Share

Bab 2

"Nay, kita daftar dulu yuk, nanti takutnya ngantri lama," ajak Siska sambil menarik lenganku.

"Eh, iya. Maaf ya bude, saya mau masuk ke dalam dulu," kataku pada Bude Darmi.

"Oh, iya. Ya sudah, Bude juga mau buru-buru nih," jawab Bude Darmi dan berlalu pergi bersama seorang wanita muda yang katanya keponakan Bude Darmi itu.

Aku sedikit lega, Siska mengajakku ke dalam sehingga aku tak perlu menjawab pertanyaan Bude Darmi yang justru membuatku bingung. Meskipun begitu, aku penasaran, sebenarnya ada acara apa di rumah Ibu? Kenapa aku tak di beri tahu?

Selama ini, jika ada acara apapun Ibu selalu memberi tahuku. Kadang, hanya sekedar acara pengajian ibu-ibu saja, Ibu ngasih tau. Kenapa ini tidak?

"Lo kenapa, Nay? Pasti kepikiran sama pertanyaan ibu-ibu tadi ya?" tanya Siska.

"Iya, Sis. Gue bingung, ada acara apa ya di rumah mertua gue? Gak biasa-biasanya mereka gak ngasih tau gue," jawabku.

"Nah itu, kayaknya Lo harus cari tau deh. Atau Lo telpon aja si Kenzie."

"Nanti aja deh, Sis. Mas Kenzie pasti sekarang lagi di jalan, gak bagus teleponan sambil nyetir mobil."

"Ya udah Lo yang sabar aja."

"Iya, Sis. Oh ya, Sis, apa urut di sini benar-benar manjur ya?"

"Di coba aja dulu, Nay. Lo liat tuh, ada beberapa mbak-mbak yang perutnya udah gede. Berarti mereka udah hamil kan?" kata Siska sambil menunjuk beberapa wanita yang sedang duduk mengantri seperti kami.

Saat ini, aku dan Siska sedang duduk menunggu antrian. Kami dapat nomor antrian 15, luar biasa juga tukang urut ini, bisa memiliki begitu banyak pasien. Rumah ini menurutku justru seperti klinik dokter, karena memiliki tempat pendaftaran dan juga disediakan kursi tunggu untuk duduk sambil menunggu panggilan. Aku jadi merasa tak ragu lagi datang kemari. Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya giliranku tiba dipanggil. Aku masuk ke dalam sebuah ruangan ditemani Siska, yang memang khusus untuk memijat.

Seorang wanita paruh baya yang baru kutahu bernama Emak Asih itu menyambut kedatangan kami dengan ramah. Aku pun mengutarakan niatku datang kemari pada Emak Asih.

"Jadi, nak Naya sudah 7 tahun menikah dan belum dikaruniai keturunan?" tanya Emak Asih tersenyum.

"Iya, Mak. Sudah berbagai macam cara pengobatan, sudah saya lakukan untuk dapat momongan, tapi belum juga membuahkan hasil," jawabku.

"Kalau begitu, Nak Naya sudah tepat datang kemari. Saya jamin, Nak Naya pasti bisa hamil nanti, kalau sudah di urut sama saya. Nak Naya tadi lihat kan, banyak pasien saya yang sudah mengandung. Mereka selalu rutin setiap bulan datang kesini, dan akhirnya mereka bisa hamil," ujar Emak Asih meyakinkan.

Mendengar kata-kata dari Emak Asih, entah mengapa hatiku berdebar-debar. Aku langsung membayangkan, betapa bahagianya aku dan Mas Kenzie jika seandainya aku bisa benar-benar hamil nantinya.

"Apa semua pasien Emak yang urut disini langsung bisa hamil, Mak?" tanya Siska seolah ingin tahu.

"Benar, semua wanita yang datang kemari rata-rata sudah bertahun-tahun menanti keturunan. Setelah datang kemari dan diurut sama saya, dua bulan kemudian mereka langsung hamil," jawab Emak Asih.

"Wah ... hebat banget, Mak," ujar Siska kagum.

