Share

Bab 3 | Kata-kata Menyakitkan

Gundukan tanah dengan patok bertuliskan nama, tanggal lahir dan kematian menjadi saksi terakhir. Kini, Humaira sudah menyatu dengan tanah, tempat di mana semuanya akan kembali, kelak.

Kesedihan kembali terlihat. Mama Nadia kembali histeris setelah Humaira dimasukkan ke liang lahat. Wanita paruh baya itu tak sanggup kehilangan anak pertamanya. Kesakitan sebagai seorang ibu yang ditinggalkan lebih dulu, jelas terlihat.

"Papa pulang dulu, Nak. Jangan terlalu lama di sini!" ujar Papa Bagas sambil menepuk bahu menantunya. Ia dan Zahra berusaha waras di tengah kesedihan yang melanda. Malang bagi Zahra, anaknya itu tak bisa melihat pemakaman saudara kembarnya karena menjaga Nazira. 

"Di rumah, Nazira masih membutuhkan kamu."

"Iya, Pa. Gibran hanya perlu waktu sedikit lagi dengan Humaira."

Gibran tetap berdiri. Ia sadar satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Selama hidup, Gibran tak pernah memiliki bayangan akan berdiri di sini lebih cepat. Yang menyakitinya, Humairanya yang berbaring terlebih dahulu untuk selamanya.

"Huma," gumam Gibran sambil menyentuh batu nisan Humaira. Sakit, Gibran merasakan hatinya perih melihat nama Humaira terukir di batu nisan. "Kenapa kamu meninggalkan Mas, Sayang. Apa yang akan Mas lakukan selepas kamu pergi? Bagaimana dengan anak kita? Apa Mas bisa merawat dia sendiri?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut Gibran. Lelaki itu menumpahkan rasa frustasi karena kehilangan separuh jiwanya. Sesak kian menjalari relung jiwa. Kehilangan memang hal paling menyakitkan bagi semuanya. Bahkan, Ghibran sampai melupakan bahwa dirinya sudah memiliki Zahra untuk mendampingi dan merawat Nazira.

Humaira sudah memikirkan bagaimana ke depannya. Maka dari itu, Humaira tetap kekeh mempertahankan pendapat untuk menikahkan Zahra dan Gibran di detik-detik terakhir hidupnya.

"Mas pamit, Sayang. Nazira membutuhkan Mas saat ini." 

Gibran memejamkan mata. Ia kembali memanjatkan doa untuk sang istri. Di tengah kesendirian ini, Gibran begitu khusyuk berdoa. Ia memohon yang terbaik untuk istri tercintanya.

"Mas pergi, Sayang. Mas akan kembali menjenguk kamu. Assalamualaikum."

***

Satu hari telah berlalu begitu cepat. Di hari ini, situasi rumah mulai bisa dikatakan kondusif. Mama Nadia dan Gibran mulai bisa diajak berbincang. Meski terkadang masih acap kali melamun, Mama Nadia jauh terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Sementara Gibran, lelaki itu berubah menjadi sangat pendiam dan arogan saat berbicara dengan Nadia. Hal itu tentu saja hanya diketahui oleh Zahra, tanpa orang lain tahu. 

Selain itu, tanpa orang tahu Zahra acap kali menangis. Dia ditinggalkan saudara kembar yang berbagi rahim selama sembilan bulan. Rasa kehilangan itu terasa begitu dalam. Dia juga beberapa kali bertanya mengapa Tuhan mengambil sang kakak begitu cepat. Hanya saja, saat sadar ia mengucap istighfar. Semua yang terjadi sudah menjadi garis-Nya. 

Zahra memaksakan diri untuk tersenyum di depan orang. Ia tak mungkin terus larut dalam kesedihan karena masih ada Nazira yang membutuhkan dirinya.

Berbeda dengan Mama Nadia dan Gibran, Zahra semakin sibuk untuk mempersiapkan menu jamuan untuk acara tahlil di hari kedua. Dia menjadi pemegang tanggung jawab atas acara ini karena fokus Gibran belum sepenuhnya kembali. Selain itu, Gibran tak akan tahu apa saja yang dibutuhkan untuk acara kirim doa.

Seperti saat ini, Zahra sudah berada di dapur saat pagi hari. Dia sendiri yang memastikan semuanya berjalan dengan baik. Jangan sampai ada hal yang kurang selama acara pengajian nanti malam.

