Suara tangis Nyonya Amira tidak tertahan lagi. Tangisnya pecah di ruang UGD itu. Putra semata wayangnya. Anak kebanggaannya itu pergi selamanya. Tanpa diketahui, apa penyebab sakitnya.
"Galih, kenapa kamu tinggalin Mama secepat ini. Bangun, Nak, bangun ...." jerit Nyonya Amira menggoyangkan tubuh Galih dan berharap putranya itu bangun kembali.."Galih, jangan tinggalin Mama.Bangun, Galih. Galih, kita pergi ya. Kita susul Austin," rintih Nyonya Amira."Bangun Galih."Andre dan Nyonya Amanda berusaha menenangkan Nyonya Amira yang baru saja kehilangan Galih. Ia sangat terpukul, apalagi kematian Galih berbarengan dengan perginya Raline dan Austin."Raline. Ini semua gara-gara Raline. Kalau aja dia nggak memutuskan menikah dengan Hamid dan pindah ke Jepang, mungkin nggak akan kejadian seperti ini," ucap Nyonya Amira berteriak histeris."Galiiiihhh ....""Raline, kamu harus membayar semuRaline dan Hamid yang baru saja menikmati sedikit kebahagiaannya harus merasakan kesedihan kembali, saat mendengar berita kematian Galih. Seketika tubuh Raline menjadi lemah. Airmatanya pun luruh saat membayangkan Austin."Austin ...."Hamid pun berusaha menghibur Raline. Ia bisa merasakan menjadi seorang Raline itu tidaklah mudah. Terlebih, jika nanti Austin akan menanyakan keberadaan Galih. Sosok Galih yang tidak bisa ditemuinya lagi."Mas, gimana kalau Austin menanyakan soal Papanya? Gimana ka—"Belum juga usai Raline berbicara, layar ponselnya menyala. Terlihat notifikasi dari aplikasi chat berwarna hijau. Sebuah nama --Nenek Austin. Hamid pun langsung memberikan benda pipih itu pada Raline.Raline pun membuka pesan itu.[Galih sudah tidak ada. Ini semua gara-gara kamu. Kalau aja kamu bisa menunda keberangkatan kamu bersama Austin dan suami barumu, mungkin anak saya masih hidup.][
Dion memutuskan menemani Nyonya Amira yang kini harus hidup sebatang kara sejak kematian Galih. Anak semata wayangnya itu pergi dengan membawa sejuta misteri.Dion pun kembali ke rumah Galih. Di sana ia mencoba membujuk Nyonya Amira agar mau tinggal bersamanya. Di rumah barunya yang baru saja dibelinya. Bahkan belum sempat ia tinggali.Dion pun memasuki halaman rumah dan mengetuk pintu rumah Galih berulang kali, tapi tidak juga ada jawaban. Dion tak patah semangat. Ia berusaha memanggil Nyonya Amira hingga berjalan ke arah samping rumah dan memanggil ibu tirinya kembali."Bu, Bu Amira," panggil Dion dengan suara lantang."Bu Amira, Ibu ada di dalam kan?" teriak Dion lagi. Namun, tidak juga ada jawaban.Dion pun kembali ke depan. Pikirnya menunggu saja di teras rumah, mungkin sedang keluar. Namun, baru beberapa menit duduk, seorang wanita paruh baya datang menghampirinya."Mas, nyari Bu Amira ya?" teg
Eliza membuat podcast"Terkadang kita sudah membuat rencana begitu rapi. Tetapi takdir menghancurkan segalanya. Seperti ombak memporak-porandakan istana pasir. Dan dia adalah ombak, karena aku selalu ada didekatnya. Istana pasirku akan hancur. Aku tidak punya pilihan lain lagi, selain menjauh darinya. Begitu selesai aku membantunya, aku akan kembali ke Amerika. Di mana ombaknya tidak dapat mencapaiku. Dan tidak dapat menghancurkan istana mimpiku.""Eliza!"Panggilan Mihran, membuat Eliza yang sedang asyik membuat podcast digawainya pun dibuat kaget. Mihran pun mendekati posisi Eliza yang kini sedang menikmati debur ombak pantai. "Kamu lagi apa?" tanya Mihran. "Nggak apa-apa. Gimana, setnya udah siap?" tanya Eliza mengalihkan pembicaraan. "Udah, Yuk!" ajak Mihran, menarik tangan Eliza menuju lokasi tempat mereka akan syuting. Rumah Mihran dan AmaliyaOma pun datang, berjalan perlahan, memperhatikan
