Aku segera kembali ke rumah Bang Teguh dengan menyewa ojek yang mangkal di dekat rumah sakit meski kusadari beberapa kali ponsel berdering nyaring, mendendangkan panggilan dari suamiku sendiri. Mungkin, pria itu tidak menyangka jika aku benar-benar akan menentang dirinya dan memilih pulang dibandingkan menemui ibu mertua yang sibuk berpura-pura sakit.
Begitu tiba di depan pagar, ojek yang telah menempuh jarak cukup jauh untukku itu meminta tebusan mencapai lima puluh ribu. Aku sedikit mengernyit awalnya, lalu mengeluarkan uang seratus ribu yang berjubel di dalam dompet dan memberikannya padanya.
Terlihat dia yang mulai merogoh kantong jaket serta sakut celana. “Enggak ada kembaliannya, Mbak. Uang pas aja. Si Mbak pelanggan pertama,” pintanya santun.
Aku mengulas senyum, kembalian sebesar itu memang tidak lagi terasa banyak sejak Rabbi memberi harta yang berlimpah. “Buat Bapak aja kembaliannya. Semoga bermanfaat.” Lantas, aku segera mendorong berat pagar agar bisa masuk ke halaman yang pagi ini bak diterjang badai. Tentu saja karena Nita belum menyapunya yang selalu diguguri dedaunan dan sibuk menjadi perawat ibu mertua di rumah sakit.
Baru saja hendak naik ke teras, kulihat pintu depan terbuka lebar dan motor Bang Willy terparkir di garasi. Syukurlah, setidaknya aku tidak perlu mampir ke rumah tetangga meminta kunci titipan ke sana. Bukannya tidak ramah dengan jiran, akan tetapi mereka lebih senang menginterogasiku lebih dulu sebagai upah atas jasanya.
Kuputuskan untuk menunggu sejenak di teras, karena masuk ke dalam rumah di saat hanya ada Bang Willy membuatku gundah, takutnya ada tetangga yang usil dan mengumbar gosip antara aku dan adik iparku.
Cukup lama berdiam di sana, pria dengan paras yang lebih rupawan dari Bang Teguh keluar dengan pakaian yang rapi serta rambut super klimis. Mendapatiku sedang duduk diam di teras, Bang Willy menyapa dengan senyum, lalu segera beranjak mendekati motor matik miliknya.
Tidak ada satu kalimat pun terucap, apalagi basa basi seperti yang selalu dilakukan Bang Teguh pada Nita, Bang Willy hampir tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Baginya, aku seperti tidak terlihat, bagai angin lalu yang tidak perlu dirisaukan keberadaannya.
“Kunci pintunya, Gin. Aku mau ke rumah sakit,” pamitnya begitu melihatku melepas sepatu.
Lalu, deru motornya terdengar menjauh hingga keluar dari pekarangan rumah yang kami tinggali bersama. Menyisakan aku sendirian dan rumah ibu mertua yang sunyi.
Aku segera menutup pintu, memastikan terkunci rapat seperti yang diperintahkan Bang Willy. Setelahnya, bergerak menuju kamarku dan Bang Teguh demi mencari tahu segala bukti yang memperkuat pernyataan ibu mertua dan mampu menyudutkan Bang Teguh. Kuhempas tas mungil di ranjang, menggulung rambut setinggi mungkin dan melipat lengan kemeja.
Pencarianku dimulai dari laci meja rias yang jarang kubuka, karena isinya hanya jam tangan milik suamiku dan beberapa ponsel lamanya. Tentu laci kecil itu menjadi sasaran kecurigaan, karena beberapa kali Bang Teguh memintaku menjauh darinya.
Aku mengobral seluruh isinya di ranjang, mencari dengan telaten sebuah dokumen dengan lambang negara yang bisa membuktikan jika Bang Teguh memang sudah menikah lagi. Nihil, di dalamnya hanya ada beberapa ponsel lama milik Bang Teguh yang semuanya masih berfungsi.
Lalu, aku berpindah menuju lemari bagiannya, lagi-lagi laci kecil yang terkunci menjadi sasaran. Anehnya, kali ini benda kecil itu menghilang tidak tahu rimbanya. Biasanya digeletakkan Bang Teguh secara asal di bawah pakaian atau terkadang menggantung di sana.
Kuputuskan untuk mencari kuncinya, karena pasti ada sesuatu yang disembunyikan Bang Teguh hingga dikuncinya begini. Kumulai dengan menyibak setiap pakaian, sudut-sudut lemari hingga dasar lemari yang berongga. Semuanya tidak luput dari pencarian, namun tidak ada satu jejak pun kutemukan.
