Drrt ... drrt ....
Dona yang tengah menikmati hidangan di rumah anak sulungnya itu langsung menyimpan sendok, meraih benda persegi yang terus berdering. Dia menatap layar selama beberapa detik, kemudian menempelkan di telinga.
"Bu, lagi di mana?"
"Lagi di rumah Abang kamu, Monika. Kenapa?"
"Gitu, ya, Bu. Aku ke sana sekarang, ya! Sekalian mau bawa seseorang."
Dona langsung menautkan kedua alisnya ketika mendengar ucapan Monika.
"Memangnya siapa, Sayang?"
Monika malah terkekeh pelan, kemudian kembali melanjutkan ucapannya.
"Nanti juga tahu, aku berangkat dulu ke sana. Tolong siapin makanan."
"Iya, Sayang."
Sesudah mematikan sambungan telepon, Dona kembali meraih sendok yang ada di atas piring, kemudian melanjutkan acara makannya.
Di saat itu pula, Yuni yang tengah menggendong Rion melintas di hadapannya.
"Yuni, kemari!"
Yuni menoleh, menatap wanita yang sering semena-mena terhadapnya. Dia enggan sekali menghiraukan mertuanya tersebut.
"Kamu budeg, ya! Cepat kemari."
"Ada apa, Bu?"
Dona mendelik, tatapan tidak suka dia layangkan pada Yuni. Dona begitu sebal, akhir-akhir ini Yuni mulai berani terhadapnya.
"Monika mau datang ke sini bersama temannya, kamu masak sana."
"Ibu, gak lihat, aku lagi gendong Rion, dia lagi sakit, Bu. Tunggu aja Mbok Darmi pulang dari pasar," ucap Yuni tanpa rasa takut sekalipun. Dia harus bangkit, agar tidak diinjak-injak oleh keluarga Ramdani. "Atau gak, Ibu beli saja makanan. Bukannya uang Mas Ramdani berikan jauh lebih banyak di bandingkan denganku, tapi kenapa makan saja masih numpang di sini? Ibu, gak malu?!"
"Kurang ajar kamu, Yuni!" bentak Dona sambil bangkit dari duduknya, di gebraknya meja tersebut dengan kasar. Matanya terbuka dengan lebar, urat lehernya tampak menegang.
Dona benar-benar mendidih ketika mendengar perkataan Yuni. Berani menantu kurang ajar tersebut berbicara hal tersebut padanya.
Akan Dona pastikan, kalau Yuni pasti menyesal, karena telah berkata seperti itu padanya.
"Menantu gak berguna! Kamu hanya jadi benalu saja dalam kehidupan Ramdani," hardiknya sambil menunjuk wajah Yuni. Beberapa kali dia menggertakkan bibir.
"Apa Ibu gak sadar, kalau Ibu juga termasuk benalu dalam kehidupan rumah tanggaku dan Mas Ramdani?"
Akibat amarah yang sudah benar-benar memuncak, Dona langsung mencengkeram gelas yang ada di hadapannya dan tanpa pikir panjang, dia langsung melemparkan gelas tersebut ke samping Yuni.
Prank!
Yuni tersentak, dia terpejam selama beberapa saat, berusaha melindungi Rion, takut pecahan kaca tersebut mengenai Rion.
Sementara itu, Yuni tidak peduli dengan dirinya sendiri, sebab semua luka yang keluarga Ramdani torehkan terlalu dalam, hanya goresan pecahan gelas saja, tidak akan terasa menyakitkan.
"Kamu!" Dona menggertakkan gigi, hingga ucapannya sedikit tertahan.
"Kenapa, Bu? Semua yang aku ucapkan benar adanya, 'kan?"
Di saat Yuni dan Dona tengah bersitegang, tiba-tiba dari arah belakang datang Mbok Darmi yang tengah membawa beberapa kantong plastik.
Yuni terpaksa menyuruh Mbok Darmi untuk belanja lebih sedikit dari biasanya, karena memang keuangannya akhir-akhir sangat menipis, karena Ibu mertuanya terlalu ikut campur.
