Ruslan terkejut memandang wajah kedua anaknya yang seakan melihat monster ketika ia mendekat. Lalu Ruslan memilih pergi ke luar untuk menenangkan dirinya. Ia bak kesetanan ketika menghukum Sofia di kamar. Ketika ia keluar kamar pun, ia tak menggubris persoalan ibu dan kedua adiknya yang bertanya. Saat ini, ia merasa gundah akan keputusannya. Disatu sisi, dia memang ingin bercerai dan bersatu dengan Stephanie dan Zen. Namun, sisi lain ia tak mungkin meninggalkan Lucas dan Luna.
Lalu dengan Sofia? Entahlah, dia sendiri tak bisa merasakan perasaan yang samar dalam hatinya. Dulu dia menikah dengan Sofia semata-mata hanya ingin balas dendam keluarganya. Tak ada cinta, hanya ada nama Stephanie yang terpatri dalam hatinya setelah bertemu dengannya dua tahun yang lalu.Sedang Sofia sibuk menenangkan kedua anaknya. "Ma, Lucas takut. Papa kayak monster," ucap Lucas dengan tubuh yang masih gemetar.Hati Sofia semakin terasa pedih melihat ketakutan anak sulungnya. Tanpa bKedua bahu Sofia terlihat berguncang, membuatnya mengerjap mata dan akhirnya bangun. Ternyata Axel membangunkannya dengan menggoyangkan sisi bahu Sofia. "Sudah sampai... masuklah dulu! Selepas itu, anda boleh melanjutkan tidur." Gaya bicara Axel begitu kaku menurut Sofia, dan dari aksennya berbicara bahasa Indonesia ia seperti bukan dari Surabaya. "Saya memang bukan orang Surabaya," celetuk Axel seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Sofia.Sofia semakin mengernyitkan keningnya dalam. "Bagaimana anda selalu tahu apa yang saya pikirkan?" Tanpa Sofia sadari, ia jadi mengikuti gaya bicara Axel yang kaku. Bibir Axel mengulum senyum. Sejenak membuat Sofia terpana dengan wajah manisnya. "Saya pandai membaca mimik wajah." Sambil menggendong Lucas, Axel membuka pintu yang terkunci dan berkata, "Ayo, silahkan masuk." Sofia mengamati rumah yang akan menampungnya sementara waktu, desain rumah itu terlihat kuno. Hanya berlantai satu namun ketika dia masuk,
"Nih, sarapan buat kalian." Axel menyerahkan tiga kotak berisi bubur ayam ketika melihat Sofia sedang memakaikan baju untuk kedua anaknya. "Makasih." Saat Sofia dan kedua anaknya sudah menyelesaikan sarapannya, tiba-tiba mobil hitam datang memasuki halaman rumah Axel. Mata Sofia terbelalak karena begitu hapal dengan warna dan nomor plat mobil tersebut. Mobil itu milik Ruslan, jantungnya seketika berderu dengan cepat. Otaknya seketika berpikir dengan keras, bagaimana mungkin dia mengetahui keberadaannya di sini? Lalu sedetik kemudian pertanyaan itu langsung terjawab dengan sendirinya. Dia teringat bahwa Ruslan memang memasang gps di hapenya yang tersambung dengan hape Ruslan. Dulu Ruslan bilang, jika Sofia tersesat atau ada suatu hal. Dimanapun itu, Ruslan akan mencarinya meski sampai ke ujung dunia. Gombalan kuno yang dulu membuatnya berbunga-bunga dan seolah-olah kupu-kupu bertebaran di perutnya. Dari luar terlihat Ruslan yang duduk di kursi pengemudi bersa
Dalam perjalanan pulang, Stephanie terus mengajak bicara Ruslan namun tak mendapat respon yang baik dari pria itu. "Sayang! Kamu kenapa sih?" tanya Stephanie dengan lembut."Gak ada apa-apa," jawab Ruslan dengan ketus.Tangan Stephanie mengepal erat di samping gaunnya. "Ruslan! Aku bertanya baik-baik padamu, tapi apa gini jawaban yang baik untukku?" tanyanya dengan menahan amarah.Ruslan tersentak di balik kemudinya, dia tersadar atas apa yang diperbuatnya. Bibirnya bergetar saat dia berucap,"Eh, e... enggak kok, Sayang. Aku tadi lagi bingung aja mikirin gimana caranya kedua anakku bisa aku ambil alih hak asuhnya.""Aku gak butuh kedua anakmu, Ruslan!" bentak Stephanie.Ucapan Stephanie membuat Ruslan menepikan mobilnya di bahu jalan. "Apa?"Kilatan amarah jelas terlihat di mata Stephanie. "Memangnya siapa kamu, memutuskan seenaknya begitu? Ingat Ruslan, aku sudah bersabar dengan menjadi istri siri dan bersembunyi dari istri bodohmu itu! Bahkan aku pun s
Selepas dari bandara, Sofia tak pernah lepas dari rasa takjub karena setelah sekian lama akhirnya dia kembali ke rumah masa lajangnya. Rumah yang sedari dulu memberinya keteduhan dan kenyamanan. Dari rumah mewah inilah Sofia tumbuh dengan kasih sayang tanpa kekurangan apapun. Lucas dan Luna terlihat terlelap setelah perjalanan dari bandara ke rumah."Kamu istirahat dulu aja, Fi. Biar mama suruh bu Sarmi dan bu Inah untuk mengurus Lucas dan Luna," ujar Haya."Loh, bu Sarmi dan bu Inah masih kerja disini?"Haya terkekeh mendengarnya. "Masih, sayang! Dari dulu mereka gak pernah meninggalkan kami. Papa dipecat, bukan berarti kita jatuh miskin, Kan?" "Iya, sih." Sofia termenung sesaat. Bagaimana mungkin dia mengetahui kondisi kedua orangtuanya lebih jelas, jika Ruslan dan keluarganya tak pernah memberinya izin barang sejenak saja untuk menjenguk kedua orangtuanya di Jakarta.Seperti yang di katakan Haya, bu Sarmi dan bu Inah pun terpogoh-pogoh datang mengam