Aku belum menyerah, jika tidak ada di sini, maka pasti disembunyikan di tempat lain. Maka, investigasiku selanjutnya adalah setiap jaket dan celana jeans milik Bang Teguh yang tidak pernah kusentuh sama sekali. Barang-barang itu selalu dirawatnya seorang diri hingga enggan membiarkanku turun tangan.
Satu per satu, setiap jaket kulit hingga wol kusibak. Saku-sakunya juga tidak luput dari pencarianku, mengingat Bang Teguh sangat senang menyimpan sesuatu di sana.
Jaket pertama, kedua hingga kesembilan, aku kelelahan dan hampir putus asa. Tidak ada satu benda pun kutemukan di sana. Apalagi yang menjurus pada bukti jika Bang Teguh telah mengkhianatiku. Di tengah rasa lelah itu, pupil mataku memendar, kutemukan sesuatu yang mencurigakan dari balik jaket kulit hitam lama miliknya.
Aku mengernyit sebab melihat jaket jeans tertimpa jaket kulit. Bang Teguh tidak akan membiarkan hal ini terjadi karena dia akan mengomel tentang bentuk jaketnya yang bisa rusak dan sebagainya.
Kurasakan degub jantung yang berjalan lebih cepat saat ini. Dengan tangan yang terulur serta keringat yang bercucur, aku mencoba melepas jaket kulit dari hanger agar leluasa memeriksa jaket jeans di bawahnya. Dan benar saja, sesuatu terlihat janggal di saku benda itu. Bentuknya persegi dan cukup besar jika dibandingkan dengan buku nikah yang sedang aku cari.
“Hp?” Aku mendesis bingung. Jantungku seakan melompat keluar saat menemukan gawai keluaran baru lainnya di saku jeans suamiku.
Lebih baru daripada milikku dan cukup mahal. Hal yang membuatku bingung adalah Bang Teguh tidak pernah membicarakannya denganku.
Kutekan tombol power karena yakin jika benda persegi ini dilindunginya dengan sandi dan tidak mungkin bisa mengulik isinya dengan mudah. Dan benar saja, di layar depannya kutemukan foto seorang wanita dengan senyum yang cantik. Wanita itu tersenyum bahagia dengan Bang Teguh sebagai latar belakangnya.
Hatiku mendadak nyeri, rasanya bagaikan dicabik-cabik. Aku terduduk jatuh ke lantai seraya menggenggam gawai itu. Tangisku mendadak pecah tanpa mampu kutahan. Entah sejak kapan, Bang Teguh sudah mengkhianatiku dan busuknya ibu mertua mengetahui hal itu.
Gawai milik Bang Teguh bergetar sesaat di dalam genggamanku, layarnya menyala dan notifikasi w******p muncul di sana. Dari pesan preview, kulihat nama pengirimnya, “Adinda”. Nyeri kedua segera merambat dengan cepat, menyebabkan lututku ngilu hingga tidak mampu bergerak.
[Kapan pulang, Abang? Adinda kangen?!]
Aku mengumpat beberapakali saat melihat bagaimana manjanya wanita ini pada Bang Teguh. Jadi inilah alasan kenapa Bang Teguh sudah jarak memberiku nafkah, dan sering keluar malam. Tidak jarang, beralasan sedang dinas atau lembur menggantikan.
Buru-buru aku mengusaikan tangisku saat kudengar pagar terbuka dan beberapa suara saling menyahut di depan sana. Sepertinya, anggota keluarga yang lain pulang tepat setelah kepergianku.
Gawai itu segera kukembalikan ke asalnya, lalu membereskan laci yang isinya berhamburan di ranjang dan seluruh kamar kususun seperti semula. Bang Teguh dan ibu mertua tidak boleh tahu jika rahasia gelap mereka sudah kubongkar sesaat lalu.
Aku segera beranjak mendekati cermin rias, beberapa tepukan bedak kuberikan agar wajah yang sempat menangisi pengkhianatan Bang Teguh tidak terlihat olehnya. Ada banyak hal yang harus kuungkap sebelum akhirnya menentukan pilihan, apakah bertahan atau berpisah dengan pria yang sudah kuberikan segalanya.
“Gina?!” Ibu mertua menjerit keras dari luar.
Wanita itu sepertinya sengaja melakukannya, agar tetangga-tetangga kami yang selalu berpihak padanya menilaiku sebagai menantu yang buruk. Di saat ibu mertua tertatih-tatih pulang dari rumah sakit, aku tidak ada di sana untuk menolongnya.
Sekali lagi, setelah memastikan seisi kamar aman, aku segera berlari ke teras. Membuka pintu selebar-lebarnya demi menyambut dua orang yang tega menusukku dalam-dalam setelah begitu banyak pengorbanan kuberikan.