Mbok Darmi terbelalak, dia langsung menjatuhkan belanjaannya dan menghampiri Yuni yang masih terpaku di tempat.
"Astaga, Nyonya baik-baik saja?"
Yuni menoleh, kemudian mengangguk pelan.
"Aku tidak apa-apa, Mbok. Tapi, justru orang itulah yang sakit, dia tidak memiliki kesibukan, sehingga terus mencampuri urusan kami."
Mbok Darmi dan Dona sama-sama terbelalak, mereka tidak menyangka, jika Yuni akan berkata seperti itu.
"Makin kurang ajar kamu, lihat saja, kalau Ramdani tidak membutuhkanmu lagi, akan tinggal di mana kamu sama anakmu itu? Di jalanan jadi gelandangan, begitu?"
Dona setengah tersenyum, tangannya terlipat di dada, beberapa kali dia memutar bola mata.
"Jangan sombong kamu, Yuni! Ingat, kamu hanya menantu di sini, Ramdani bisa menendangmu kapan pun yang dia mau dan dia bisa mencari yang lebih baik," sambung Dona dengan penuh percaya diri.
Yuni mendelik, satu sudut bibirnya ikut tertarik ke atas. Dia begitu mengapresiasi kepercayaan diri Dona.
"Aku tidak yakin!"
Yuni menoleh ke arah Mbok Darmi, menyerahkan Rion yang tampak mengantuk.
Mbok Darmi yang sudah paham maksud Yuni, langsung meraih anak laki-laki tersebut, dia mundur sekitar beberapa langkah, tidak berani meninggalkan Dona.
Mbok Darmi takut, kalau Dona akan bersikap lebih semena-mena lagi pada Yuni, apalagi akhir-akhir ini Yuni tidak lemah, dia perlahan melawan Dona.
"Aku tidak yakin, ada perempuan di luar sana yang mau dengan Mas Ramdani, apalagi kalau mereka sudah tahu, siapa Ibunya Mas Ramdani." Yuni kembali tersenyum sinis. "Mereka pasti akan berpikir ribuan kali, sebelum kejiwaan mereka terganggu!"
"Dasar wanita kurang ajar! Akan aku adukan semua ini pada Ramdani, dia pasti akan menuruti semua ucapanku, dibandingkan denganmu."
Kali ini Dona benar-benar yakin, karena memang selama ini Ramdani selalu menuruti semua yang dia katakan, Ramdani bisa dengan mudah dia kendalikan.
"Silahkan saja, aku tidak takut. Kalian hanya memberikanku neraka saja, menyiksaku tanpa ampun, seolah-olah aku budak yang tidak ada harganya."
Yuni menatap Dona dengan tajam, kilauan matanya menyiratkan sebuah kesakitan atas penderitaan yang telah dia terima selama ini.
Bertahan dalam kesakitan seperti ini, bukanlah suatu hal yang mudah. Ingin sekali Yuni menyerahkan, hanya saja dia teringat dengan Rion dan calon anaknya kelak.
Yuni tidak ingin, kalau anaknya harus hidup dengan ibl*s yang menyamar menjadi manusia seperti mereka. Yuni, tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi.
"Akan aku pastikan, Ramdani mengusirmu dari sini! Aku--"
"Tidak, aku tidak akan melepaskan Yuni."
Dengan cepat, semua orang langsung menoleh ke sumber suara, menatap pria yang melangkah ke hadapan mereka.
"Aku mencintai Yuni, aku tidak akan membiarkan dia dan anak-anakku pergi. Aku akan memperbaiki semuanya sekarang, sebelum terlambat."
