Cahaya lampu menerobos masuk ke dalam netra Amira saat ia mencoba membuka mata. Amira mengernyitan dahi karena silau, beberapa kali pula ia berkedip dan menyesuaikan pandangan. Amira terkejut karena lengannya terasa berat, Alan tidur sambil memeluk lengan Amira seperti anak kecil. Amira mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya. Setelah pertengkaran hebat antara dirinya dengan Alan, dia dikunci di kamar lalu merasa pusing dan akhirnya jatuh pingsan. Amira baru ingat bahwa dirinya belum makan sejak tadi pagi. Amira meneteskan air mata saat dadanya kembali sesak. Cintanya yang tulus telah terkoyak karena kebohongan sang suami.Amira menatap wajah suaminya yang terlihat damai saat tidur, Amira tak mengira pria sebaik dan seperhatian Alan bisa menyakitinya. Amira telah jatuh sedalam-dalamnya dengan buaian perkataan Alan yang sangat indah. Kata cinta yang selalu Alan ucapkan mampu membawa Amira jatuh ke dalam jurang asmara sedalam-dalamnya. Amira terlalu percaya bahkan tak sadar
Alan menuju resepsionis dan dia disambut oleh seorang wanita berpakaian serba hitam. Alan akan menanyakan apakah nama Amira terdaftar dalam pelanggan hotel hari ini. Tangan Alan terasa dingin, dia sangat gugup sekali dan berharap bahwa orang yang dicintainya benar-benar ada di dalam salah satu kamar hotel ini. Alan akan membawanya pulang segera dan mendekapnya erat agar tidak pergi lagi dari sisinya."Permisi, apakah ada seseorang bernama Amira menginap di hotel ini?" tanya Alan berterus terang. Alan bisa melihat raut wajah wanita itu mengerut heran. Tersadar karena petugas hotel tidak bisa memberikan informasi secara sembarangan, Alan segera menunjukkan bukti bahwa dirinya adalah suami Amira."Ini KTP saya dan ini foto saya dengan istri." Petugas itu menunjukkan raut wajah cerah, sepertinya pencarian Alan membuahkan hasil. Amira ada di hotel ini."Tunggu sebentar ya, Pak. Nona Amira check in jam setengah satu tadi malam. Saya akan cek kamarnya," ucap wanita itu sembari mengontrol ko
"Mas akan menghubungi ayah dan ibu kalau kamu tidak mau pulang ke rumah," ancam Alan sangat percaya diri. Mendengar hal itu, kontan Amira membulatkan kedua matanya. Alan sangat tahu kelemahan Amira yaitu tidak bisa membuat kedua orang tunya risau. Alan mengacungkan ponselnya tinggi-tinggi. Alan harus bisa membuat Amira mau kembali ke rumah. Amira mematung di tempatnya berdiri, dia tidak bisa menjawab perkataan Alan. "Apa-apaan kamu, Mas?" sentak Amira emosinya mulai menjad-jadi. "Kalau kamu tidak mau membuat ayah dan ibu khawatir, ikut sama Mas pulang ke rumah."Alan memainkan ponselnya dengan berpura-pura ingin menelepon ayah dan ibu Amira. Alan tidak sungguh-sungguh untuk memberi tahu masalah mereka berdua ini. Dia hanya ingin Amira pulang ke rumah dan Alan ingin memperbaiki semuanya mulai dari awal. "Aku tidak mau." Amira berusaha meraih ponsel Alan agar suaminya itu tidak nekat memberi tahu kedua orang tuanya. Amira tidak akan sanggup melihat kedua orang tuanya sedih jika hub
Alan pun turut bangkit, dia mengikuti ke mana perginya langkah kaki Amira. Amira menuju lemari dan hendak membuka pintunya, tetapi tangan Alan menepis tangan Amira."Kamu mau ke mana?" tanya Alan tergesa-gesa. Dia tahu bahwa Amira ingin pergi lagi dari sisinya. "Biarkan....""Tidak. Sampai kapanpun tidak akan pernah," potong Alan cepat sebelum Amira mengutarakan keinginannya. Alan meninggalkan Amira yang masih mematung setelah mendengar perkataan Alan. Alan mengambil kunci mobil yang ada di atas nakas, lalu berbalik menuju pintu kamar. Amira melihat semua gerak-gerik Alan yang mencabut kunci pintu kamar. "Mas Alan mau kunci Amira di kamar lagi?" celetuk Amira saat Alan hendak keluar dari kamar. Alan memandangnya serius, tanpa menjawab Alan langsung mengunci kamarnya. Amira terlonjak dan tak bisa menahan Alan untuk tidak meninggalkannya sendirian di kamar ini. Terlebih Alan mengurungnya di kamar tanpa persetujuan Amira terlebih dahulu. Alan terlalu kelewatan sampai-sampai tidak mem
