Share

Bab 3. Fitnah yang Kedua

“Tahu dari mana kamu?“ tanya Audrey, dengan suara melemah, dan mulai meneteskan air mata.

“Dulu, dia bilang seperti itu saat kita akan berangkat bulan madu. Galang memintaku untuk menceraikanmu, karena baru sadar punya rasa sama kamu setelah kita menikah!“ jelas Edwin, membuat Audrey sangat kaget.

“Tidak mungkin!“

Edwin berbalik badan, hendak pergi. “Itu kenyataannya, Audrey. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mempertahankanmu.“

Audrey menelan salivanya sendiri. “Mengapa jadi seperti ini?“

“Entah. Yang jelas, aku masih sangat cemburu karena kejadian tadi.“ Edwin melangkah menuju pintu.

“Aku tak tahu. Mungkin ini semua rekayasa dari Mamamu?“ seru istrinya, dengan suara serak.

“Maafkan aku. Sepertinya kita butuh waktu untuk menjaga jarak,” sahut Edwin.

Audrey menitikkan air mata. “Aku baru saja melahirkan, dan kamu mau pergi? Bahkan kamu belum melihat bayi itu sama sekali.“

Edwin diam saja, lalu pergi meninggalkan ruang rawat inap istrinya. Dia merasa gagal menjadi imam yang baik, sekaligus cemburu karena ada pria lain yang mencintai Audrey, justru datang tepat waktu untuk menolong. 

**

Sore hari tiba. Audrey masih belajar menyusui bayinya dengan susah-payah.

“Ternyata nggak semudah yang dibayangkan ya, Rat?“ ucapnya, seraya menyeka keringat di balik hijab

Ratmi yang berdiri di samping ranjang, memijat tengkuk majikannya. “Sabar, Nyonya. Ini semua tak akan lama. Beberapa pekan lagi, insya Allah, Nyonya sudah mahir menyusui dedek.“

Audrey membuang napas panjang. “Iya, semoga saja.“

“Mm, kira-kira, dedeknya mau dikasih nama siapa, Nyonya?“ tanya Ratmi.

“Entahlah. Kita tunggu sampai Mas Edwin tidak terbakar cemburu lagi,” jawab Audrey.

Ratmi mengangguk, sambil terus memijat pundak Audrey. Tiba-tiba terdengar derap langkah sepatu berhak tinggi yang mendekat. Dari balik pintu, muncul seorang perempuan berbaju seksi dan riasan yang cantik.

“Kasihan sekali, nasib perempuan yang kata orang, statusnya adik iparku, tetapi sama sekali tidak dinggap!“ celetuk perempuan itu, sambil berkacak pinggang. 

Audrey menatap wanita itu dengan tatapan penuh kebencian. “Mau apa kamu datang ke sini, Kak Sinta?“

Ratmi merasa sebal, lalu menggendong bayinya Audrey. 

Perempuan bernama Sinta itu tersenyum sinis. “Tentu saja buat melihat keadaan lu. Audrey yang malang. Saat mau melahirkan, tetapi malah diantar pria lain. Edwin jadi cemburu, marah, dan pergi begitu saja. Nggak dapet perhatiannya suami! Ha ha!“

“Tak perlu kamu jelaskan keadaanku! Jangan datang ke sini kalau hanya untuk menghinaku!“ bentak Audrey.

Sinta mendekat ke arah Audrey, lalu menepuk pipi adik iparnya yang tak dianggap. “Jangan teriak-teriak! Simpan tenaga lu buat menghadapi sesuatu yang akan terjadi. Cek ponsel, setengah jam lagi!“

Audrey melempar tangan Sinta dengan kasar. “Gak usah sentuh-sentuh! Aku nggak takut sama ancamanmu!"

"Gue gak yakin, apa setelah ini, kalian nggak bertengkar?" Sinta tertawa sumbang.

“Maaf, Mbak. Kalau tidak ada keperluan lagi, silakan keluar. Majikan saya mau istirahat,” protes Ratmi, yang sudah tak tahan mendengar ocehan Sinta.

Sinta mengalihkan pandangannya ke arah bayi yang digendong Ratmi. “Anak yang malang. Gue cuma mau mengucapkan prihatin, karena ibu lu mungkin akan terus menangis dan lupa sama lu!"

Audrey memilih tak peduli pada Sinta, yang keluar dengan langkah angkuh. 

“Baru kaya saja sudah sombong! Dibalas sama Allah baru tahu rasa!“ kesal Ratmi pelan, tetapi masih bisa didengar Audrey.

