"Ibu, apakah kain-kain ini boleh dilepas?" Tanyanya menunjuk perban yang masih melilit bagian kepala, kaki, dan tangan.
"Nanti kita tanya dokter ya, nak." Jawabku sambil tersenyum.
'Kepala Leang masih sakit?" Tanyaku.Leang menggeleng.Nandean datang membawakan sarapan.
"Abang dari kemarin membawakan sarapan untuk mereka, jangankan bilang terimakasih, menegur saja tidak." Kata Rossy."Itu kan kakak-kakakmu." Jawab Nandean sambil tertawa.
Rossy tersenyum datar."Tapi tadi Anggun bilang: Terimakasih, Bapak Leang." Kata Nandean."Tapi Abang langsung pergi?" Tanya Rossy.
"Ya mau ngapain?" Nandean balik bertanya.Aku mendengarkan percakapan mereka sambil tersenyum. Mereka ini aneh sekali. Selama aku menjadi menantu di keluarga ini jarang kulihat mereka berbincang akrab antar kakak beradik bersama-sama. Mereka hanya berkumpul saat Bapak memanggil untuk merapatkan sesuatu yang suasananya selalu formal cenderung tegang.
"Kalau gitu aku pulang ganti baju saja, langsung berangkat ke kantor." Ujarnya."Iya, Gun. Kalau Rara masih mau disini biar nanti aku juga pulang dulu." Kata Naura.Aku hanya jadi pendengar pasif diantara mereka."Bapak Leang sudah tahu belum, Lily mau lapor polisi?" Tanya Naura."Tadi sudah ku beritahu," kata Anggun."Biar saja dia lapor polisi." Jawab Nandean."Beritahu pada kakak kalian itu, daripada uangnya untuk bikin laporan ke polisi lebih baik untuk biaya pengobatan Marry." Kata Nandean lagi."Sampaikan juga, kalau Marry dan Rara bisa digertak dan ditakut-takuti, tapi Naya tidak." Ujar Nandean."Sebenarnya waktu Naya marah kemarin dia sudah agak takut sih." Kata Anggun."Tubuhnya gemetar, malam itu dia mengeluh kepalanya sakit, dadanya berdebar-debar. Terus dia bilang: apa aku keracunan ya, gun?""Lalu maksudnya dia mau bilang dia keracunan, yang dimakan makanan bawaanku, dia mau menuduh aku meracuni makananny
"Iya, mba." Kami menyahut."Permisi Bapak dan Ibu, sampai ketemu lagi nanti sore ya, Leang." Pamit dokter."Terimakasih, dokter." Sahut kami.Sesaat setelah rombongan dokter pergi, Bapak dan Mama datang.Mereka menyapa dan mencandai Leang.Tigapuluh menit kemudian mereka dipanggil Rossy untuk menemui dokter yang memeriksa Marry. Bapak mengajak Nandean ikut serta.Aku sendirian bersama Leang yang mulai terkena efek obat, mengantuk. Tak lama kemudian ia tertidur.Aku memandangi wajah anakku, mengusap kepalanya, menyentuh wajahnya. Dia yang pernah sembilan bulan menghuni rahimku, nafasnya pernah menjadi nafasku, pertumbuhannya dari air susuku.Mengapa ada yang begitu tega ingin mencelakakan anak tak berdosa ini? Bahkan saat ia sama sekali belum mengerti rasa benci, belum memahami merah hitam dunia ini.Sedemikian dengkinya kah Lily kepada kami? Bukankah kami tak pernah meminta apa pun kepada Bapak? Bahkan kami telah mengalah perg
Tigapuluh menit proses radiologi selesai."Radiografi nya nanti kami serahkan kepada dokter spesialis yang menangani Leang ya, Bu." Kata petugas di ruang radiologi."Baik, mas. Terimakasih." Jawabku.Bersama perawat kami membawa Leang kembali ke kamar."Bagaimana?" Tanya suamiku."Tunggu hasil analisa dulu." Jawabku."Leang istirahat lagi ya," kata perawat yang mengantar kami."Mari, pak, Bu." Pamit mereka.Kami mengucapkan terimakasih pada keduanya.Tiba-tiba ada suara tangis mendekat."Naya..huhuhuhu.. Naya.." ternyata Rara."Maaf ya, Nay. Kakak baru jenguk Leang..huhuhu.." katanya."Iya, kak." Jawabku sambil menatapnya heran."Kau nangis kenapa?" Tanya Nandean."Bapak mengusirku pulang, tidak boleh ke rumah sakit." Jawabnya."Ya pulanglah. Kok malah nangis." Kata Nandean."Aku juga ingin mengurus adikku, melihat keponakanku." Katanya."Sudah banyak adikmu yang mengurus, kau uru
"Marry, maafkan istriku ya." Kata Nandean di telinganya.Marry melenguh."Salam dari Leang untuk Tante Marry cantik." Kata Nandean lagi.Bulir bening mengalir dari mata Marry.Lalu isaknya perlahan terdengar.Ternyata dia bisa takut, dia juga bisa menangis. Pikirku. Entah menangis marah atau menangis menyesal."Marry, semua orang menyayangimu. Saya dan Mamamu juga sangat menyayangimu. Meski kau suka melawan, sering buat kami marah, kami tetap menyayangimu." Kata Bapak."Siang malam kami mendoakan keselamatanmu, siang malam kami mengharapkan kesembuhanmu. Cepatlah kau sembuh dan mulai hidupmu yang baru." Lanjut Bapak.Marry terisak semakin keras. Tapi ia tak mengatakan apa pun.Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Yang kutahu, saat ini aku merasa lega karena Marry sudah dalam keadaan sadar kembali, rasa bersalahku sedikit berkurang.Mama mengusap-usap lengan Marry, memberinya penguatan dan penghiburan."Cep
