sedikit kasar dan apa adanya kulontarkan. Bicara dengan suamiku tak perlu basa basi karena kami sudah mengenal sifat masing-masing. Yang penting kami saling menghargai.

"Aku bisa apa, Rin? Lihat kakiku hanya satu. Betul kata Stela dan Mas Jaka, aku hanya cocok berdiri di lampu merah." 

Hinaan dari saudara kandung, aku tahu gimana sakit rasanya. Tapi aku bisa apa? Sedangkan ibunya sendiri tak membela.

"Sudahlah, Mas. Sekarang kita mulai bangkit. Aku ingin kita buka warung nasi padang depan rumah Ibuku. Aku akan ajari Mas masak yang enak. Kita sama-sama menekuni usaha ini, aku yakin Ibuku juga membantu kita merintis usaha. Nanti aku juga akan terus menulis."

"Iya iya iya, Rin. Aku, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Terima kasih ...." Mas Bayu memelukku. Bentuk syukur dan semangatnya bisa kurasakan. Ikhlas dengan takdir Tuhan, aku yakin selagi ada usaha pasti ada jalan.

Kami melanjutkan mengemas baju. Sebenarnya barang-barang yang kubeli saat mas Bayu kerja dulu masih ada. Seperti peralatan masak, lemari piring, kulkas yang kini di warung ibu dan kursi tamu yang terpajang. Masih banyak yang lainnya.

"Mas, aku mau bawa peralatan masakku dulu," ucapku sambil memasukan baju ke dalam tas.

"Yang dipakai di dapur?"

"Bukan, kutarok di kardus di sudut dapur. Lagian peralatan masak Ibu sudah ada makanya tidak kupakai."

"Ya udah, bawa aja. Dari pada beli dan tambah pengeluaran," jawab mas Bayu sambil menggusuk punggung Raka agar ia tertidur lagi, karena tadi sempat terbangun.

"Ntar kulkasnya kita bawa juga, Rin. Semua barang yang kita beli bagusan dibawa."

"Kamu yakin, Mas?"

"Iya."

"Nanti kita cari mobil sewa buat membawanya."

Aku tak yakin orang di rumah ini memperbolehkan. Pasti ada perdebatan hebat. Sepertinya ini sulit karena mereka banyak.

Aku melangkah ingin ke dapur. Saat melewati ruang tengah, kulihat mas Jaka sudah pulang dan sedang bicara dengan ibu, Stela dan istrinya. Biasanya jam segini ia belum pulang. Bisa jadi ditelepon karena insiden keributan yang terjadi.

'Jangan takut, Rina. Ini negara hukum, seandainya Jaka berbuat kasar, siap-siap ponselmu merekam jadi bukti,' ucapku di hati mensugesti diri agar tak takut menghadapi mereka. Ide ini juga terinspirasi dari cerbung yang kubaca.

Pikiran buruk pun terlintas karena aku tahu sifat lelaki yang bertatus kakak ipar. Ia tak akan segan melontarkan hinaan seolah ia yang bisa segalanya.

"Tuh dia, Mas," ucap Inur menujukku. Aku cuek tetap berlalu ke dapur.

"Hey, Rina, sini!" panggil mas Jaka dengan nada tidak enak. Seperti majikan memanggil pembantu.

Aku tetap berlalu tanpa memperdulikannya. Sampai di dapur, kuambil kardus pembukus alat-alat masak. Lalu berlalu ke luar.

Akan tetapi, sampai depan kamarku. Terlihat mas Bayu berdiri berhadapan dengan mereka. Aku yakin pasti membahas tentang aku.

"Jujur aja! Pasti istrimu mencuri. Nggak mungkin dapat uang banyak hanya setengah hari." 

Astagfirullah'alaziim. Jadi ini yang mereka tanyakan ke mas Bayu. Pikiran buruk seolah mereka tak pernah sekolah, bahasa pun terdengar kasar.

"Rina tidak mencuri, Mas. Tolong jangan sebarakan fitnah."

"Trus istrimu dapat uang dari mana? Kamu mau nanti ada orang yang datang menangkap istrimu. Aku bisa malu karna ia masih mantuku!" Ibu mertua pun membuat mas Bayu di posisi sulit.

"Pasti nyuri lah, tangannya aja kuat dan cepat memukul, pasti mencuri keahliannya." Inur pun tak tinggal diam. Terlihat ia sangat sakit hati kulayangkan tamparan tadi.

Segera kuhidupkan kamera ponsel. Ponsel kupegang sambil menjinjing kardus yang sudah diikat dengan tali agar mudah membawanya. Lalu berlalu dekat mereka.

