Seminggu sudah berlalu. Hampir setiap hari, Sadewo mengunjungi Helena. Tepat hari itu pula Sadewo berniat ingin berkunjung ke pusara Olivia. Tiba di pemakaman, Sadewo disuguhkan dengan pemandangan yang tak biasa. Di sana terlihat seseorang tengah bersimpuh di malam Olivia. Isak tangisnya terdengar jelas di telinga Sadewo. "Maafkan, Bagas, Mi. Bagas gak sengaja," ucap Bagas disela tangisnya. Tangis Bagas makin menjadi. "Bagas janji akan jadi anak penurut, anak yang bisa banggain Mami, seperti pinta Mami waktu lalu," sambungnya dengan napas tersengal. "Tepati permintaan Mamimu," sambar Sadewo sambil berjongkok tepat di samping Bagas. Bagas terhenyak dan hendak berdiri. Namun, Sadewo berhasil menahan Bagas. Pria paruh baya itu membujuk Bagas agar tidak membenci Darren dan menyudahi aksinya yang bisa mencelakai orang lain. Pun Sadewo berjanji tidak akan memenjarakan Bagas. Bagas bergeming. "Darren tidak menyuruh orang-orang itu untuk berbuat bejat terhadap adikmu.""Aku tidak per
Sepulang dari rumah Abimanyu, Darren berselancar dengan ponselnya. Ia meminta sang asistennya untuk mencarikan toko furnitur berkelas. Darren ingin mengganti semua perabot kamar sesuai yang ia mau serta mengganti cat tembok dengan warna favorit Thalita yakni nuansa putih dan gold. "Ayah perhatikan dari tadi kamu sibuk bulak-balik ke kamar tamu. Ada apa?" tanya Sadewo. "Ge akan bawa Thalita ke sini," jawab Darren santai. Sadewo mengernyit. "Maksudnya Thalita akan tinggal di sini? Sudah sembuh?""Belum. Ge ingin memantau sendiri keadaan Thalita, Yah. Nanti ada dokter dan perawat juga.""Ayah akan carikan gadis cantik untukmu."Darren menatap tajam Sadewo. "Sekali tidak, tetap tidak!"Darren melangkah hendak ke kamarnya, tetapi ia urungkan dan berbalik menatap Sadewo. "Baik, kalau aku tidak diperbolehkan membawa Thalita ke rumahku sendiri, maka Ge akan bawa dia ke apartemen."Sadewo menghela napas. "Baiklah. Mau bawa siapa saja ke mari itu hakmu. Ayah tidak akan ikut campur.""Terima
Hari demi hari Darren lewati tanpa berpaling dari Thalita. Wanita itu jadi prioritas utamanya. Setiap hari Darren menyuapi, menghibur bahkan menemani wanita itu terjaga di tengah malam. Namun, satu malam itu Darren dikejutkan dengan reaksi Thalita yang cukup mengenaskan. Tepat bangun tidur, Thalita berteriak, menjambak rambut bahkan menggigit lidahnya sendiri. "Astaga, Sayang, Kakak mohon jangan seperti ini!" seru Darren sambil mencoba membuka mulut Thalita. "Dokter gimana ini, Dok?!" Darren semakin panik. "Maaf, Tuan. Biarkan kami yang menangani." Dokter Lily dan perawat mengambil alih. Darren berdiri mematung. Tak terasa air matanya luruh bahkan terisak. "Tuhan, kasihanilah dia. Jangan biarkan dia tersiksa seperti itu, Tuhan." Batin Darren. Mau tidak mau Dokter Lily menyuntikkan obat penenang. Perlahan, Thalita tertidur kembali. "Kenapa bisa seperti itu, Dok?""Beberapa pasien pernah mengalami hal yang sama. Pengakuan mereka karena kejadian berat yang dialami hadir dalam mimp
Menyandang status suami membuat Darren senang tak terkira. Tentu saja karena Thalita'lah yang menjadi istrinya. Malam itu adalah malam pertama bagi Darren tidur berteman makhluk berjenis kelamin perempuan. Walaupun keadaan Thalita seperti itu, rasa grogi tetaplah ada. "Sayang, tidurlah. Jangan takut, di sini ada Kakak."Thalita menggeleng. Dokter Lily sempat mengatakan jika Thalita enggan untuk menutup mata karena takut kejadian itu kembali hadir ke dalam mimpi. Darren tetap melakukan berbagai cara agar istrinya itu tertidur. Posisi Thalita yang berbaring tentu saja memudahkan Darren untuk mengelus kening sampai pucuk kepala. Perlahan Thalita terpejam. Akan tetapi, mulutnya tidak bisa diam. "Mama, Papa, Kak Ge!" gumamnya. "Di sini Kakak, Sayang, tidurlah." Darren mencium pipi serta kening Thalita. Terdengar dengkuran halus oleh Darren. Senyum pun tersungging karena merasa sukses sudah membuat Thalita tidur. Tidak berselang lama, kantuk menghampiri. Darren pun tertidur. Pagi men
Satu bulan sudah usia pernikahan Darren. Akan tetapi, Darren masih harus bersabar dengan kondisi Thalita. Setiap harinya dengan telaten ia menyuapi, menghibur, dan setiap malam akan menemani sang istri bergadang. Pagi itu ada rapat penting di kantor, tetapi Darren bangun kesiangan. Dari kamar Thalita ia bergegas ke kamarnya untuk membersihkan diri. "Astaga! Kenapa sampai kesiangan begini, sih? Bagaimana kalau para investor itu kabur?" ucap Darren sambil tergesa membasuh badannya dengan sabun. Bisa saja dirinya hanya mencuci muka dan menggosok giginya saja. Akan tetapi, itu bukan tipe Darren. Ia harus tetap tampil bersih dan wangi. Handuk putih sudah ia lilitkan di pinggang. Gegas tangannya membuka pintu kamar mandi. Alangkah kagetnya kala ia mendapati Thalita tengah menatap foto pernikahannya. Foto yang terbingkai indah berukuran besar, tentu saja mencuri perhatian siapa saja yang melihat. "Sayang, kenapa ke sini?"Darren melihat pakaian kerjanya pun sudah tersedia di atas kasur.
