"Mobil mana yang mau dipakai?" tanya Nandean."Mobilmu saja, mobil saya sudah agak tua," jawab Bapak."Bawa semua saja, Pak. Mobil Bapak biar saya yang bawa," sela Antar.Nandean berdehem."Bawa mobil si Leang saja cukup," jawab Bapak.Sekilas kulihat Antar mengepalkan tangan di pahanya."Jadi berangkat kapan kita?" tanya Nandean."Besok malam, biar pagi sampai disana," jawab Mama."Barang bawaanmu sudah kau bereskan, Lily?" tanya Bapak."Sudah," jawab Lily enggan."Jadi kau beli baju baru?" Tanya Nandean.Lily diam saja."Naya besok pakai baju baru?" tanya Rara.Aku tersenyum, "pakai yang ada saja, kak," jawabku."Kalau Naya pakai baju baru, Lily pakai baju baru juga lah. Masa nanti pengantin kalah cantik sama yang mengantar," kata Rara lagi."Kalian sumbangan dong, belikan Lily baju baru," ujar Nandean. "Mau, Ly?" tanyanya kepada Lily."Memangnya aku pengemis disumbang-sumbang?" tukas Lily sengit."Daripada kau pinjam uang Naya untuk beli baju baru, lebih baik kau minta sumbangan sa
Aku menghubungi Ibu, meminta izin menitipkan Leang selama dua hari."Lebih dari dua hari juga tidak apa-apa, Nay," ujar Kak Irfan. "Kebetulan aku sedang cuti, nanti kuajak Leang jalan-jalan ke kebun dan hutan kecil dekat rumah Nenek," lanjutnya.Ketika kuceritakan pada Leang tentang rencana Pakdenya, dia tampak antusias dan meminta buru-buru diantarkan ke rumah Ibu. Malam itu aku membereskan persiapan kepergian kami."Tak perlu bawa pakaian banyak-banyak, kecuali kau berniat menyumbangkan pakaian itu pada orang kampung mereka nanti," Nandean mengingatkan.Aku menatapnya heran."Biasanya orang disana minta pakaian yang kita bawa, tak enak untuk menolak," terang Nandean."Kenapa diminta?" Tanyaku."Patuh sajalah pada suami, nanti disana kau lihat sendiri, benar tidak yang kukatakan," jawab Nandean.Aku tak bertanya lagi. Kusiapkan pakaian pulang dan pergi serta pakaian saat tiba disana nanti. Tetapi kuselipkan juga beberapa potong baju sebagai persiapan sekiranya benar-benar nanti ada
"Selama ini kau selalu kurang ajar dan melawan pada kami, sekarang kau petiklah dapat suami kurang ajar seperti suamimu itu!" seru Bapak."Selama ini kami mendapat malu karena kelakuanmu, sekarang kau dibuat malu oleh kelakuan suamimu!" kata Bapak lagi.Senyap.Tak ada yang berani mengeluarkan suara."Pak, kita mulai makan siangnya ya, sudah dingin semua itu lauknya," Anggun mencairkan suasana.Kami pun makan siang bersama, tanpa Antar dan Lily."Sudah kau cek mobilmu, Nandean?" Tanya Bapak."Sudah, pak," jawab Nandean."Mesin, roda, ban, radiatornya," sebut Bapak."Sudah semua, pak. Tadi pagi sudah aku bawa ke bengkel, " jawab Nandean."Perjalanan jauh ini, melewati hutan dan kebun. Tak ada bengkel di jalan tengah hutan nanti," ujar Bapak."Jadi Bapak mau membuang anak dan menantu Bapak ke hutan, pak?" ledek Anggun.Nandean tertawa.Bapak diam saja. Tampaknya beliau masih kesal dengan kejadian tadi."Dua tahu
Perjalanan lancar, tidak ada kendala yang cukup berarti. Kecuali saat Antar meminta berhenti di sebuah tempat yang sepi dengan alasan ingin buang air kecil. Tetapi Nandean tetap melajukan mobil hingga bertemu dengan pom bensin terdekat. Kami semua turun.Masing-masing menuju toilet. Bapak dan Mama menyempatkan sholat Sunnah di musholla kecil yang tersedia disana.Aku mampir ke minimarket, membeli beberapa makanan ringan dan minuman hangat."Kau tidak membawa uang tunai banyak kan, Nay?" tanya Nandean.Aku menggeleng. Kami memang biasa menggunakan kartu debit atau e-money saja jika sedang berpergian.Setelah beristirahat beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan."Nay, tadi yang beli minum dan makanan siapa?" tanya Mama, saat kami berjalan bersisian menuju mobil."Aku, Ma," jawabku."Si Lily ini tak mau keluar uang sedikit pun," gerutu Mama."Biar sajalah, Ma. Toh sekedar makanan," ujarku."Naya, kau duduklah di d
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si
Bakul-bakul berukuran sedang berisi nasi diletakkan berselang seling dengan berbagai lauk, sayur, sambal, dan lalapan. Tidak ada sendok dan garpu. Sendok hanya diletakkan di mangkuk-mangkuk lauk dan sayur saja, bukan untuk makan. Mangkok-mangkok kecil berisi air disediakan sebagai tempat cuci tangan. Kami makan bersama, para ibu tak henti-hentinya berbicara meski mulutnya berisi makanan. Mereka membicarakan kelebihan dan kekurangan menantu masing-masing lalu saling membanding-bandingkan. Selesai makan para tamu pulang, beberapa masih tinggal dan membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Lagi-lagi Farida memanggil Lily."Jangan ngobrol disini!" Ujarnya, "kita ngobrol di belakang saja sambil cuci piring dan beres-beres yang lain," tangannya bergerak mengajak. "Aku ganti pakaian dulu," jawab Lily."Tak perlu ganti pakaian, pakai itu pun tidak masalah untuk ke dapur dan ke sumur, kan tidak mahal-mahal amat bajumu itu," celoteh Farida.Lily mengepalkan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den