Sesuai perkataan Amira sebelumnya, dia mendatangi rumah sakit dan menyerahkan surat gugatan cerai kepada Alan. Amira datang tanpa memberi kabar dan masuk begitu saja ke dalam ruang kerja Alan. Saat ini di ruangan Alan tidak hanya pria itu, tetapi ada Sandi dan juga Dokter Salma yang sepertinya sedang membahas sesuatu yang serius. Mereka juga sangat terkejut dengan kehadiran Amira yang tiba-tiba. Alan berdiri dari duduknya dan menghampiri Amira. Map berwarna cokelat digenggam erat oleh Amira. Alan pun juga melihat Amira dengan wajah tegasnya yang saat ini membawa map itu, dapat dilihat bahwa Alan saat ini tampak ketakutan. "Sayang, ada apa kemari?" tanya Alan gugup. Saat hendak meraih tangan sang istri, Amira mundur dua langkah. Degup jantung Alan berdetak tak karuan, dia bisa membaca situasi saat ini. Amira memandang Sandi dan Dokter Salma secara bergantian, lalu setelahnya menatap Alan dengan serius. Alan berusaha tersenyum walau perasaannya mulai tidak enak karena map yang dibawa
Alan yang berada di ujung pintu mengusap wajahnya kasar. Dia mendengar pembicaraan Amira dengan ibunya. Semuanya sangat kacau, Alan tidak bisa menghentikan Amira untuk tidak berpisah darinya. Tangis Amira menjadi-jadi setelah menelepon orang tuanya. Niat untuk mengemas barang akhirnya tertunda karena dadanya begitu sesak. Amira menepuk-nepuk kedua pundak untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia baru merasakan tangis yang begitu menyesakkan, karena orang yang dicintainyalah yang membuatnya terluka. "Sayang." Alan tiba-tiba datang dan memeluk tubuh Amira yang jatuh ke lantai. Alan memeluknya sangat erat, pria itu juga mengeluarkan air mata kesedihan karena melihat Amira yang menangis pilu. "Lepasin, Mas." Amira memberontak pelan, tenaganya sudah terkuras habis. "Maafkan, Mas." Alan mengecup puncak kepala sang istri yang terbalut hijab. Keduanya pun menangis deras menyalurkan kesedihan masing-masing. Seujung kuku pun tak ada niatan bagi Alan untuk mendua, tak pernah terbesit unuk
Lima menit yang lalu Salma dijemput oleh suaminya dan lebih dulu meninggalkan restoran. Sedangkan Amira memilih menetap sejenak sambil menghabiskan cokelat hangat yang sebelumnya telah dipesan.Setelah dirasa bosan berdiam diri di restoran, Amira bangkit hendak pulang ke rumah. Pikirannya berkecamuk antara kembali ke rumah Alan, atau pergi menginap disuatu tempat. Alan tidak akan mengizinkannya pergi dari rumah, tetapi Amira tidak mau lagi serumah dengan pria itu. Amira sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak sadar bahwa Alan kini berada di depannya. Alan menghadang tubuh Amira dan berdiri begitu saja di depannya. Amira menabrak Alan bahkan hampir terjatuh. Untung saja Alan siap tanggap dan meraih tubuh Amira. "Mas Alan?" Amira melepaskan diri dari rangkulan sang suami. "Mas ngapain di sini?" tanyanya kebingungan. Entah sejak kapan suaminya itu berada di daerah restoran. "Oh... Mas buntutin Amira, ya." Amira menuding kesal, dia tidak menyangka jika Alan sampai mengikuti Amira
Perselingkuhan dan proses perceraian membuat kepribadian Amira berubah total. Amira menjadi lebih pendiam, bahkan di kantor dia memilih menyendiri dan menetap di bilik meja kerjanya. Luna berusaha membujuk sahabatnya itu, tetapi Amira hanya menggelengkan kepala saat Luna mengajaknya bicara atau pergi ke kantin saat jam istirahat. Hanya Luna yang tahu masalah yang dihadapi oleh Amira, meskipun rekan-rekan kerja yang lain penasaran dengan keadaan Amira, Luna tidak memberitahu mereka sedikitpun. Kali ini Luna berusaha lagi membujuk Amira untuk pergi ke kantin. Sudah kedelapan kalinya Amira menolak ajakan Luna. Meskipun lelah, Luna tidak menyerah dan terus menarik lengan Amira untuk pergi bersamanya. "Tidak, Lun. Aku bawa bekal," kata Amira dengan nada sendunya. Luna menggeleng keras, dia tidak ingin sahabatnya itu berlarut-larut dalam kesedihan. Karena itulah dia ingin membuat Amira bersemangat lagi. "Kalau begitu aku tidak mau makan jika kamu tidak ikut ke kantin," rengek Luna dan