“Ssuut! Ratmi! Hati-hati bicara di depan bayiku,” tegur Audrey, “lebih baik, siapkan sayur daun katu buat aku, biar ASI bisa lancar dan putriku gak rewel.“

Ratmi mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Nyonya. Saya sudah pesan lewat aplikasi. Kebetulan ada yang jual, dan lokasinya dekat.“

“Ya sudah. Aku mau tidur dulu sebentar. Lelah sekali rasanya.“ Audrey mengubah posisi menjadi berbaring.

“Baik, Nyonya. Saya jagain dedeknya,” sahut Ratmi yang paham dengan kondisi Audrey. 

**

Audrey terkejut mendengar nada dering ponselnya, tanda panggilan masuk. Dia terbangun, lalu perlahan mengubah posisinya menjadi duduk.

“Siapa telepon malam-malam begini?“ gumamnya, saat melihat jam dinding menunjukkan pukul delapan malam.

Nomor tak dikenal dengan foto profil wanita berbaju modis, muncul di layar. Ratmi sudah tertidur di sofa. Putrinya juga tampak pulas di box bayi. 

“Assalamualaikum,” salam Audrey, dengan suara serak.

“Sudah lihat foto dan videoku sama suamimu? Ingat! Cantik saja tidak cukup, tetapi harus pintar dan kaya!“ Suara perempuan di seberang telepon, mengejutkan Audrey.

“Apa maksudmu?“ tanya Audrey, tetapi kemudian sambungan telepon diputus. “Halo!“

Audrey menatap layar ponselnya, seketika terbelalak. Tampak Edwin seperti pingsan di sofa sebuah diskotik, dengan berbagai macam minuman alkohol di meja, lalu wanita yang ada di foto profil penelepon tadi tampak berpakaian minim dan menyandarkan tubuhnya di pundak Edwin. 

“Astagfirullah! Mas Edwin!“ Audrey menutup mulutnya yang terbuka.

Ponsel Audrey terjatuh di kasur. Hatinya seperti tercabik-cabik. Dia baru saja melahirkan, sedangkan Edwin tadi malah menyalahkannya, dan sekarang? Apakah Edwin selingkuh?

Tiba-tiba ponsel Audrey berdering lagi.

“Halo, Mas?“ sapa Audrey.

“Athena … I love you.“

“Mas?“ bisik Audrey, hampir tak terucap. Hanya ada tangisan yang keluar dari bibirnya.

**

Edwin terbangun, mendapati dirinya berada di kamarnya. Tak ada siapa-siapa. 

“Ya Allah, aku kenapa?“ gumamnya, sambil duduk.

Kepala Edwin terasa pusing sekali. Dia segera mandi. Setelah selesai, CEO itu mengecek ponsel. Betapa kagetnya Edwin mendapati foto dan videonya bersama Athena.

“Astagfirullah! Apa ini?“ pekiknya, segera menuruni tangga, menuju rumah Juna.

Edwin merasa tak sabar, menggedor pintu rumah Papanya dengan keras. “Pa! Ma! Buka pintunya!“

Tak lama kemudian, tampak Juna dan Zofia keluar.

“Ada apa masih pagi, marah-marah?“ tanya Juna, yang sudah memakai pakaian rapi untuk ke kantor.

“O ya, gimana keadaan istrimu?“ Zofia pura-pura peduli. 

Edwin tak menjawab. Dia menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan fotonya sedang pingsan di atas sofa sebuah bar bersama Athena.

Zofia tersenyum sinis. “Jadi, kamu mulai menikmati kebersamaanmu dengan Athena?“

“Ma, ini apa? Terus, foto ini juga dikirimkan ke Audrey?“ tanya Edwin, dengan napas memburu.

“Gak tahu. Tanya saja sama dia!“ sahut Zofia, tampak santai.

“Fitnah apalagi yang Mama ciptakan? Hati Audrey pasti sakit sekali, padahal aku sama sekali tak sadar tadi malam!“ seru Edwin, dengan muka memerah.

Juna merasa malas mendengar itu semua. Dia berlalu menuju garasi, tanpa memedulikan putranya. 

“Pa!“ panggil Zofia, tetapi tak digubris oleh suaminya.

Diam-diam, Edwin menghidupkan fitur perekam suara di ponselnya.

Zofia membuang napas kasar. “Sudah, lah! Istrimu itu tak berguna! Sudah miskin, manja lagi. Mending Athena daripada dia. Cantik, kaya, dan pekerja keras.“

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status