Share

Im not crazy

Ia hendak berdiri dan melangkahkan kaki 

  Lalu suara pria yang turun dari mobil itu mengejutkannya

  

  " Vaan....ngapain malem gini disini,nunggu Taxi?? " Ujar suara pria yang tiba tiba menggetarkan hatinya, ia menatap asal suara yang perlahan mendekat itu

  

  " Masssss....darimana?? "  jawab Vania kakukarena merasa tidak enak Dendi mendapatinya sedang dalam keadaan kacau begini.

  

  " Loooh Vaniaaa, kenapa kamu berantakan gini, lohhh, apa yang terjadi, kenapa dengan bibirmu Van?"

  

  

  Dendi dengan sigap memeluk Vania erat, ia tak lagi menghiraukan sekitar, hatinya perih mendapati wanita yang telah mengusik hatinya, terlihat berantakan.

  

  Vania menitikan air matanya di pelukan Dendi seolah ingin menumpahkan semua dan melepaskan  beban berat di hatinya.

  

  

  Vania perlahan melepaskan pelukan itu karena ia teringat bahwa ia hampir menjadi wanita kotor yang tak pantas di peluk oleh Dendi.

  

  

  

  " Vaaan, apa yang terjadi, Hmm.? " Dendi membelai rambut Vania dengan lembut

  

  Vania menggelengkan kepalanya seraya mengelap air matanya

  

  " aku gak papa mas, cuma tadi kesasar aja, makanya duduk disini nunggu Taxi " Jawab Vania asal

  

  

  Dendi menatap Vania dalam lalu berkata " Udah malem...yok aku anter kamu pulang, lagian daerah sini jarang taxi lewat di jam segini kali Van "

  

  

  

  

  " Gak usah masss, aku lagi pengen ngirup angin segar malem hari, mas balik aja kesian anak anak nunggu dirumah " Jawab Vania yang menolak halus,

  

  Vania juga tak ingin terlalu dekat dengan Dendi, ia tak mau bergantung pada pria itu walau Vania sempat merasa kehilangan ketika tiba tiba selama beberapa hari Dendi tidak menghubunginya atau mendatanginya sama sekali tapi tidak.!

  

  Ia harus bisa mandiri seperti Vania yang kemarin yang tak bergantung pada siapapun.

  

  " kenapa kamu ga mau pulang kerumah??  karna Issabell ga dirumah ya??"

  

  

  Dendi mencari tau alasan Vania diluar selarut ini 

  

  " iya mas...aku lagi ga pengen pulang malem ini, jadi mas pulang aja kesian baby girl...” Vania membuang pandangannya menatap langit malam yang gelap tanpa bintang satupun,segelap hatinya saat ini.

  

  

  

  " yaudah....kalau kamu ga pengen pulang kerumah...biar aku temenin Van...bahaya malem gini diluaran sendirian, mana kamu cew lagi " Lalu Dendi menuju mobilnya berbicara dengan supirnya,sampai kemudian sang supir sudah turun lalu Dendi mendatangi Vania menggendong Vania ala bridal style lalu mendudukkannya di kursi samping, perlakuan Dendi yang spontan membuat Vania terkejut.

  

  Dendi mengambil alih kemudi mengendarai mobil miliknya meninggalkan sang supir yang tengah berdiri di halte menunggu jemputan, menggantikan posisi Vania duduk di Halte tersebut.

  

  Dendi mengendarai mobilnya menuju sebuah Hotel berbintang 5 yang membuat kening Vania berkerut 

  

  " Mas, kenapa kita kesini?"

  

  Dendi tak menjawab hanya meletakkan jari telunjuknya di bibir Vania yang masih ada bekas darah mengalir.

  

  Sesampainya di lobby Dendi memberikan kunci mobil kepada petugas yang sudah memberi hormat kepadanya lalu menggendong Vania tanpa permisi.