Sebenarnya aku masih ragu, apa benar dua bulan setelah urut dari sini bisa langsung hamil? Aku merasa Emak Asih terlalu percaya diri dengan kemampuannya. Seolah mendahului yang Maha Kuasa.

"Kalau kalian tidak percaya, kalian bisa tanya sama pasien-pasien saya yang kini sedang hamil," ujar Emak Asih, seolah bisa membaca pikiranku yang meragukan kemampuannya.

"Iya, Mak. Kami percaya kok," kataku berusaha tersenyum.

Dan akhirnya, Emak Asih pun memulai ritual meminjat perutku. Sebelum mulai memijat, Emak Asih membaca doa, entah doa apa, karena tak terdengar suaranya olehku. Mulut Emak Asih hanya berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Justru menurutku, ia seperti seolah membaca mantra.

Setelah selesai membaca doa, Emak Asih mengelus perutku pelan lalu meniup perutku menggunakan mulutnya sambil terus memijat. Rasanya biasa saja, seperti orang memijat biasa pada umumnya.

"Perut Nak Naya bagus, saya yakin Nak Naya bisa cepat hamil nantinya," ujar Emak Asih setelah selesai memijat perutku.

"Benarkah, Mak?" tanyaku yang agak bingung.

"Benar, bulan depan Nak Naya bisa lihat hasilnya. Apa datang bulan Nak Naya selama ini lancar?"

"Alhamdulillah lancar, Mak," jawabku.

"Wah, bagus itu. Seandainya bulan depan Nak Naya tidak datang bulan, berarti sudah dipastikan bahwa Nak Naya hamil. Nanti Nak Naya datang lagi kemari. Disini, meskipun pasien saya sudah hamil, mereka tetap datang untuk urut, saya harus membenarkan rahim pasien saya, supaya lahirannya lancar," jelas Emak Asih.

"Apa benar, saya akan hamil, Mak?" Tanyaku dengan mata berbinar. Aku benar-benar tak percaya, bahwa aku akan mengandung seorang bayi di rahimku. Bayi yang memang sudah bertahun-tahun lamanya aku nantikan.

"Benar, saya bisa pastikan. Tapi, ada syaratnya," kata Emak Asih.

"Syarat? Apa itu, Mak?"

"Setelah kamu hamil nanti, kamu tidak boleh USG ataupun periksa ke bidan dan juga dokter kandungannya. Kamu cukup datang kemari setiap bulannya, karena saya yang akan memastikan kesehatan bayi yang ada dalam kandungan kamu nantinya," jelas Emak Asih.

Aku dan Siska saling berpandangan, karena mungkin Siska sama herannya denganku. Syarat yang diajukan oleh Emak Asih terdengar cukup aneh di telingaku. Bagaimana mungkin seorang ibu hamil tak boleh memeriksakan kandungannya ke bidan ataupun dokter? Apa lagi tak boleh USG?

"Memang kenapa, Mak? Kok saya gak boleh periksa ke dokter? Bukankah USG cara yang bagus buat lihat kondisi rahim dan bayi saya?" tanyaku heran.

"Itu sudah menjadi syaratnya. Jadi, terserah Nak Naya, mau mengikuti syarat yang saya ajukan atau tidak. Jika Nak Naya ingin hamil, Nak Naya harus ikuti apa yang saya katakan," ujar Emak Asih tersenyum.

"Baiklah, Mak. Saya akan ikuti syaratnya," kataku pasrah.

Bagi seorang wanita yang sudah menanti keturunan selama bertahun-tahun sepertiku, apapun akan aku lakukan untuk mendapatkan keturunan. Meskipun harus mengikuti syarat aneh yang diajukan oleh Emak Asih itu. Lagi pula, syarat yang diajukan Emak Asih juga termasuk mudah bukan?

Setelah berpamitan dengan Emak Asih dan membayar administrasi, aku dan Siska bergegas keluar dari rumah Emak Asih.

"Aneh banget ya, Nay. Masa' orang hamil gak boleh USG?" tanya Siska saat kami sudah berada dalam mobil.

