BUNYI ponsel yang memekakkan telinga tak sanggup membuat Risa berniat mengangkatnya. Dia hanya menatap ponsel itu dengan wajah datar, tatapan matanya dipenuhi luka dan juga amarah. Dia hanya mendiamkan panggilan itu sampai sosok di seberang sana berhenti melakukannya, karena dia merasa lelah.
Risa menatap pemandangan tubuhnya di depan wastafel kamar mandi. Jejak-jejak yang ditinggalkan Alva di sana terlalu banyak dan membuat kulitnya tampak mengerikan. Dia menyentuh satu per satu jejak itu, lalu menghela napasnya kasar.
Untungnya ibu kosnya sedang tidak ada di tempat. Teman-teman se-kosan-nya yang tinggal di sana pun berkata akan bermalam di rumah kekasih masing-masing, karena mumpung ada kesempatan.
Risa sebenarnya juga ingin melakukan hal serupa. Setelah pulang bekerja kemarin, dia langsung sedikit berkemas,
RISA hanya bisa diam dan melihat, sejak Alva masuk ke kamar kos-kosannya dan mulai berlaku seenak jidatnya. Mulai dari membuka kulkas dan memasukkan semua buah yang Alva bawa saat datang ke sana. Lalu, membuka lemari pakaian yang berisi pakaian dan beberapa alat masak yang Risa sembunyikan untuk mengecek apa saja yang ada di dalam. Dan yang terakhir, pria itu dengan santainya merebahkan tubuhnya tanpa beban di ranjang single milik Risa.Risa sempat takut saat mengetahui Alva-lah yang mengetuk pintu kamarnya beberapa saat lalu. Terlebih saat pria itu memaksa untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia sempat berpikir, Alva ingin mereka melakukannya lagi di sini. Namun, dugaannya sirna begitu Alva hanya melihat-lihat saja lalu rebahan di ranjang singlenya sambil tertawa pelan."Tempat lo kecil, tapi nyaman. Gue boleh nggak ikutan tinggal di sini sama lo?" tanya Alva sambil melirik Risa yang masih mematung di tempat semula.Risa menarik napas panjang, kemudian menjelaskan,
RISA mulai tidak tahan melihat Alva berada di kamar kos-kosannya. Dia yang semula duduk di atas karpet kini menoleh ke arah Alva yang sedang rebahan di atas ranjang singlenya tanpa beban."Jadi, kapan lo mau pulang dari sini? Gue nggak apa-apa, tugas lo di sini udah selesai juga. Lo tinggal lapor sama sepupu lo, kalau gue baik-baik aja. Gue juga udah balas pesan dia, jadi dia nggak perlu terlalu khawatir lagi soal gue, kan?"Risa memulai pembicaraan setelah mereka terdiam sangat lama. Risa sejak tadi memilih membaca novel yang dibelinya minggu lalu daripada bicara dengan Alva. Sedangkan Alva lebih memilih tiduran dengan mata terpejam, walaupun begitu, Risa tahu Alva tidak sedang tidur sekarang."Kenapa? Lo nggak suka gue ada di sini?" Alva membuka mata dan mengerling ke arah perempuan yang tak memalingkan tatapan dari novel di tangannya."Nggak," jawab Risa pendek."Wh
ALVA merasa sedikit terkejut saat melihat Ralf tiba-tiba saja datang menghampirinya. Mereka memang cukup berteman baik selama ini. Alva, Alan, dan Ralf. Mereka bertiga bisa dibilang sebagai teman sejati.Alan dan Alva yang masih bersaudara, tapi sering bertengkar karena masalah sepele dan Ralf yang akan berada di tengah-tengah untuk melerai pertengkaran di antara mereka. Sosok Ralf cukup berjasa, karena hadirnya pria itu juga membuat tali erat hubungannya dengan Alan tidak putus di tengah jalan."Risa gimana keadaannya?" tanya Ralf begitu Alva keluar dari mobil dan berdiri di hadapannya.Alva berdecak. "Begini sambutan lo pagi-pagi waktu ngelihat sahabat lo sendiri?"Ralf mendengkus. "Nggak usah lebay. Lo sehat wal afiat gini, apa masih perlu gue tanyain soal gimana kesehatan lo, ha?"Alva mengembuskan napasnya panjang. "Risa baik-baik aja, harusnya dia bisa masuk sekarang
LANGIT di luar sana mulai menggelap. Beberapa orang telah memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Bahkan Ralf tadi sudah menawarinya sebuah tumpangan untuk pulang. Namun, Risa tidak berniat untuk kembali sebelum pekerjaannya selesai.Alva masih menunggu perempuan itu bergerak dari posisinya. Namun, Risa masih terus melanjutkan pekerjaannya, walaupun dia sadar dirinya sedang diperhatikan dan hari sudah tak lagi terang.Alva mendesah kasar. Dia bangkit dari kursinya setelah menenteng tas kerja, dan mendekati Risa. "Belum mau pulang juga?" tanyanya sembari menarik kursi lain dan duduk di atasnya.Ditatapnya Risa yang kini berhenti sejenak untuk menatap matanya. "Kenapa? Lo mau nganterin gue pulang?"Alva mendekatkan wajahnya. "Tentu. Dari tadi juga gue emang sengaja nungguin lo selesai sama kerjaan lo itu."Risa membuang muka dan kembali menekuri pekerjaannya. "Pulang aja dulu kalau gitu, gue masih lama.""Mau sampai jam berapa lo di s