"Itukan adiknya sendiri. Apa dia tega melakukan hal-hal jahat pada adiknya?" Tanyaku."Kau tidak tahu." Jawab Nandean."Saat aku kecil dia pernah menyiram dadaku dengan air panas, ia marah karena dimintai tolong Mama untuk membuatkan aku susu. Tapi dia beralasan bahwa akulah yang tidak sabar merebut gelas susu yang masih panas untuk diminum." Cerita Nandean.Aku tersentak."Lalu?" Tanyaku"Pokoknya dia paling pintar cari alasan dan mengelabui kami, terutama Bapak. Pada Bapak dia selalu mencari muka dan bersikap seperti orang tak punya dosa." Jelas Nandean."Tapi kan sekarang Bapak sudah tahu," Kataku."Bapak baru tahu semua kelicikannya saat Naura akan menikah. Dia terus menghalang-halangi pernikahan Naura, akhirnya Naura menceritakan semua perbuatan Lily pada kami." Kata Nandean."Makanya Bapak tetap menikahkan kita meski Lily marah dan mengamuk saat itu. Bapak tak mau menunjukkan bahwa selama ini dia dipengaruhi Lily. Bahkan ketika k
Ada yang diuji dengan pasangan, ada yang diuji dengan mertua atau ipar, ada yang diuji dengan orangtua, ada yang diuji dengan anak, dan sebagainya. Tugas kita adalah menerima ujian itu dengan ikhlas dan menjalaninya sesuai skenario Tuhan.Seorang teman pernah berkata, jangan mencari jawaban dari ujian hidup. Sebab saat kita temukan jawaban, hidup telah mengganti ujiannya. Percaya saja bahwa Tuhan memberikan ujian lengkap dengan jalan keluar atau jawabannya.Leang asyik menonton televisi, sesekali bertanya ini itu kepada Anggun."Halo, ya. Kenapa, Ra?" Anggun menjawab panggilan telponnya.[ ............. ....... ....... ] Suara tak begitu jelas dari lawan bicara Anggun."Marah-marah kenapa?" Tanya Anggun.[..... ..... .... .... .... ....]"Ngapain juga kau ngurusin dia. Biar aja semau dia, kan dari dulu juga begitu." Anggun menggerutu.[.... ..... .... .... .... ....]"Ya kalau dia bilang begitu suruh kesini aja, ngomong sama do
"Kakak bicarakan saja dengan Bapak Leang, bagaimana sebaiknya." Jawabku, mengulur pembicaraan."Kalau Bapak Leang kan adiknya Marry, keluarga sendiri. Pasti tidak akan perhitungan. Tapi yang mencelakakan Marry sampai seperti ini kan Naya, bukan Bapaknya Leang.""Tapi saya kan istrinya." Jawabku."Istri kan beda dengan saudara kandung." Katanya lagi."Jadi maksud kakak pertanggungjawabannya berbeda?" Tanyaku."Jelas bedalah." Jawabnya."Menurut kakak yang bertanggungjawab atas saya siapa?" Tanyaku lagi, menguji nalarnya."Ya keluarga Naya.""Bukan suami saya?""Ya bukanlah.""Tapi kan saya sudah menikah.""Tetap saja tanggungjawab terbesar itu dari keluarga, bukan dari suami. Suami kan orang luar." Jawabnya."Jadi Bapaknya Leang itu orang luar? Lalu Leang?" Tanyaku."Leang kan anaknya, cucu Bapak, keturunannya.""Apakah Leang bisa lahir tanpa ibunya?" Tanyaku."Jangan mengalihkan
"Coba saja kalau bisa." Aku tersenyum mengejek.Lily mengambil cup air mineral didekatnya dan melemparkan padaku. Lemparannya meleset. Padahal aku sama sekali tak bergerak menghindar. Aku memang sengaja memancingnya berbuat kasar agar aku punya bukti fisik.Naura memegangi Lily."Sudah, ly. Nanti darah tinggi mu kambuh lagi." Kata Naura."Biar saja! Biar aku mati sekalian!" Teriak Lily."Kakak kepingin mati? Silakan saja!" Jawabku.Lily menatapku garang.Anggun menarik tanganku, mengajak keluar ruangan.Aku menolak. Di ruangan ini harus ada orang ketiga jika Lily ada.Naura seperti memahami keadaan, dia menelpon Rossy.Tak lama Rossy masuk ke dalam kamar."Kau senang kan kalau aku mati? Biar puas kau pengaruhi Bapak dan Mama! Biar kau kuasai semua yang ada di rumah kami!" Lily masih terus berteriak.Aku melangkah ke pintu."Kabari saya kalau kakak mati, saya akan menyumbang paling banyak!" Ucapku sambil