“Kok langsung pulang ya, Bu? Bukannya mau istirahat dulu beberapa hari di sana?” sapaku dengan senyum cerah yang sebenarnya berdarah-darah. Apalagi saat melihat Bang Teguh dengan riangnya memarkir mobilku di garasi, seolah-olah kuda besi itu memang miliknya.
“Itu, Mbak ... ibu kepengen pulang, katanya rindu rumah. Padahal baru semalam masuknya,” sahut Nita yang kewalahan mengangkat barang-barang bawaan ibu mertua, sedangkan suamiku berleha-leha dan sibuk berdendang ria.
“Oh, begitu ya, Bang? Bukan karena ....” Aku sengaja menahan kalimatku, lalu menatap Bang Teguh yang ikut naik ke teras dengan sebuah senyum penuh isyarat.
“Karena apa? Kamu ini, ya ... kok curigaan banget sama suamimu!” sambar ibu mertua tiba-tiba dari kursi. Wanita itu menunjuk-nunjuk ke arahku yang hanya berdiri di ambang pintu.
“Curiga apa ya, Bu? Memangnya ada hal yang harus dicurigai?” Aku tersenyum lagi seraya membantin, “Lanjutkan sandiwaranya, Bu ... sampai aku bisa membuktikan perangai busuk kalian dan membebaskan Nita dari sini.”
“Susah ya, ngomong sama menantu kayak kamu. Belagu!” Ibu mertua mencebik dengan keras, kemudian dia berusaha bangkit dari kursi yang didudukinya saat datang tadi.Melihatnya bergerak, aku masih diam membisu. Kenyataan pahit yang ditorehkannya selama ini membuatku enggan membantu.“Gin! Kamu diam aja di situ?” seru Bang Teguh tidak terima.“Istrimu tidak tahu diri, Guh! Sudah untung kamu mau nikah sama dia, kalau enggak jadi perawan tua sekalian!” Lagi ... ibu mertua mengumpatiku.“Sudah, Bu ... jangan marah-marah lagi, biar Teguh yang ngajarin Gina nanti. Sekarang, Ibu fokus istirahat dulu, ya?” pinta Bang Teguh tanpa beranjak dari posisinya saat ini.Aku menyunggingkan senyum, ucapan serta perbuatannya sama sekali tidak sinkron. Perkataan pria itu seolah-olah telah menempatkan ibu mertua di atas tahta, namun nyatanya memapahnya ke kamar saja tidak pernah dia dilakukan.“Nita!” Ibu
“Abang mau cerai?” tantangku sekali lagi.Kutahan sekuat hati selaksa air mata yang mulai membentuk di pelupuk. Tidak boleh sekalipun beningnya jatuh untuk Bang Teguh dan ibu mertua yang dengan mudahnya menoreh luka di batinku.“Eh .. siapa yang mau cerai, Gin!”“Itu, ibu ngomongnya gitu!” sambutku seraya mendelikkan mata dengan sengaja ke arah ibu mertua.“Bu ... Ibu ngomong apa, sih? Siapa yang mau bercerai?” Bang Teguh ikut melirik ibu mertua.Aku tersenyum tipis agar tidak terlalu kentara, kemudian memicingkan mata demi melihat sepuasnya perubahan raut wajah dari ibu mertua yang ditentang oleh putra kesayangannya. Inilah Bang Teguh yang sesungguhnya, demi menghindar dari perceraian yang memberinya kerugian, dia lebih memilih menbantah ibu mertua dibandingkan sebelumnya.“Abang pakai mobilnya, ya? Panas banget Gin.” Bang Teguh kembali mengemis. Aku muntab, lantas
“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”“Ini, semuanya hutang-hutang Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.Aku yang baru saja mendapatk an jawaban atas alasan dari kehadirannya lantas membelalakkan mata kembali. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.“Saya berani pinjamin
Aku menunggu sejenak di depan rumah asing yang didatangi Bang Teguh, memperhatikan dari dalam mobil dengan jarak aman demi mengetahui pemilik dari hunian mencurigakan itu. Jika memang itu rumah Adinda bersama suamiku, lantas kenapa halamannya tidak terurus? Bahkan lebih cocok disebut berantakan bak diterjang badai sungguhan. Selang beberapa lama, motor lainnya datang. Dua pengendara yang berboncengan di atasnya ikut masuk ke rumah itu. Pintunya tertutup rapat, namun saat ada yang mengetuk, maka segera terbuka seolah-olah ada sistem otomatis yang mampu mendeteksi kehadiran seseorang. Aku menanti lagi dengan sabar, hingga siang berganti jadi sore tanpa memindahkan pandanganku meski hanya sedetik ke pintu rumah itu. Apa yang dua orang tadi dan Bang Teguh lakukan di sana? Kenapa hawanya jadi semakin mencurigakan? Di tengah kekalutan itu, satu motor lain menyusul. Sama seperti Bang Teguh dan dua orang setelahnya, pengendaranya segera masuk dengan langkah penuh per
