"Aw ... geli, Sayang. Aduh ...."
"Biarin, salah sendiri. Pulang-pulang disambut dandanan kayak gini. Rasain kamu, ha ha ha.""Jangan gitu, geli tau."Seketika langkahku terhenti di anak tangga terakhir saat kudengar suara Risa– Asisten rumah tanggaku yang terdengar begitu manja. Apalagi suara Risa bersahut-sahutan dengan suara yang amat aku kenali. Suara suamiku– Mas Arjuna."Udah, Sayang. Cukup, dong. Geli tau ...."Suara sosok lelaki kembali tertawa terbahak-bahak. Aku menajamkan pendengaran. Akan tetapi, sudah tak terdengar lagi suara tawa dari dalam sana."Tapi aku suka sekali melihat tubuhmu yang meliuk-liuk kegelian seperti ini."Kulanjutkan langkahku, menuruni anak tangga terakhir lalu mendekat ke arah kamar yang ditempati oleh Art-ku yang berusia 25 tahun. Tak bisa dipungkiri, saat ini jantungku seperti berdetak lebih kencang.Kuhentikan langkah ini tepat di depan pintu. Kutajamkan pendengaranku lalu kutempelkan daun telinga pada pintu. Hingga terdengar lagi suara dari dalam sana. Lirih, tapi mampu kudengar dengan jelas di setiap katanya."Ayolah, malam ini saja ....""Aku capek, Sayang. Marahin perempuan tua itu, masa iya kasih aku tugas yang berat banget!" Nada suara Risa begitu ketus. Apakah yang dimaksud perempuan tua itu aku? Tanpa sadar, tanganku terangkat lalu meraba wajahku sendiri."Ya mau gimana lagi, kalau aku larang Rahma agar tidak memberikanmu pekerjaan yang berat, pasti dia akan curiga.""Halah! Yaudah, kalau begitu belikan aku rumah, lalu kita bisa tinggal di sana. Nggak capek-capek kayak gini! Nggak perlu sembunyi-sembunyi kayak gini lagi," cerocos Risa.Namaku Rahma Larasati, biasanya dipanggil Rahma. Umurku 30 tahun. Seorang ibu rumah tangga yang telah dikarunia seorang anak lelaki, yang saat ini tengah berusia 6 bulan. Seorang anak yang baru hadir saat usia pernikahan kami menginjak di angka 10 tahun. Oleh sebab itulah di usia pernikahan kami menginjak angka 5 tahun, kami memutuskan untuk mengadopsi anak yang kini kami berikan nama Manda.Ya, selama itu. Selama itu kami menunggu hadirnya sang buah hati.Sebenarnya, dulu, waktu usia pernikahan kami baru menginjak angka 2 tahun, kami sudah melakukan pemeriksaan. Tak ada masalah kesehatan pada kami berdua, semua normal. Kata dokter, tinggal menunggu waktunya saja. Dan ternyata, aku berhasil positif hamil saat usia pernikahan kami 9 tahun lebih 4 bulan. Oleh sebab itu, bulan kelahiran putraku dengan hari jadi pernikahan kami sama. Sama-sama di bulan Oktober.Arjuna Aditama Narendra, itulah nama suamiku. Sosok lelaki berusia 35 tahun yang saat ini menjabat sebagai seorang manajer di perusahaan yang sejak dulu ia mencari nafkah.Akan tetapi, Mas Arjuna meminangku saat dirinya masih berstatus seorang karyawan biasa. Mungkin karena prestasi yang diraih oleh Mas Arjuna, hingga membuat pemilik perusahaan tak ragu untuk menaikkan jabatan suamiku menjadi seorang manajer. Apalagi suamiku adalah sosok karyawan yang disiplin."Iya, doakan biar segera dapat bonus, nanti langsung kucarikan rumah untuk kamu."Seketika suara yang persis seperti suara Mas Arjuna membuyarkan ingatanku. Apa maksudnya? Mas Arjuna akan membelikan rumah untuk Risa? Memang apa hubungan di antara mereka?Masih teringat dengan jelas saat Mas Arjuna membawa wanita yang saat ini bekerja sebagai asisten rumah tanggaku itu."Dia kerabat dekat dari ayahku, sayang. Orangtuanya sedang terlilit oleh hutang, ayah-nya pun sedang sakit keras. Jadi hanya dia-lah yang menjadi tulang punggung saat ini. Apa kamu tega membuat Risa hidup terlunta-lunta di kota ini nyari kerjaan? Kamu kan juga perempuan, pasti jauh lebih tau ketakutan-ketakutan jika hidup di kota tanpa siapapun ...." Mas Arjuna terus mengeluarkan pendapatnya agar aku mau menerima wanita itu sebagai ART di rumah kami.Sejenak aku melirik ke arah wanita yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan posisi kepala menunduk sembari memainkan kesepuluh jemarinya. Lalu kembali menatap ke arah wajah Mas Arjuna yang menghiba."Tapi kenapa kamu nggak bicarakan ini dulu sama aku, Mas? Jangan asal ambil keputusan sendiri dong," protesku dengan nada lirih tapi penuh dengan penekanan di setiap katanya, tak ingin wanita itu mendengar penolakanku, sebab jarak kami tak begitu jauh, hanya terhalang tirai pembatas antara ruang tengah dan juga ruang tamu."Mas pun nggak ada rencana demikian, tadi Mas lihat dia jalan di tepi jalan raya sambil nenteng tas-nya, Mas hampiri dia, lalu dia cerita soal masalahnya. Dia minta tolong ke Mas buat nyarikan dia pekerjaan. Katanya sebagai seorang ART pun nggak masalah," ucap Mas Arjuna menjelaskan. Aku mendesah pelan. Aku tahu betul bagaimana perangai suamiku, selagi ia sudah membuat keputusan, maka beribu alasan akan ia kemukakan agar sang lawan bicara bisa menerima keputusannya."Ayolah, Rahma. Apa kamu tidak kasihan melihat perempuan di luar sana hidup terlunta-lunta? Kalau keluarganya tau, aku ngerasa nggak enak. Ada kerabat butuh bantuan, kok malah pura-pura buta." Sorot mata Mas Arjuna penuh dengan permohonan. Aku menghela napas dalam-dalam."Sebentar lagi kamu melahirkan, tentu akan membutuhkan bantuan bukan? Tak mungkin kamu bisa mengurus rumah dan bayi seorang diri." Aku memikirkan apa yang Mas Arjuna katakan.Memang ada benarnya, aku pun sudah memiliki pemikiran seperti itu sejak jauh-jauh hari, akan tetapi aku membutuhkan seorang ART yang sudah paruh baya. Setidaknya usianya di angka 50 tahun. Bukan apa-apa, sekarang banyak sekali kasus pelakor, aku hanya mengantisipasinya saja."Benar kan apa yang Mas katakan? Kamu pasti akan membutuhkan seorang ART." Mas Arjuna kembali bersuara. Padahal satu patah kata pun belum keluar dari mulutku."Apa kamu keberatan karena dia masih muda?" Lelaki itu menatap dengan sorot mata menyelidik. Aku mengangguk malas, akan tetapi malah membuat Mas Arjuna tertawa terbahak-bahak."Ada yang lucu?" Seketika tawa lelaki itu terhenti."Ya lucu aja, masa iya kamu mencurigaiku bakalan ada main dengan dia? Hey, Rahma ... pikiran konyol macam apa itu?" seru Mas Arjuna. Kali ini lelaki itu menatap lekat tepat di kedua manik hitamku dengan kedua telapak tangan menyentuh pundakku."Apa kamu meragukan kesetiaanku? Bukankah semua sudah terbukti? Kamu tau betul gimana Mama memintaku untuk menikah lagi karena kamu tak kunjung memberikan aku keturunan, apa selama ini aku melakukannya? Enggak kan? Aku selalu setia menemanimu, di sampingmu hingga akhirnya Tuhan benar-benar mempercayakan buah hati tumbuh di rahimmu, Sayang ...." Lelaki itu berucap dengan nada penuh kelembutan. Melihatku yang terdiam, lelaki itu tersenyum lembut."Percaya sama Mas, ya. Jangan pernah meragukan kesetiaan dan kasih sayang yang Mas berikan ....""Janji, ya. Pokok Maksimal bulan depan aku udah keluar dari rumah ini. Males banget jadi pesuruh istrimu itu!" Suara Risa kembali terdengar, dan saat ini aku hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar.Berada di posisi ini, benar-benar membuat otakku tiba-tiba saja bodoh. Aku tidak tahu harus berbuat seperti apa."Iya, Sayang. Tapi malam ini harus puasin Mas seperti malam-malam sebelumnya ...."Deg!Jantungku berpacu lebih cepat lagi. Apa-apaan ini?Apa maksud Mas Arjuna mengatakan kalimat menjijikkan itu?!Bergegas aku meraih gagang pintu lalu menekannya ke bawah berkali-kali, namun pintu tak kunjung terbuka."Pintu terkunci!" geramku. Kuremas jemariku, berharap mampu sedikit saja memberikan ketenangan lalu aku bisa berpikir dengan jernih. Kutempelkan lagi gendang telinga pada daun pintu, tapi sudah tak terdengar lagi suara dari dalam sana. Padahal aku tadi sempat menangkap suara desahan yang saling bersahut-sahutan.Karena tak kunjung mendapatkan ide, akhirnya aku memilih ....Brak! Kutendang kuat-kuat pintu kamar, namun masih tertutup dengan sempurna. Brak!Brak!"Risa! Buka pintunya!"Brak!Brak!Brak!Aku terus menggebrak daun pintu dengan begitu kerasnya, tak kupedulikan rasa panas yang menjalar di area telapak tanganku. "Risa! Buka pintunya!" Suara seseorang berusaha memutar anak kunci terdengar dari arah dalam, hingga sepersekian detik kemudian sosok wanita yang tengah mengenakan pakaian tidur dengan rambut digelung ke atas berdiri di hadapanku. "Ada apa, Bu? Maaf, saya tad