Pada akhirnya, Dion mendatangi apartemen Andre kembali. Putra sulung Amanda ini akhirnya luluh dan mau menjenguk Mamanya yang keadaannya mengkhawatirkan.Dion pun mengetuk pintu apartemen sang adik. Saat terbuka, tanpa berbasa-basi pada adiknya, Dion langsung masuk dan menemui Amanda yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya."Dion, akhirnya kamu mau menjenguk Mama, Nak," sapa Amanda saat melihat Dion berjalan mendekatinya."Ma, Mama gimana keadaannya?" tanya Dion ketika mencium tangan Mamanya dengan takjim."Mama nggak apa-apa, Dion. Melihat kamu datang, Mama udah senang," ujar Amanda memeluk erat putra sulungnya.Andre pun membiarkan Mamanya itu berbicara berdua saja. Ia hanya melihat dari kejauhan bagaimana Mamanya begitu bahagia menyambut kedatangan kakaknya itu. Hatinya sedikit kesal pada Dion yang mau datang ketika ia menawarinya sebuah tawaran yang menggiurkan. Tidak adakah lagi ketulusan
Andre akhirnya berhasil kabur dari rumah Dion yang baru. Ia tidak menyangka, sang kakak menyimpan banyak dendam. Bersama Nyonya Amira. Tidakkah ada rasa iba pada wanita yang telah melahirkannya?Andre pun memutuskan pergi menuju rumah sakit. Penjagaan sang Mama pun harus ia perketat. Dengan sangat terpaksa, Nyonya Amanda yang sedang koma pun terpaksa dipindahkan ke sebuah rumah sakit. Tempat yang ia sembunyikan dari siapapun.Andre pun mematikan semua akses komunikasi. Hanya seorang asisten kepercayaannya yang bisa menghubunginya. Andre percaya, ia bisa diandalkan. Karena rasa trauma, Andre pun meminta beberapa orang suruhannya untuk mengawasi gerak-gerik Luthfi, sang asisten yang kini menetap di sebuah rumah Andre yang lainnya.Dion pun mencoba menghubungi sang adik. Ia tetap berpura-pura baik dan menagih janji sang adik untuk memberikan perusahaan juga beberapa asetnya untuk berganti nama.[Andre, di mana kamu
Hamid terpuruk. Rasa penyesalannya begitu dalam atas kepergian Raline dan Austin. Ditambah tekanan Lexy yang menuduhnya pembawa sial."Ah, mungkin adikku benar," batin Hamid.Hamid benar-benar terpuruk. Bahkan untuk mengurusi jenazah Austin dan Raline tak sanggup. Pak Amran yang mengurus semuanya. Namun, saat berada di rumahnya, ponsel miliknya berdering. Entah siapa. Awalnya Hamid tak merespon. Dibiarkannya ponsel itu berdering berulang kali, tapi karena penasaran, Hamid akhirnya mengangkat panggilan itu.[Hallo, ini siapa?]Dengan menggunakan bahasa Jepang, seseorang di ujung sana akhirnya menjelaskan tujuannya menghubungi Hamid. Hamid pun syok saat mendengar penjelasan itu. Tubuhnya yang tadi lemah, seketika memiliki tenaga kembali. Semangatnya kembali bangkit.[Ok, saya segera ke sana.]Dengan menggunakan bahasa Jepang, Hamid pun mengucap terimakasih. Hamid langsung menutup panggil
Hamid sedikit bernapas lega pada akhirnya Austin dinyatakan sudah membaik dan diijinkan dibawa pulang. Namun, karena kondisi Raline yang belum mengalami perubahan, ia memilih Austin tinggal bersamanya menemani Raline di kamar VVIP."Hamid, apa sebaiknya Austin di rumah papi aja? Kasian kan dia harus di rumah sakit," ujar Pak Amran menawari Hamid agar Austin berada dalam perawatannya."Pi, maksudnya apa sih?" celetuk Marissa ketus. Hamid pun menyadari ketidaksukaan ibu angkatnya itu."Ya nggak apa-apa kan? Bisa untuk teman Mami," ledek Amran tertawa."Nggak usahlah, Pi. Biar Austin sama Hamid di sini. Kasihan dia, takutnya cari Raline," ujar Hamid menengahi.Setelah kedua orang tua Hamid itu pulang, Hamid pun kembali ke kamar Raline dan membujuk Austin yang menangis karena Mamanya yang hanya diam tidak bereaksi ketika diajak bermain.****Hari ini Andre mulai memainkan per
Hamid akhirnya bisa tersenyum bahagia ketika sang dokter menyatakan kesembuhan Raline. Raline kini sudah sadar. Namun, kebahagiaan Hamid hanya sesaat. Seketika wajahnya kembali sendu saat mendengar pernyataan dokter yang lainnya."Maaf, tapi kami juga punya kabar buruk untuk anda," ucap dokter Tanaka."Ada apa, Dok?" sahut Hamid."Istri anda memang sudah dinyatakan sadar dari komanya tapi ada hal lain. Raline mengalami kelumpuhan dan matanya buta," ucap sang dokter dengan berat hati.Hamid yang syok tak bisa berkata apapun. Kakinya seperti tak bisa berpijak lagi. Nyonya Marissa pun membantu putra angkatnya itu duduk di sebuah kursi. Marissa pun mempertanyakan kemungkinan Raline kembali normal."Apa dia bisa kembali normal?" tanya Marissa."Kemungkinan Raline sembuh seperti sediakala sangat tipis," terang dokter Tanaka."Ada apa ini?" celetuk Tuan Amran yang baru saja datang karena men