Bang Teguh yang baru saja pulang menatapku kaget. Tatapannya matanya yang semula tersenyum jadi bulat besar. Kebingungan seakan menyelimuti pria itu, hingga tidak mampu beranjak dari ambang pintu.“Masuk, Bang ... pintunya ditutup, dong!” paparku lagi dengan senyum yang menyiratkan banyak makna.Aku sudah tidak mau lagi bertahan dengan pria ini dan keluarganya. Segala dusta yang telah mereka berikan, sudah cukup sebagai alasan untukku segera angkat kaki dari sini, melepaskan diri dari belenggu yang terus menjerat tanpa akhir.“Ka-kamu kenapa, sih? Makin hari makin aneh?” balas Bang Teguh seraya mendekatiku.Pria itu mengulurkan tangannya, hendak membelai wajahku. Tetapi aku, lebih dulu bergeser dan menjauh. Kutatap dia dengan pandangan tak suka, memberinya kejelasan jika aku tidak sudi disentuh olehnya, apalagi dengan tangan yang baru saja mencetak banyak noda dan dosa di rumah misterius tadi.“Gin!” Bang Teguh t
“Mbak, tinggal di sini, Nita mohon ....” Rintihan Nita semakin keras di sore yang menggelap ini.Rupanya, matahari sudah tenggelam, dan bulan mulai mengintip malu-malu.“Mbak, Mbak tega ninggalin Nita?” Isak tangis Nita kian mengeras meski malam mulai datang. Aku khawatir jika apa yang dilakukan oleh Nita akan membuat tetangga bertanya-tanya, kapan rumah ini bisa tenang dan bebas dari masalah.“Mbak harus pergi, Nit. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini,” jelasku pada Nita. Sama seperti sebelumnya, Nita keberatan, pelukannya menjadi semakin erat.Aku membuka pelan dekapan wanita itu, lantas menundukkan sedikit wajah demi menatap parasnya yang telah basah. Ada sekelebat rasa syukur yang melintas saat sadar jika di bawah atap yang dihuni oleh orang-orang berhati jahat ini, masih ada satu hati suci nan putih yang kian bersemi. Seandainya saja, wanita ini bisa kubawa pergi dari sini ....“Mbak, nanti
Aku mengemudi hampir satu jam lamanya di jalanan sendirian, tidak pernah terasa begitu kesepian seperti ini, karena aku menyadari mulai detik ini hidupku akan sendiri lagi. Tidak akan ada lagi suami yang bisa kujadikan sandaran hidup atau keluarga tempatku pulang, yang tersisa hanyalah diriku sendiri.Tapi tidaklah mengapa, lebih baik begini daripada harus selalu makan hati. Suami yang seharusnya menjadi pelindung, memberiku nafkah serta menyayangiku tidak pernah melakukan semua itu. Segala hal yang terjadi malah sebaliknya, dimana aku yang menjadi tameng untuknya dan keluarganya, mereka senang menerima nafkah dariku serta membenciku saat keinginan mereka tidak terpenuhi.Sepanjang perjalana ini kuusap lagi air mata yang terus mencuri celah, lalu memdekte diriku jika Bang Teguh dan keluarganya tidak pantas untuk ditangisi sama sekali. Mereka sudah memberiku luka sedalam ini, menghina dan menertawakan nasibku yang baru menikah di usia tiga puluh tahun. Padahal mereka se
“Sejak kapan kamu begini, An?” Aku berucap seraya menahan deraian air mata.Sudah tiga puluh menit berlalu, Anha juga telah bersuci dan memakai pakaian tidurnya yang bermotif beruang coklat dengan dasar merah muda. Seprei dari kasurnya sudah diganti, termasuk sarung bantal dan guling karena malam ini aku yang akan menemaninya.“Kenapa, Anha? Harusnya kamu mencariku ....” Linangan air mataku kian menjadi hingga kalimat itu menjadi terhenti. Begitu banyak permasalahan yang menumpuk di pundak hingga aku tidak lagi tahu alasan kenapa tangis ini tidak mau berhenti.“Aku putus asa, Gin. Aku mencari pekerjaan ke sana ke mari dengan modal ijazah SMA. Mencari pelayan di kafe saja aku tidak terima, Gin!” kisahnya. Anha menahan perasaannya sendiri, hingga setiap kali dia berbicara suaranya yang terdengar sengau dan sedih.“Aku juga tidak mau begini awalnya, Gin. Tapi aku dijebak orang, hingga akhirnya mulai menikmati jalan b