POV 3"Ris, sini. Ada yang ingin saya tanyakan," panggil Rahma pada sang pembantu yang tengah membersihkan hiasan guci yang ada di sudut ruang makan. Di sana, mereka tak hanya berdua. Ada Arjuna juga. Lelaki itu masih menyelesaikan sarapannya yang belum selesai. Sebenernya hanya tinggal tiga suap saja sepiring nasi itu habis. "Ada apa, Bu?" tanya Risa ketika ia sudah berada di depan sang Majikan. "Kemarin saya menemukan celana dalam laki-laki ada di kamar kamu." Deg!Seketika jantung Risa terasa seperti berhenti berdetak. Sekilas, Risa melirik ke arah Arjuna yang tampak menunduk dalam. "Kata suami saya, kamu habis memasukkan laki-laki ke dalam kamar ya? Siapa? Kekasih kamu?" tanya Rahma yang bersikap pura-pura tidak tau. Risa terlihat gugup, ia sampai tak bisa berpikir jawaban apa yang harus ia katakan. Risa kembali melirik ke arah sang kekasih, dan detik berikutnya tampak Arjuna memberikan kode agar Risa mengangguk saja. "I–iya, Bu. Saya minta maaf." Dengan perasaan kesal seka
"Sudah, Bu. Sudah saya sambungkan sekalian ke ponsel ini." Lelaki yang merupakan karyawan Elisa menyerahkan ponsel Rahma kepada pemiliknya. "Baik, Mas. Terima kasih, ya. Kwitansinya mana?" Diserahkannya selembar nota pembelian kepada Rahma, dan bergegas wanita itu memberikan sejumlah uang yang tertera pada nota pembelian. Tak lupa ia juga menambahkan satu lembar uang pecahan 100 ribuan sebagai upah atau bonus atas tenaganya.Setelah lelaki itu pergi, Rahma melangkah masuk menuju kamar Risa. Kepala Rahma mendongak, mencari keberadaan benda kecil yang akan mengungkap kebusukan dua manusia tak berakhlak. Dua pasang cctv terpasang dengan sempurna. Satu menyorot langsung bagian ranjang, dan satunya mencakup satu ruangan."Pasti mereka tidak akan tau kalau ada cctv di dalam sini," ucap Rahma dengan bibir tersenyum puas. ****Bibir bergincu merah maroon itu tersenyum kala melihat sang kekasih sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di cafe tempat mereka melakukan janjian. Bergegas R
Satu minggu telah berlalu. Sejauh ini Rahma tidak mendapatkan satu bukti apapun yang menyatakan ada perselingkuhan di antara mereka. "Apa mereka melakukan pertemuan di luar ya?" lirih Rahma menerka-nerka."Sepertinya iya, setelah malam itu Risa sering sekali berpamitan pergi keluar. Apalagi kepulangan Mas Arjuna dengan Risa hanya selisih hitungan puluhan menit." Secara Diam-diam dan tanpa sepengetahuan mereka, Rahma mengamati. Rahma pun kembali memutar otak, mencari cara yang tepat untuk menjebak sang suami dan asisten rumah tangganya. Rahma sudah berusaha mencari bukti di ponsel, namun nihil. Ia tak mendapati apapun. DretDretPonsel yang ada di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Gegas Rahma meraih ponselnya. Bibir wanita itu mengulas senyum saat melihat nomor sang sahabat terpampang sebagai pemanggilnya. "Assalamualaikum, Sa." Rahma mengucapkan salam begitu panggilan dari Elisa terhubung. "Waalaikumsalam, Ma. Bagaimana?" "Apanya?""Ya itu, yang kemarin. Apa kamu sudah
