Begitu kami tiba di gudang, kegiatan dan pekerjaan untuk hari ini sudah dimulai. Beberapa pekerja bahkan sudah dikelilingi gunungan paket-paket yang terbungkus rapi dan dipisahkan menurut marketplace.
Melihat antusias para pekerja di gudang, Anha dan Nita tersenyum semringah. Mata mereka berbinar melihat seisi gudang yang berhamburan barang-barang.
Tidak ada yang berbicara apapun, keduanya sibuk melirik kiri dan kanan meski aku terus berceloteh ria, mennjelaskan struktur bangunan dan bagaimana sistem kerja yang sudah berjalan selama ini.
Aku berdehem, saat Anha dan Nita mengekoriku hingga ke bagian pengemasan. Bu Mala yang menjadi kepala tim di sini segera bangkit, meski tugasnya mengepak pengiriman masih sangat banyak yang harus dia lakukan.
“Kenapa, Bu?” sambutnya meski Bu Mala jauh lebih tua dariku.
“Ini, Bu ... aku bawa anggota baru ke sini. Anha dan Nita.” Bu Mala menolehkan wajah saat mendengarku menjelaskan alasan dar
“Aku Gagah, Gin!” ucapnya lagi.Aku masih mencoba mengenali paras pria ini, menemukan kemiripan dengan salah satu temanku saat masih SMP dulu. Tapi, bagaimana mungkin di usiaku yang sudah di angka tiga puluh dua ini, salah satu teman SMP yang tidak pernah kutemui lagi masih nyantol di kepala?Ah ... semakin rumit saja semuanya.“Aku Gagah, Gin! Kamu ingat enggak, anak kecil yang kencing di celana karena enggak bisa jawab soal matematik di depan kelas?” Pria yang mengaku bernama Gagah itu semakin bersemangat.Aku mencari-cari lagi keberadaan pria ini di setiap lapisan ingatan-ingatanku, sudah pasti nama Gagah di masa lalu tidak meninggalkan kesan apapun padaku hingga aku tidak mengingatnya meski sudah berusaha. “Gagah? Nama mobilku juga Gagah.” Aku berbasa-basi.“Kamu lupa, kan? Ah ... ngaku saja, Gina! Lagian, kamu sudah sukses begini, mana mungkin ingat sama bocah miskin kayak aku,” lanjutnya dengan
Aku meminta Nita untuk ikut bersamaku menuju kantor. Membicarakan sesuatu yang begitu sensitif begini hanya akan menjadikan kami bahan gunjingan di belakang. Bagaimanapun, para pekerja yang ada di bawah kekuasaanku juga manusia, mereka suka berbicara dan bergosip layaknya orang-orang pada umumnya. Kulirik Anha yang baru menyusul, sepertinya gadis itu sibuk mengganggu Gagah dan temannya bekerja hingga tidak langsung kembali. Aku memberikan isyarat pada Anha agar lekas mengikuti langkahku ke kantor dan memastikan membawa Nita bersamanya. Kami meniti anak tangga menuju lantai dua, melewati ruang admin yang begitu sibuk melayani keluhan, jumlah pesanan yang membludak dan mengeprint pesanan yang tidak berkesudahan. Aku bersyukur tanpa henti mampu menggaji tiga orang sekaligus untuk duduk terus-menerus di depan komputer, dan puluhan orang lainnya yang bekerja tak kalah giat di bawah sana. Pintu dari kantorku yang berseberangan dengan ruang admin kudorong pelan. Beg
Aku memandang Bang Teguh yang berlagak seperti pemilik sungguhan. Tangannya mengudara, memberi perintah untuk keluarganya mengutil setiap barang yang ada di gudang.Kulihat pekerja-pekerja yang merasa terganggu. Pesanan orang yang sudah mereka ambil di gudang belakang, kondisinya sudah dicek dengan baik dengan semudah itu diambil begitu saja.“Uwa juga mau, Guh! Ini loh, yang lagi viral itu,” ucap wanita yang mirip dengan ibu mertua. Sebagian rambutnya mulai memutih, tapi tidak sebanyak ibu mertua.“Ambil, Uwa. Ambil sebanyak yang Uwa mau. Kapan lagi Uwa datang ke sini, kan? Kapan lagi Teguh bisa bahagiain Uwa dengan semua yang Teguh punya. Lagian, ini enggak akan habis kalau Cuma diambil segitu.” Bang Teguh kian menjadi-jadi, dan lagaknya itu didukung penuh oleh ibu mertua yang sama tidak tahu malunya.Memang benar, keluarga Bang Teguh yang di tinggal di Bandung ini tidak tahu apapun soal aku yang memiliki gudang dan berprofesi se