Dona langsung mendelik, hidungnya mengkerut, beberapa kali dia melayangkan tatapan tidak suka pada Yuni."Sejak kapan kamu berani melawan Ibu, Ramdani?" sentak Dona sambil tersenyum sinis. "Pasti si Yuni main dukun, biar kamu berani bersikap seperti itu."Dona sengaja melayangkan sebuah tuduhan tidak mendasar pada Yuni. Sengaja dia melakukan ini, tentunya agar Ramdani percaya lagi padanya, karena bagaimanapun itu, Ramdani adalah satu-satunya orang paling penting di hidupnya.Kalau saja Ramdani dikuasi oleh Yuni, Dona pasti tidak akan bisa hidup mewah, Ramdani pasti akan memberikan uang padanya hanya seadanya saja.Dona tidak ingin, kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa kebiasaan hidup mewahnya tidak bisa dia rasakan kembali.Kalau saja hal itu sampai terjadi, Yuni adalah orang pertama yang akan Dona lenyapkan. Karena memang, gara-gara Yuni semuanya hilang.
"Bu, kenalin ini Kak Anton, dia Kakak tingkatku di kampus. Sebenarnya kami sudah dekat cukup lama, tetapi Kak Anton baru menyatakan cintanya padaku beberapa waktu lalu."Monika menjelaskan semuanya sambil tersipu malu, beberapa kali dia melirik ke arah Anton yang juga ikut menyunggingkan senyuman.Monika tidak menyangka, setelah melakukan pendekatan yang cukup lama dengan Anton, pada akhirnya dia bisa mendapatkan pria itu, rasanya hari-hari Monika benar-benar penuh dengan bunga."Benar, Bu. Saya dan Monika sudah kenal cukup lama. Malahan kami juga--""Yuni, maafkan, Mas. Mas, akan bersikap lebih adil padamu lagi, Sayang. Tolong, jangan pikirkan hal ini lagi, kasian anak yang ada di dalam kandunganmu.""Untuk apa? Kamu sudah sering berkata seperti itu padaku."Tiba-tiba ketiga orang tersebut tersentak ketika mendengar sebuah teriakan dari ruang makan.&
"Mbok, bisa tolong belikan tempat minum untuk Rion ke pasar, gak?"Mbok Darmi yang kebetulan sedang memotong sayur-sayuran untuk sarapan, langsung menoleh, kemudian mengangguk pelan."Bisa, Nyonya. Sekalian saya mau beli ikan, tadi Tuan Ramdani minta di masakin ikan goreng.""Baik, Mbok. Terima kasih banyak."Mbok Darmi tidak membalas ucapan Yuni, dia menatap majikannya itu dengan sendu, beberapa kali dia menelan ludah susah payah, berusaha mengusir gejolak di hatinya.Bagaimana tidak, bagian bawah mata Yuni tampak begitu menghitam, wajahnya pun tampak pucat pasi dengan bibir yang memutih.Belum lagi, akhir-akhir ini Yuni jarang sekali makan, membuat Mbok Darmi begitu khawatir. Padahal dia sering sekali mengingatkan Yuni.Akan tetapi, jarang sekali Yuni gubris, dia hanya mengangguk saja, kemudian kembali bermain dengan Rion dan yang
Ramdani pulang dari kantong dengan keadaan lesu. Hari ini, pekerjaan jauh lebih banyak dari yang dia pikirkan sebelumnya. Bahkan, gara-gara hal itu dia sampai tidak sempat mengisi perut.Ketika masuk ke rumah, Ramdani langsung melesat pergi ke dapur, duduk di meja makan, kemudian membuka tudung makanan.Namun, seketika dia terbelalak ketika netranya hanya menangkap goreng telur dan sayur asam saja yang tersaji."Mbok Darmi! Mbok," teriak Ramdani dengan nyaring. Dia begitu lapar, tapi kenapa hanya makanan itu saja yang tersaji.Tidak lama kemudian, Mbok Darmi tergopoh-gopoh dari pintu belakang."Iya, Tuan, ada apa?""Kenapa tidak ada makanan yang lainnya? Masa saya harus makan sama telur goreng sama sayur asem saja, mana ikan goreng yang sama minta?"Mbok Darmi menunduk dalam, dia meremas tangannya sendiri dengan begitu gugup.