  

  Sontak Vania yang mendapat perlakuan sedemikian rupa, membuatnya terkejut, ia meronta dan meminta Dendi menurunkannya karena tak enak di lihat orang, tapi apa daya, usahanya sia - sia, Dendi tak menghiraukan permintaan Vania, ia hanya berbisik di telinga janda muda yang masih terlihat segar itu.

  

  " Diam saja atau aku panggil wartawan sekarang?? "  Ujarnya seraya tersenyum berjalan menuju ke lift di samping Receptionist

  

  Para Karyawan memberi hormat kepada Dendi, hingga membuat beberapa pengunjung yang tengah berada di area itu menatap heran pada Dendi yang menggendong wanita dengan kaki berdarah.

  

  

  Dendi tak menghiraukan tatapan orang lain terhadapnya, ia dengan cuek memasuki lift yang sudah terbuka untuknya menuju lantai 38 Penthouse miliknya, yang telah sekian lama tak ia kunjungi sejak kepergian sang istri untuk selama - lamanya.

  

  Mark Hotel adalah salah satu hotel milik ayahnya,warisan dari sang kakek yang telah meninggal, dan kini hotel tersebut di jalankan oleh ayah Dendi yang di bantu sang paman.

  

  Sesampainya di Penthouse, ia membuka pintu lalu merebahkan Vania di atas ranjang yang dulu selalu ia tiduri saat bersantai dengan sang istri.

  

  " Jangan bangun Van, kamu tiduran aja, sebentar lagi aku bersihkan lukamu dulu biar tidak infeksi..” Dendi memeriksa luka di kaki Vania, sedangkan Vania merasa tak enak, karena telah tidur di ranjang yang bukan ia inginkan, ia mencoba bangkit, namun Dendi menghalanginya dengan lembut.

  

  “ Sudah, istirahat saja dulu, tak perlu merasa sungkan, rebahkan tubuh dan pikiranmu dengan tenang, percayalah kau akan baik - baik saja disini..." Ujar Dendi lembut ketika ia mengetahui Vania hendak bangun 

  

  

  Bel Kamar berbunyi dan Dendi bangkit, ia berjalan menuju pintu, lalu membukakan pintu tersebut terlihat sang room boy mengantarkan tas miliknya, setelah mengucapkan terimakasih, ia kembali menutup pintu kamar itu dan berjalan dimana Vania terbaring.

  

  Dendi duduk disisi Vania terbaring, tangannya bergegas membuka tas, yang ternyata adalah peralatan medis miliknya.

  

   Dengan telaten ia mulai membersihkan luka di kaki Vania penuh konsentrasi seolah ia tengah menghadapi pasien tanpa mengucapkan sepatah katapun.

  

  Setelah selesai, ia menggeser duduknya dan mulai membersihkan dibagian bibir, tatapannya perih melihat wanita yang telah mengusik hatinya itu terluka, dengan sangat hati - hati ia mengolesi salep ke bibir Vania, tatapan mata mereka beradu, dan sesaat mereka saling pandang, kemudian ia memeriksa Vania menggunakan stetoskop miliknya, lalu ia memasang infus dan menggantungnya di tiang yang memang sudah ia sediakan di kamar tersebut.

  

  " Malam ini, kamu istirahat disini ya Van, kamu sedang dalam keadaan tidak baik - baik saja saat ini, dan aku harus menjaga mu malam ini.." Mendengar kata - kata yang keluar dari bibir pria di hadapannya membuat Vania meneteskan air mata.

  

   Jauh di lubuk sanubarinya terlintas rasa bahagia, ia bingung jika ia bahagia, lantas mengapa air mata ini mengalir? Akankah ini merupakan air mata bahagia karena mendapat perhatian dari pria tampan dan baik hati, atau karena ia putus asa memikirkan darimana ia mendapat uang untuk melunasi seperti yang ia janjikan tadi kepada pria yang hampir menodainya.

  

  

  

  " kenapa kamu menangis..?Apakah ucapanku salah, sehingga melukai perasaanmu? Aku tak bermaksud menyakiti hatimu...” Dendi menatap Vania yang menggeleng kearahnya.