Kesunyian di malam hari sedikit membuat Sofia yang tengah menatap langit-langit kamar, tenang dari kemelutnya pikiran. Beban di pundaknya kini terasa agak berkurang. Pikiran dan tenaga yang dulu terkuras kini sudah tak ia rasakan. Ia merasa nyaman dengan keadaan yang sekarang, namun sesaat kemudian hatinya kembali gundah. Pikirannya mulai berkecamuk lagi ketika otaknya tanpa izin menampilkan rentetan peristiwa yang terjadi begitu cepat dalam benaknya. Setetes air mata mulai mengalir cepat diujung matanya. Seberapa kalipun Sofia berhasil menenangkan diri dihadapan orang lain, tetap dia akan tetap kembali menangis tergugu ketika dia tengah sendiri. Kali ini dia membiarkan dirinya bebas menangis, melepaskan segala rasa sakit dari luka yang bak disayat oleh sembilu. Setelah hampir setengah jam dirinya puas menangis, pikirannya kembali tenang dan semangatnya kembali berkobar. Dia mulai menyusun rencana untuk memulai balas dendam. Dia harus memberi tamparan secara halus pad
10 menit yang lalu.Kepala Sofia mendongak, memandang gedung perusahaan yang menjulang tinggi di hadapannya. Sudah bertahun-tahun dia tak menapakkan kaki di perusahaan tempat papanya bekerja, rupanya banyak hal yang sudah berubah. Jantungnya berdegup kencang ketika langkahnya semakin mendekat ke arah lobi. Dia menghampiri seorang wanita berpakaian rapi dan bibirnya selalu tersenyum ramah pada setiap tamu yang menghampirinya."Permisi, saya dengar disini sedang membuka lowongan kerja? Boleh saya tahu ke lantai berapa saya harus mengirimkan lamaran kerja?" tanya Sofia, tersenyum ramah.Staf wanita itu menoleh ke arah Sofia, name tag yang tersemat di baju kerjanya bertuliskan 'Dita'. Mata hitamnya meneliti sosok Sofia yang masih mengulum senyum di bibirnya. Baju putih yang sedikit kotor di beberapa bagian, celana hitam panjangnya terlihat lusuh serta wajah yang penuh keringat tanpa polesan makeup membuat Dita mengerti. "Oh, Anda mau ngelamar jadi OG?"Kening Sofia
Suara ketukan jari yang mengetuk di atas meja kaca terdengar di seluruh ruangan luas milik Axel Bumi William. Keresahan terlihat jelas di wajah Sofia, membuatnya terus menerus menyesap teh hangat yang disajikan untuknya berharap hal itu dapat mengusir rasa keresahannya. Tak pernah ia pikirkan sebelumnya bahwa Axel adalah atasan papanya di perusahaan. Axel masih menatapnya dengan tatapan tajam. Sofia yakin, kalau Axel sudah menatapnya tanpa berkedip sejak mereka masuk ke ruangan ini. Hal itu membuat suasana tegang diantara mereka. "Ehem, maaf saya tidak tahu kalau anda adalah atasan papa saya," ujar Sofia berusaha mengendurkan ketegangan.Ketukan jari Axel terhenti seketika. Dia berdiri dan menghampiri Sofia yang duduk di sofa. Lalu duduk berseberangan dengan tangan terlipat di depan dada. "Apa kamu tahu kalau kamu itu bodoh dan ceroboh?"Meskipun telinga Sofia terbiasa mendengar hinaan dari mulut orang-orang, namun tetap saja hinaan dari mulut Axel nyatanya terdeng
Keesokannya, seperti apa yang sudah Sofia janjikan pada Aji. Hari ini dia mulai masuk kerja mengenakan penampilan yang sepatutnya. Blouse ungu muda berpita panjang dengan rok span pendek 3/4 berwarna krem. Langkahnya tegap menawan dengan flatshoes keluaran Coach berwarna senada dengan roknya. Jam tangan rolex pemberian papanya melingkar apik di pergelangan tangan Sofia. Kali ini, Sofia berpenampilan beda. Ibunya sudah menyiapkan segala kebutuhan Sofia setelah mendengar bahwa Sofia sudah diterima kerja sebagai sekretaris Axel. Memang bukan bekerja di jabatan tinggi seperti sang papa, tapi bagi kedua orang tua Sofia, hal itu adalah sebuah kemajuan pesat. Mengingat sedari dulu Sofia sama sekali tak berniat untuk bekerja. Bahkan di usianya yang sudah lebih dari seperempat abad, dia masih diberi kesempatan untuk menjadi sekretaris yang belum berpengalaman.Sofia menyapu pandangan disekitar lobi, dia menyadari bahwa ada tatapan tajam mengarah pada dirinya. Yaitu, s