"Pantas saja jika Mas Arjuna tertarik, pakaian Risa saja seperti itu. Benar-benar cocok! Mas Arjuna seperti sampah dan Risa adalah penampungnya." Rahma tersenyum sinis."Ternyata seleramu begitu menjijikkan, Mas," lirih Rahma. Selanjutnya, wanita itu menutup aplikasi rekaman cctv lalu kembali merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia teringat perihal ucapan Elisa yang menyangkut perjanjian pernikahan. Rahma bangkit dari ranjang, setelahnya ia berjalan keluar dan langsung menuju ke ruang kerja sang suami yang letaknya persis di samping kamar mereka. Rahma bergegas masuk, tak lupa ia mengunci pintu ruangan kerja sang suami. Kemudian, ia pun melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang didepannya telah tersedia meja kerja berikut dengan komputer dan alat printer.Cepat, Rahma mengetikkan huruf demi huruf hingga terangkai menjadi kalimat. "Bismillah, semoga saja rencanaku berhasil," lirih Rahma sembari menatap layar komputer. Ia kembali membaca kalimat yang ia tulis. M
Setelah semuanya selesai, Rahma memutuskan untuk segera merapihkan meja komputer seperti sedia kala, dan selanjutnya ia kembali ke kamar.Perempuan itu terus berjalan dengan sesekali menatap ke arah lembaran kertas dan senyum tipis terpahat di bibir itu, sesampainya di kamar, wanita itu gegas mendudukkan bokong di tepi ranjang setelah mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya. Sejenak Rahma memandangi wajah sang bayi, dan seketika saja dada wanita itu terasa begitu sesak. Tangan Rahma terulur, mengusap lembut kepala sang anak dengan perasaan hancur. "Maafkan Mama ya, Nak, jika setelah ini kamu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok Papa. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa kekurangan kasih sayang. Mama akan menjadi Mama sekaligus Papa untuk kamu." Rahma berucap pelan, tanpa sadar kedua kelopak matanya mulai berkaca-kaca seiring rasa sesak yang kian mendera. Ah, air mata memang tidak bisa menyembunyikan sedalam apa rasa sakit yang dirasa. Rahma menghela napas dalam-dalam, setelahn
Dret DretPonsel yang sedari tadi berada di tangan Risa bergetar, ada sebuah pesan masuk. Dan begitu dibuka olehnya, sang kekasihlah si pengirim pesannya. [Masukkan semua serbuk itu ke dalam teh.] Sebuah pesan yang dikirim oleh Arjuna membuat Risa tersenyum. Belum sempat ia membalas pesan Arjuna, terdengar suara ketukan pintu dan suara sang majikan yang memanggil namanya. Gegas Risa bangkit dari pembaringan lalu melangkah menuju pintu. "Ada apa, Bu? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Risa begitu pintu terbuka. Nada suaranya begitu hormat dan patuh, selayaknya seperti seorang pembantu yang menghormati majikan."Ris, tolong buatkan kopi sama teh hangat ya. Sekalian tolong antarkan ke kamar." "Baik, Bu." Begitu sang majikan pergi, Risa kembali masuk ke dalam kamar. Wanita itu menyingkap kasurnya lalu mengambil obat yang berupa serbuk yang sejak tiga hari yang lalu diberikan oleh Arjuna padanya. Rahma tersenyum sinis, bayangan dirinya akan kembali mereguk kenikmatan di atas ranj
Mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Rahma, membuat jantung Risa dan Arjuna berdegup kencang. Dua manusia tak berhati itu pun tak lagi bisa menyembunyikan kegugupannya, bahkan mereka terlihat salah tingkah. Dan pemandangan itu tertangkap di kedua iris hitam milik Rahma. Tentunya membuat Rahma tersenyum samar. Risa akhirnya lebih memilih untuk beranjak dari tempat duduknya, dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar."Mas berangkat dulu ya, Sayang. Udah siang," ucap Arjuna sembari melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Belum Rahma menjawabnya, Arjuna langsung beranjak dari kursi–mengulurkan tangan ke arah Rahma–lalu melangkah pergi setelah sang istri mencium punggung tangannya."Mas, tunggu!" Kembali dada Arjuna berdebar-debar.Langkah lelaki itu terhenti, lalu dengan ragu memutar tubuh, dan terlihatlah sang istri yang melangkah ke arahnya dengan memasang wajah datar. "A–ada apa, Sayang?" Tergugup Arjuna bertanya. "Aku nanti mau pergi sama