"Udah lah, kita lihat aja nanti bulan depan gue hamil apa gak. Kalau emang gue hamil, berarti kita gak boleh ngeraguin kemampuan Emak Asih."

"Iya juga sih. Oh ya, kita mau langsung pulang atau kemana?"

"Ya gak dong, kita jalan-jalan dulu lah kayak biasanya. Menikmati hidup," jawabku sambil mengedipkan sebelah mata pada Siska. Kami pun tertawa bersama.

Beginilah hidupku, selama aku menikah dengan Mas Kenzie, aku selalu dibebaskan untuk melakukan hal-hal yang aku inginkan. Seperti belanja, liburan, dan juga hang out bersama teman-temanku. Mas Kenzie tak pernah sekalipun melarang keinginanku bersenang-senang.

Mas Kenzie bilang, ia lebih suka melihatku tersenyum bahagia daripada melihatku selalu terpuruk karena belum juga hamil hingga saat ini. Aku menghabiskan waktu bukan hanya dengan teman-temanku saja, terkadang, aku juga menikmati liburan berdua dengan Mas Kenzie.

Hampir semua tempat wisata di kotaku sudah pernah aku kunjungi. Karena aku sangat suka berfoto-foto dan mengaploudnya di media sosial milikku. Aku juga selalu memamerkan kemesraan dan kebahagiaanku bersama Mas Kenzie di media sosial. Semua itu aku lakukan untuk menutup mulut orang-orang yang suka nyinyir dengan kebahagiaanku. Jujur saja, hatiku sakit ketika selalu di tanya tentang keturunan.

Aku hanya ingin orang-orang tahu, meskipun aku belum memiliki keturunan, tapi hidupku sangat bahagia dan berwarna. Apa lagi, aku memiliki suami seperti Mas Kenzie yang begitu mencintai dan menyayangiku. Itu adalah suatu kebanggaan untukku.

_______

Setelah lelah seharian menghabiskan waktu bersama Siska, kini akhirnya aku tiba di rumah. Aku pulang menjelang magrib, mobil sewaan yang biasa Mas Kenzie gunakan untuk belanja belum terlihat. Itu artinya, Mas Kenzie belum pulang.

Karena sibuk bersenang-senang dengan Siska, aku sampai lupa menanyakan acara syukuran di rumah Ibu mertua pada Mas Kenzie. Karena penasaran, aku segera mengambil ponselku dan menelpon Mas Kenzie. Jika menunggu Mas Kenzie pulang, itu terlalu lama bukan? Sedangkan rasa penasaran ini tak bisa lagi ditunda.

["Ada apa, Sayang?"] tanya Mas Kenzie setelah mengucap salam dari sebrang telepon.

"Kamu dimana, Mas?"

["Aku masih nunggu nih, barang-barangnya baru di muat,"] jawab Mas Kenzie.

"Oh ya, Mas, tadi pas aku urut sama Siska aku ketemu sama Bude Darmi, kata Bude Darmi ada acara syukuran di rumah Ibu. Kok aku gak dikasih tahu, Mas?"

["Oh itu, maaf Sayang aku lupa. Kemarin Ibu sama Bapak pesan nyuruh kasih tau kamu, tapi aku malah lupa. Sebenarnya, ada keponakan Ibu baru pulang dari Kalimantan, kebetulan dia baru melahirkan. Karena Ibu satu-satunya saudara di kota ini, makanya bikin acara syukuran di rumah Ibu,"] jawab Mas Kenzie.

"Kok kamu bisa lupa sih, Mas. Aku kan jadi gak enak sama Ibu," jawabku sedikit kesal.

["Mas Kenzie dipanggil—"] suara seorang wanita memanggil nama Mas Kenzie.

Tut!

Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak. Suara yang memanggil Mas Kenzie terdengar asing di telingaku. Aku berusaha menghubungi nomor Mas Kenzie kembali, ternyata nomornya sudah tidak aktif. Dalam hati aku bertanya, suara siapa tadi?

******

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Putri Leo
Datangin dong rumh mertua,itu pasti istri Kenzie
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status