"Mbak Zahra, semua bahan masakan sudah siap, Mbak. Ini mau diolah apa?" tanya Bi Jum, asisten rumah tangga yang setia membantu sejak kemarin.

Zahra terdiam. Dia ikut bingung harus menghidangkan menu apa untuk hari kedua ini. Ia tak ingin mengecewakan orang yang sudah datang mendoakan Humaira. Dia harus pandai-pandai mengatur menu agar orang yang datang tidak bosan.

Ya, Zahra tahu orang-orang tidak akan ada yang protes dengan menu yang dihidangkan. Hanya saja, Zahra ingin memberikan yang terbaik. Anggap saja sebagai ucapakan terima kasih atas lantunan doa-doa yang mengucur deras pada Almh. Humaira.

"Masak menu …."

Wanita itu akhirnya mengucapkan menu yang terlintas di kepalanya. Ia masih mengingat saat Humaira mengatakan menu ini adalah menu kesukaan Gibran, opor ayam dan tumis kentang ati ampela. Tidak sulit untuk membuat kedua menu itu.

"Siap Mbak Zahra. Bibi akan bantu masak," ucap Bi Jum dengan sangat semangat. Wanita paruh baya itu yang turut menenangkan Zahra saat menangis diam-diam.

"Zahra, Nazira nangis," ujar Tanten Tika yang datang dengan Nazira yang menangis.

Secepat kilat, Zahra mencuci tangannya. Setelah memastikan kedua tangannya bersih, ia langsung mengambil alih Nazira. Ajaibnya, bayi mungil itu langsung tenang dan terlihat nyaman dalam dekapan Zahra. Mungkin, bayi mungil itu mengenali Zahra sebagai ibunya.

"Dia sudah mengenalmu sebagai ibunya, Zahra," celetuk Tante Tika dengan suara sendu. Dia turut sedih karena menantu keponakannya telah berpulang setelah melawan penyakit kanker yang diderita. 

Namun, pernyataan itu langsung ditentang oleh suara berat dari arah belakang. Orangyang tak lain Gibran, terdengar tidak suka dengan perkataan sang Tante.

"Dia bukan ibunya," bantah Ghibran dengan tegas. Ia langsung mengambil alih Nazira dari Zahra dan menatap wanita yang sudah menjadi istrinya dengan lekat.

"Gibran." Tante Tika terkejut dengan kehadiran Gibran. "Sejak kap—"

"Tante, Ibunya Nazira hanya Humaira!" Gibran mengatakan hal itu dengan sangat tegas. "Seharusnya Tante tidak berkata seperti itu." 

Tante Tika mengangguk, dia setuju dengan perkataan Gibran. "Tante minta maaf kalau menyinggung kamu. Tapi yang Tante katakan juga benar." Tante Tika menghela nafa spanjang. "Ya … memang benar kalau Humaira adalah ibu kandung Nazira. Namun, sekarang Zahra sudah sah sebagai istri kamu. Itu artinya, dia juga ibu dari Naz—"

"Hanya Humaira ibu dari Nazira!" bantah Gibran dengan sangat tegas. "Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Humaira sebagai Ibu untuk Nazira."

Rasa kehilangan yang dirasakan Gibran sangat dimengerti oleh semua orang. Hanya saja, perkataan Gibran baru saja membuat Tante Tika terdiam memaku. Dia tak mengira kata-kata kasar itu keluar dari mulut Gibran. Itu sama artinya dengan sang keponakan tidak menghargai Zahra.

"Gibran kam—"

"Tante," —Zahra bukan bermaksud menyela. Dia hanya mencegah sesuatu yang tak diinginkan—, "saya sama Ma–mas Gibran permisi dulu. Kasihan Nazira, kelihatannya sudah mengantuk." Zahra mengulas senyum manis, beruaaha meredam gejolak emosi di antara Gibran dan juga Nazira. 

Tante Tika yang melihat Nazira tidak nyaman langsung mengembuskan nafas. Ya, sepertinya memang Nazira membutuhkan tempat yang lebih nyaman lagi.

"Baiklah kalau begitu." Perhatian Tante Tika berpindah pada Zahra. "Kamu juga perlu istirahat, Ra. Kamu sudah bekerja sangat keras, memastikan semuanya terpnehui selama dua hari ini. Bahkan kamu juga terjun langsung untuk memasak. Tante salut dan berterima kasih. Namun, lebih baik kamu mengatakan momen ini untuk istirahat," jelas Tika tak mampu mendorong rasa empati Gibran.