Dalam kondisi hamil besar seperti ini, Yuni terpaksa berjalan sambil mendorong kereta bayi yang biasa dinaiki Rion menuju jalan raya yang ada di depan rumahnya.Bukan tanpa alasan, tetapi anaknya itu terus merengek minta keluar rumah, padahal dia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.Baru saja Yuni berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.Tidak lama kemudian, Dona dan Monika keluar dari mobil. Awalnya mereka tidak menyadari keberadaan Yuni, tetapi tanpa sengaja, sudut mata Monika menangkap kehadiran Yuni."Bu, lihat deh, ada si Yuni."Dona terkesiap, ekor matanya sedikit menyipit. Hanya dalam hitungan detik, dia langsung tersenyum sinis."Yuni, sini kamu!"Yuni menghela napas kasar, dia terus melajukan kereta bayi yang di tumpangi Rion. Dia tidak peduli dengan Dona dan Monika.&n
"Mbak, baik-baik saja?"Anton beralih menatap Yuni yang membisu. Tangannya mencengkram kereta bayi kuat-kuat. Sementara itu, tatapan wanita itu tampak kosong, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Saya baik-baik saja. Terima kasih telah membelaku, walaupun pada akhirnya mereka akan lebih kejam padaku."Anton menghela napas panjang, dia menoleh, menatap Monika yang masih histeris.Entah kenapa, tidak ada sedikitpun simpati di hatinya, ketika melihat wanita itu menangis seperti orang yang kesetanan.Meraung-raung tidak jelas, bahkan sampai ikut menghentakkan kaki, seperti anak kecil saja.Anton bergidik ngeri, malah dia yang merasa malu atas tingkah laku Monika. Beruntung sekali Anton, karena sekarang hubungannya dengan Monika sudah berakhir."Saya, permisi dulu, ya!" sambung Yuni, membuat Anton langsung tersadar dari lamunannya."Mau ke mana?" tanya Anton secara refleks.
"Bu, uang yang kita dapat hari ini, mau di apakan?" tanya Monika sambil memandangi uang yang ada di tangannya. Hatinya benar-benar berbunga-bunga.Bayangan demi bayangan barang yang akan dia beli, benar-benar memenuhi pikirannya. Rasanya Monika tidak sabar untuk pergi ke mall dan berbelanja serta makan enak."Belanjakan saja, Sayang," jawab Dona tanpa ragu, karena memang dia pun menginginkan hal yang sama. "Ah, ini taksinya mana, sih, kok gak ada. Mana panas lagi," keluh Dona sambil mengibaskan tangannya."Aku udah gak kuat, panas banget. Nyesel gak bawa mobil," sesal Monika.Tidak lama kemudian, sebuah angkot berhenti di depan keduanya. Monika sempat melirik Dona sekilas, meminta persetujuan Ibunya."Bu, gimana?" sambung Monika, kembali mempertegas.Karena memang, dia sudah sangat merasa kepanasan, wajahnya t
Ketika memasuki pekarangan rumah, Ramdani melihat mobil adiknya terparkir. Dia belum menyadari, jika motor istrinya raib.Tanpa banyak berpikir, Ramdani langsung masuk ke rumahnya, tetapi dia tidak melihat keberadaan anak dan istrinya, maupun adik dan Ibunya tersebut."Mbok!" panggil Ramdani dengan lantang. Tetapi, dia tidak ada sahutan dari siapapun.Ramdani lantas menyimpan tasnya di sofa, kemudian melenggang ke dapur sambil sesekali memanggil nama Mbok Darmi."Ke mana, sih, orang-orang," gumam Ramdani, kemudian kembali ke ruang tamu, meraih tasnya, lalu menaiki satu demi satu anak tangga yang membawanya menuju kamar utama.Sesampainya di kamar, Ramdani langsung melempar tasnya ke atas ranjang, lalu ikut merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.Tidak lama kemudian, Ramdani menoleh ke arah rak buku. Tanpa basa-basi, dia langsung bangkit, kemudian