"LO mau makan apa?"Pertanyaan itu tak ia tanggapi. Risa lebih memilih diam dan memandangi langit malam yang begitu gelap. Perutnya terasa mual setiap kali mengingat apa yang telah ia lakukan beberapa saat lalu.Walaupun Alva mengajaknya bicara dan sempat mengalihkan perhatiannya untuk sejenak, tapi bayang-bayang kala ia mengulum milik pria itu dan menelan cairannya membuat Risa tak kuasa menahan gejolak yang berasal dari dalam perutnya.Risa memegangi mulut dengan siku bertumpu pada kaca mobil yang terbuka. Tubuhnya bersender ke pintu, siap membuka paksa pintu itu seumpama dia ingin mengeluarkan semua cairan asam itu dari perutnya.Alva terdiam di sampingnya. Matanya sesekali melirik, mencoba menerka apa yang dialami Risa karena tak kunjung menjawab pertanyaannya. Namun, pada akhirnya dia tak mendapatkan jawaban apa pun.Alva mendesah panjang. Tangannya terulur, menyentuh
HAL pertama yang Risa lakukan adalah mengecek kamar mandi dan memastikan kalau di dalamnya benar-benar ada mesin cuci yang bisa dipakai. Setelahnya, dia pergi mengecek lemari untuk mencari pakaian yang bisa dia pakai malam ini.Namun, tiba-tiba saja ia berhenti. Tubuhnya membatu, tatapannya terpaku pada dua pasang lingerie yang digantung di dalam lemari berjejer rapi dengan jas dan beberapa kemeja yang telah disetrika rapi."Playboy itu pasti udah gila!" geramnya dan langsung membanting pintu lemari dengan kuat, tapi tak lama, karena kemudian dia kembali membuka lemari dua pintu di depannya.Dua pasang lingerie berbahan satin yang begitu halus begitu menyentuh tangannya. Dalaman yang akan sangat nyaman digunakan. Apakah lingerie itu memang sengaja dibeli untuknya? Ataukan teman kencan Alva yang sengaja meninggalkan pakaian dalamnya untuk bisa dia gunakan keesokan harinya?Risa menggeleng p
RISA menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan saat melihat apa yang Alva buat untuknya sejak tadi. Pria itu memang salah, karena tak mengatakan apa pun dan bertanya sesuatu padanya tentang apa yang mau ia makan. Namun, dirinya juga salah, karena diam saja dan tak berkata apa-apa tentang apa yang ingin dia makan malam ini.Risa mematikan kompor, menghidangkan masakan Alva yang aromanya begitu menggugah selera, kemudian dia duduk di atas pantri. Hanya ada nasi putih, tanpa lauk, memang bukan sesuatu yang buruk. Namun, setidaknya jika ada mie instan dia tidak akan merasakan rasa hambar dari nasi ketika berada di dalam mulut.Ria menunduk, mengembuskan napasnya sekali, lalu makan dalam diam. Hanya nasi putih yang akan menemaninya malam ini. Tidak buruk, karena ini bukan kali pertama Risa makan tanpa lauk.Hidup miskin bertahun-tahun tanpa bantuan siapa pun. Tentu saja, siapa yang mau membantunya? B
RALF langsung membereskan semua pekerjaannya dan mendekati Risa yang masih terlihat memandangi layar komputer kala waktu sudah memasuki jam istirahat. Alva bahkan sampai terlonjak di tempat duduknya dan lantas melotot ke arah Ralf yang kini tengah mengusir teman kantornya yang tempat duduknya berada di samping Risa untuk mengambil alih kursi yang ditempati teman kantornya itu.Ralf memosisikan kursi agar dia bisa duduk di sebelah Risa. Sedangkan Risa mengerjapkan matanya berulang kali, memandangi senior di kampusnya dulu dengan wajah tidak mengerti.Dia heran, tentu saja, melihat Ralf yang begitu tergesa-gesa mendekatinya begini seperti mengatakan adanya sesuatu yang tak beres dan tengah disimpan pria itu dalam ekspresi diamnya. Sesuatu yang mungkin berkaitan dengan masalah pribadi Risa.Risa memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas panjang. "Ada apa? Lo kelihatannya kayak mau ngomong sesuatu sama gue s