"Rina jadi penulis novel, Bu," jawab mas Bayu. Akhirnya suamiku jujur juga.

"Mas, ayok," ucapku berlalu ke teras. Sampai di teras kuletakan kardus lalu balik ke kamar ingin mengambil tas.

"Apa? Penulis, ha ha ha. Hoy, Bayu! Emang istrimu tamat sarjana? Aku aja yang tamat sarjana belum tentu bisa jadi penulis."

"Ha ha ha, betul, Mas Jaka. Lama-lama adikmu ini sama seperti istrinya yang rada mir*ng." Inur pun tertawa besar. Begitu pun yang lain.

"Mas Bayu, mana ada hanya nulis cerita dapat uang banyak. Jangan kira aku bodoh! Lah harga novel aja tidak mahal-mahal amat. Belum lagi biaya penerbit. Ngomong yang benar aja, makanya berwawasan luas dong." Lagi, Stela meremehkan aku seolah ia sangat pintar karena masih kuliah. 

"Mas, ayo. Tak usah dibahas lagi." Aku berlalu masuk kamar. Mengambil tas dan membawanya ke teras.

"Ow ow ow, penulis terkenal tuh, dapat uang banyak bisa beli cincin emas. Menghayal ketinggian. Biasa noton sinetron kali." Suara Stela sangat lantang menyindir.

"Hey! Kalian mau ke mana?" tanya mas Jaka karena melihatku mondar mandir bawa tas besar.

"Kami akan pergi, supaya kamu bisa beli mobil. Betul kan, Mas?" Aku masih ingat ucapannya. Katanya gara-gara menampung kami makan, ia tak bisa beli mobil.

"Masih ingat? Lagian kalian mau ke mana? Mengemis?"

"Mas, ia yang menampar aku. Balaskan sekarang." Ada dendam membara di mata Inur.

"Iya, Mas. Ia juga menamparku. Sudah ditampung membakang lagi." Stela pun memperlihatkan amarahnya.

"Rina! Cepat bersujud minta maaf pada ustriku dan adikku." 

Astaga, ia mau aku bersujud minta maaf? Sampai kiamat pun tak akan sudi. 

"Emang kalian siapa? Ajarin istrimu agar tak menyakiti Raka. Anak umur satu tahun dicubit hingga kakinya membiru. Jika aku mau bisa saja kulaporkan ke polisi, foto sebagai bukti dan istrimu bisa dipenjara."

"A-apa?" Mas Jaka tergagap. Mungkin tidak menyangka jika aku bisa bicara ini. Semua kuketahui dari baca cerbung seorang Author, jika terjadi kekerasan fisik pada anak-anak ada landasan hukumnya. Tak tahu juga kekerasan seperti apa.

"Betul itu, Nur?"

"Tapi ia juga menamparku, Mas."

"Tapi tetap tidak baik memukul Raka, ia masih kecil loh. Kok kamu seperti nggak pernah punya anak, sih."

Mas Jaka saja masih ada hati nurani. Tapi si Inur?

"Kok nyalahin aku! Aku seharusnya bisa ikut acara reunian tak jadi karena dia nggak mau ngurusin zilan."

"Katanya mau berbisnis, kok reunian, sih?"

"Mmm maksudnya sambilan, Mas," poles Inur. Aku tahu itu pasti akal-akannya saja. 

"Sudah, Jaka. Nih gimana penyelesaiannya?" timpal ibu.

"Rina harus minta maaf bersujud di kaki Inur dan Stela. Menampar sudah sangat keterlaluan!"

"Aku setuju," jawab Stela tersenyum sinis.

"Ya, bersujud sekarang!" Inur pun percaya diri jika aku akan patuh pada suaminya.

"Mas, ayok kita pergi. Biar kugendong Raka," ucapku ke mas Bayu. Kuabaikan ucapan mereka. 

"Rina!" teriak mas Raka. 

"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi.

Seketika mata mas Jaka membelalak. 

Biar ia berbadan besar dan seorang lelaki, aku tak takut. Seandainya mas Jaka berbuat kasar, aku akan teriak minta tolong. Rumah ini di tepi jalan utama, di depan juga ramai orang lalu lalang. Aku tahu mas Bayu belum tentu bisa melindungiku karena kondisi kakinya.

Bersambung

Bersambung ....

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Fitriiyaniie Adelya Shesy
nulis cerbung pengasil uang dimna ?
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Sok kaya tu keluarga ya, sombongnya bukan maen
goodnovel comment avatar
Iwan Santoso
mas raka? rakanya mau digendong kok...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status