  

  “ Sepertinya, kamu memiliki sebuah kisah yang belum ingin aku ketahui, tak perlu cerita Van, kalo memang kamu belum siap menceritakan masalah yang telah membebanimu, aku tahu kejadian hari ini  sangat berat bagimu, hingga kau tak mampu mnegucapkan sepatah katapun untuk menjelaskan kondisimu tadi, jangan dipaksakan, aku tak ingin kau merasa terbebani, ceritalah ketika kau memang sudsh ingin menceritakannya, ketahuilah kita semua memiliki misteri  hidup masing - masing...." Ujar Dendi seraya membelai rambut Vania dengan penuh kasih sayang, Vania menghela nafas panjang lalu ia mengangguk dan berbisik lirih.

  

  " Makasih mas, sudah ngerti dan ada untuk aku saat ini, aku gak tau gimana jadinya kalo... "

  

  Belum selesai Vania melanjutkan kalimatnya, telunjuk Dendi sudah berada di bibir Vania, pria dihadapannya itu menggeleng perlahanseraya berkata, 

  

  " Husst..jangan ngomong macem - macem, maaf ya, beberapa hari aku gak sempat ngabari kamu, aku ada seminar di luar kota, dan aku lelah banget, jadi gak sempat ngabarin, itu kenapa gitu selesai aku buru buru pulang "

  

  Ujar Dendi seraya menatap Vania dengan lembut, senyum manis mengembang di bibir yang sudah bersih tanpa brewok dipipi.

  

  Vania memalingkan pandangannya karena ia merasa salah tingkah bertatapan dengan mata Dendi hatinya berdebar.

  

  "  Gak papa mas, gak perlu mas Dendi pikirkan hal itu, jadi gak usah merasa bersalah gitu, aku juga gak minta mas ngubungin aku kan? Jadi jangan merasa sungkan begitu mas.. " 

  

  

  Jawab Vania menyadari dirinya tak memiliki hak untuk mengontrol Dendi kemanapun ia pergi.

  

  " Hmm, kamu mau tidur Van? kalau ngantuk tidur saja, oh ya kamu udh makan?aku melihat pipimu semakin tirus sejak beberapa hari aku tinggal " Tanya Dendi seraya membelai pipi Vania.

  

  

  Ada nyeri di hatinya ketika menyaksikan keadaan Vania yang kacau seperti ini, ingin rasanya ia mengetahui apa yang membebani wanita itu sehingga terlihat sangat terpuruk sekali, tapi ia teringat akan nasehat sahabat sekaligus orang kepercayaannya, jika ingin mendapatkan hati Vania jangan terlalu terburu buru dalam bertindak.

  

  " Aku belum ngantuk mas, aku juga gak laper, mas kalo ngantuk tidur saja, bukankah mas dari luar kota, pasti capek kan? abaikan saja aku mas, anggep aku tidak berada disini saat ini..." Jawab vania sambil melihat sekeliling untuk mencari tempat tidur lagi dan ternyata hanya ada satu tempat tidur, baru ia teringat bahwa saat ini tengah berada di hotel.

  

  " Aku juga belum ngantuk Van, tadi di pesawat aku tidur sepanjang perjalanan, jadi yaah ! sekarang gak ngantuk dehh.. " Dendi beranjak berdiri dan berpindah posisi di Ranjang merebahkan badannya di samping Vania Seraya berkata

  

  " Van....kalau kau berkenan, dan tidak merepotkanmu, sebaiknya berbagilah beban denganku, jangan pikul beban itu sendirian, kita saling bahu - membahu bersama dan saling menguatkan, aku rasa itu baik untuk kita berdua.."

  

  

  

  

  " Maksud mas?? " tanya Vania menoleh kearah Dendi yang saat ini berada disisinya.

  

  " Aku tahu, saat ini kamu tengah menghadapi masalah berat, mungkin masalah besar, kalau kau sudi jangan simpan masalahmu sendirian Van, ceritalah denganku, siapa tau aku bisa membantu, terkadang dengan bercerita setidaknya membantu meringankan bebanmu, jangan pendam sendirian Van..,  " jawab Dendi seraya memiringkan badannya, tangannya menopang kepalanya dan satu tangan lagi membelai rambut Vania dengan lembut.