Zahra yang mendapat perhatian langsung mengulas senyum menenangkan. "Zahra baik-baik saja, Bu. Zahra jauh lebih tak tega jika Ibu yang bekerja dan dapur atau mengontrol semuanya. Lagi pula, ada banyak yang membantu hingga pekerjaan cepat selesai."

"Iya, Tante."

Jika kebanyakan pengantin baru menikmati masa-masa berdua, berbeda dengan dirinya. Zahra justru tak bisa hanya sekadar mengobrol berdua dengan Gibran. Ia tak memiliki waktu untuk mengenal lebih jauh tentang kakak ipar, yang kini sudah menjadi suaminya.

"Aku tidurkan Nazira sebentar, Mas," ujar Zahra sambil mengambil alih Nazira yang sudah terlelap.

Suasana berkabung jelas masih terasa begitu kental. Di saat semua orang bisa menangis, Zahra harus menahan semua perasaan. Zahra harus bersikap bijaksana untuk mengambil alih tugas Mama Nadia. Beruntung, Zahra tak abai dengan Nazira. Gadis mungilnya itu selalu mendapatkan tempat tersendiri.

'Ya Allah, bukakan jalan untuk mengetuk hati Mas Gibran,' ujar Zahra dalam hati sambil menatap Nazira yang terlepas di atas tempat tidur. 'Mbak Huma, tolong bantu aku. Aku minta izin untuk mulai mendekati suami kamu, Mbak,' lanjut Zahra dengan mata terpejam. Amu bagaimana pun, Gibran adalah istri dari kakak kembarnya. Zahra baru merasa tenang saat sudah meminta izin.

Selain situasi yang belum memungkinkan, ada pr besar bagi Zahra. Gibran, lelaki itu terlihat membentangkan jarak yang jauh dengan dirinya. Diam-diam, Zahra bingung harus mulai dari mana untuk melakukan pendekatan dengan Gibran.

Ibaratnya, saat dia baru berniat untuk mendekatkan diri, Gibran susah mengambil lima langkah untuk mundur. Sangat sulit untuk mendekati kakak iparnya guna mengenal lebih jauh, meski Almh. Humaira menceritakan sedikit-sedikit tentang Gibran.

"Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu di depan keluarga, Mas, termasuk Tante Tika," ujar Zahra dengan pelan. Dia berusaha agar menyentil ego Gibran di saat emosinya masih labil. "Mau bagaimana pun, Tante Tika lebih tua dari kamu."

"Kamu mulai berani mengatur saya?" Gibran melontarkan pertanyaan itu dengan nada teramat sinis. "Oh … kamu sudah merasa menjadi nyonya di rumah ini?" tuding Gibran sambil lagi-lagi tersenyum miring.

Ya, seperti inilah Gibran sekarang. Lelaki itu terdengar sangat arogan dan menyebalkan. Apa pun yang dikatakan Zahra, seolah salah di mata Gibran.

"Maksud aku bukan begitu, Ma–s," ujar Zahra dengan tergagap. Ia tak mau Gibran salah tangkap maksud perkataannya. "Aku hanya tidak ingin Nazira terbangun saat mendengar suara-suara ker–"

"Saya ayah Nazira!!"

"Y–ya?" tany Zahra yang tak paham dengan jawaban Gibran. 

"Saya ayah, Nazira. Saya tahu apa yang baik dan buruk untuk anak saya!" jawab Gibran dengan langkah. Kembali dia menyakiti hati Zahra. "Dan kamu," —Gibran menunjuk Zahra—, "kamu tidak berhak mengatur saya."

"Aku tidak bermaksud seperti it—"

"Kamu harus sadar posisi, Zahra. Ingat apa yang  saya katakan. Kamu, tidak akan pernah bisa menggantikan Humaira sampai kapanpun!"

Zahra terpaku. Lagi-lagi kata kejam itu menusuk relung hatinya. Tidak perlu Gibran mengatakan hal itu berulang kali. Zahra masih tahu batasannya. Tidak ada niatan sedikitpun untuk menggantikan posisi Humaira. Hmm, dia hanya membantu melindungi nama baik keluarga.

"Mas, aku mau buat susu untuk Nazira dulu. Mungkin saja dia haus," ucap Zahra menghiraukan perkataan Gibran. Dia lebih baik memilih menyibukkan diri. Dia tak mau terpengaruh karena  tak bisa mendengar jika terus mendengar kata-kata jahat itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status