“Coba diulang lagi, Bang?” Aku berpura-pura tuli, tidak bisa mendengar dengan jelas keinginan dari Bang Teguh saat ini.Dia minta range roverku? Si Gagahku? Eh, maksudnya Si Gagah yang di garasi, bukan yang tadi.“Kunci mobil, Gin! Mobil range rover yang putih, kemarikan kuncinya. Abang mau anterin Uwa Rabiah dan yang lain pulang. Di luar panas banget Gin!” rengeknya padaku lengkap dengan tangan yang mengipas.Sempat aku terkekeh, lalu kembali mengatur ekspresi, menutupi hati yang kian tersayat perih. Pria ini memasang wajah tak berdosanya padaku, meminta hartaku yang menawan seolah-olah itu miliknya sendiri.“Maaf, Bang ... Abang punya hape, kan? Dua lagi tuh. Punya aplikasi taksi online, kan? Atau perlu aku pesankan?” Sengaja aku melirik saku celananya yang menonjol.“Kenapa sih, mobil aja kamu pelit banget! Ini suamimu yang minta, Gin!” sahut ibu mertua lagi.“Maaf, Bu ... jangan lupa,
Pagi kedua setelah minggat dari rumah ibu mertua datang. Hari yang berat berlalu dengan cepat semalam. Dengkuran halus dari Anha, serta kelelahan yang terus menerpa dada membuat tidurku nyenyak seperti di awan.Wajahku kian bergairah pagi ini. Entah mengapa, aku pun tak mengerti alasannya. Usai salat subuh, aku dengan sengaja menggelitik tubuh Anha, menggoda gadis itu agar segera bangun dan menunaikan kewajiban. Memang Anha pernah lalai, kehidupan malam yang dijalaninya membuatnya jauh dari Sang Pencipta, dan inilah tugasku mengingatkan gadis baik itu.Setelah memastikan Anha bangun, aku gegas keluar dari rumah. Ingin sejenak berjalan-jalan di depan, menghirup udara segar Kota Bogor yang permai.Baru sedetik melangkah, aku mendengar gawaiku berbunyi. Benda pipih persegi yang kusimpan rapi di saku kulot itu terus merongrong minta diambil. Siapa yang memanggilku di pagi hari ini? Sejenak aku berpikir.Gawai itu kudekatkan ke te
“Apa maksudmu, Nak?” Ibu mencoba membaca ekspresiku.“Itu cuma bercandaannya Gina, Bu. Jangan diambil hati. Sekarang kita fokus sama kehamilan Gina, Bu. Sudah dua tahun lebih kita menanti,” bujuk Bang Teguh pada ibuku.Aku tahu alasan kenapa pria itu berusaha menjilat ibu, selain karena aku yang patuh pada ibu, Bang Teguh juga menyadari jika dirinya diperlakukan spesial oleh ibu. Selama ini, tidak ada anak perempuan ibu yang diizinkannya tinggal bersama mertua, hanya aku seorang demi menyenangkan hati Bang Teguh.“Bang, tahu darimana aku hamil, hah?” sergahku cepat. Pria ini sepertinya sudah kehilangan kewarasannya, jelas-jelas kami tidak pernah bersentuhan lagi, apalagi aku baru selesai datang bulan beberapa hari lalu.“Loh, kan memang ada tanda-tandanya, Gin!” sambung ibu mertua. “Anak itu butuh ayahnya, kamu jangan keras kepala terus, Gina.”“Ayah? Pr
“Hentikan ini semua! Memalukan! Pagi-pagi kalian membuat keributan?!” seru Bang Willy pada kami lagi.Segera ibu melepaskan tarikannya pada helaian rambut Bang Teguh, kemudian meniup telapak tangannya dari rambut yang tercabut. Begitu juga dengan aku dan Anha, kami gegas melepaskan ibu mertua yang menyisakan amukan serta cacian untuk kami berdua.“Dasar wanita gila kalian semua!” tunjuknya beriring dengan tatapan mata ke arahku dan Anha.Serupa denganku, Anha menyikapinya santai. Gadis itu malah mengendikkan bahu, seolah tidak mau tahu dengan apa yang baru saja kami lakukan pada ibu mertua yang kejam itu.“Semuanya duduk!” Suara Bang Willy kembali menggelegar. Dia menatapi kami bergantian dengan tatapannya yang setajam elang. Entah mengapa, tiba-tiba saja auranya menjadi begitu berbeda dan mencekam.“Duduk, Bu ... duduk Bang!” ucap Bang Willy pada keluarganya sendiri.“Mereka tidak usah d
Seminggu setelah insiden di rumah ibu mertua berlalu banyak hal yang berubah. Aku, Anha dan ibu tinggal bersama di bawah rumah sederhana milih Anha, sebab ibu mengaku ingin menemani di saat-saat berat ini. Karena memang, pengajuan perceraianku sudah masuk ke pengadilan beberapa hari lalu. Aku tidak mungkin lagi menunda perceraian ini lebih lama dan membiarkan Bang Teguh terus menyiksa. Apalagi, sertifikat tanah yang dulu kuperdebatkan itu belum mencapai titik akhir. Aku tidak rela jika Bang Teguh mendapatkan harta yang kuperjuangkan seorang diri begitu mudah, kemudian bersenang-senang bersama Adinda dengannya. “Gin, sudah dapat panggilan dari pengadilan?” Anha mengekoriku yang baru selesai memasak sarapan pagi ini. Aku menggeleng pelan, setelah mengajukan perceraian, nyatanya permintaanku itu belum mendapat balasan apapun. Bahkan alasanku bercerai saja sempat diragukan. Poligami? Aku seperti menentang sunnah nabi. Tapi nyatanya bukan karena Bang Teguh berpoli