  

  " Mas..kalau gak salah, mas  Dendi dokter bukan? Dokter bedah...” Tanya Vania tiba - tiba, karena teringat sesuatu hingga membuatnya sedikit bersemangat, ia tersenyum dengan ide sesaatnya sembari menatap langit - langit kamar.

  

  

  " Hmm, seperti yangkamu tau van..” Jawab Dendi masih dengan tatapan yang tak beralih dari janda satu anak itu.

  

  “ Kenapa? kamu sakit? Sakit apa kamu sampai butuh operasi? Kalau memang kamu yang sakit, aku akan memberikan solusi kesehatan terbaik untukmu..” Ucap Dendi penuh Selidik.

  

  " Ehmm.. enggak, aku gak sakit mas.. " jawab Vania menggeleng.

  

  " Trus? Kenapa dengan profesiku Van? Atau siapa yang membutuhkanku sebagai seorang ahli bedah? "

  

  " E-ehm, gak mas, benernya aku mau minta tolong aja sih mas.." tanya Vania dengan 

  

  " Iya, kamu minta tolong apa sayang..... aku pasti usahain buat kamu semampuku "

  

  Balas Dendi meyakinkan Vania yang tengah di rundung keraguan.

  

  " Serius kamu mas? “ Tanya Vania dengan mata berbinar, hingga membuat Dendi mengangguk sembari tersenyum. “ Hmm..”

  

  Mas, mau gak mas operasikan ginjalku 1 trus mas jual, di rumah sakit tempat mas praktek? Pasti banyak kan yang ngebutuhin ginjal, pasti ada yang cocok dengan ginjalku...” Vania tersenyum getir, ia menitikkan air mata putus asa, otaknya buntu, bagaimana jika sampai esok ia tak juga mampu mendapat uang untuk melunasi hutangnya kepada mafia itu.

  

  " Jangan becanda kamu Van, lagian candamu garing tau, dasar nakal nih..” Dendi mencubit hidung Vania gemas.

  

  “ Aku serius mas..” Ucap Vania dengan suara serak, hingga membuat Dendi membelalakkan matanya.

  

  “ Kamu pikir di perbolehkan jual beli ginjal sembarangan??Jangan ngeledek profesiku sayang, aku cari menopang hidup dari sana, kualat tar " jawab Dendi yang tidak mengerti arah pembicaraan Vania yang menurutnya semakin ngawur.

  

  " Maaass.. aku gak becanda.! Emang ada tampangku Becanda mas? aku serius, dengan segenap jiwa dan ragaku mas..” jawab Vania bingung meski bagaimana menerangkan kepada pria disisinya yang kini tengah menatapnya, ia tak tahu harus menjelaskan dari mana seandainya Dendi menanyakan penyebab kegilaannya.

  

  "  Ada apa denganmu Van? sampai ginjal segala mau di gadaikan, semua baik - baik saja bukan? Issabell baik - baik aja kan van?" Tanya Dendi semakin penasaran dan tak mengerti bagaimana pemikiran Vania.

  

  Bukan jawaban yang memuaskan yang di peroleh Dendi, justru tangis wanita itu yang semakin terdengar menyayat hati, tangis pilu putus asa, tanpa perintah Dendi mendekap erat Vania, agar merasa nyaman dan berkenan untuk bercerita kepadanya.

  

  " Setelah 24 jam gak ada yang baik - baik saja mas, kalau mas gak jual ginjalku segera..” Vania maskh berfikir lebih cepat laku jual ginjal, dibanding mencari orang yang berminat melakukan over kredit rumah tempat tinggalnya, karena hal ini bukan sekali dua kali ia lakukan, toh nyatanya tak ada satupun yang berminat, tak tahu dimana letak kendalanya, tapi itulah kenyataan, bahwa sulit baginya untuk menjual rumah yang saat ini masih dalam masa kredit.

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status