Setelah cukup lama berendam, akhirnya Darren ke luar. Rupanya Thalita tertidur pulas terbungkus selimut tebal. Darren membawakan baju tidur untuknya dan ia simpan tepat di samping Thalita. Jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh. Waktunya makan malam, tetapi Thalita belum juga terbangun. Tangan Darren mengusap pipi bermaksud untuk membangunkan Thalita. Nihil, dengkuran halus terdengar. Terlihat tidur Thalita sangat tenang. Mungkin matanya lelah karena menangis, pikir Darren."Mana istrimu? Katanya sudah sekamar, benar itu?" tanya Sadewo. "Benar, Yah. Dan sekarang Thalita sudah tidur pulas.""Oh, syukurlah kalau sudah sekamar. Dengan kata lain dia sudah menerima pernikahan kalian, kan? Dan tentunya dia yang akan mengurusmu, bukan sebaliknya."Darren menghela napas. Ingin sekali dirinya membalas ucapan Sadewo. Akan tetapi, semua akan berujung keributan.Perhatian Darren kini teralih kepada Dokter Lily dan kedua perawatnya. "Sepertinya tugas kalian selesai dan tentunya bisa kembali
Siang itu Darren menemui rekan bisnisnya di sebuah restoran. Walaupun pikirannya kacau, tetapi dirinya harus bersikap profesional. Lagi-lagi pertemuan bisnis itu tidak membuahkan hasil. Bagaimana tidak? Ternyata pria yang ditemuinya itu adalah ayah dari Amanda. "Katanya Anda menolak kerjasamanya, ya?" Darren tersenyum samar. "Iya. Maaf, karena putri Anda sudah lancang menghina istri saya."Pria paruh baya itu terkejut karena tidak menyangka Darren sudah menikah. "Wah, apa saya yang ketinggalan berita?""Kami belum melaksanakan pesta karena kesibukan masing-masing."Pria paruh baya itu kembali berkata, bahwasanya semula dirinya memang ingin menjodohkan sang putri dengan Darren. Akan tetapi, harapannya itu kini pupus sudah. "Tapi, semoga saja dengan kita bekerja sama, Anda bisa dekat dengan putriku. Jadi istri kedua pun tak masalah sepertinya."Pria itu terus saja memuji kecantikan, kepintaran, dan keahlian putrinya. Darren mengernyit. Ucapan pria itu sungguh membuatnya merasa muak
Setelah tiba di rumah sakit yang dituju, Dokter segera mengecek kondisi Darren. Hasilnya adalah Darren dianjurkan untuk dirawat."Papa pulang saja. Jangan khawatirkan Ge. Ge baik-baik saja, kok.""Kamu ini, kalau baik-baik saja tidak mungkin dirawat!"Darren tersenyum. "Papa beri kabar ayahmu dulu."Tangan Abimanyu hendak merogoh ponsel, tetapi Darren mencegahnya. "Jangan!""Kenapa? Kalau sesuatu terjadi denganmu, Papa yang akan disalahkan nanti.""Dan Thalita juga akan ayah salahkan, Pa. Itu masalahnya.""Tidak masalah. Memang istrimu itu pemicu semua ini, bukan?"Abimanyu menghubungi Sadewo. Darren hanya pasrah dengan apa yang mertuanya itu lakukan. "Ayahmu akan ke sini. Dan Papa akan pulang saat beliau tiba."Darren mengangguk. Tidak berselang lama, Sadewo tiba. Wajah panik sangat terlihat jelas dari pria paruh baya itu. Apalagi melihat selang infus dan oksigen terpasang. "Bagaimana kondisinya?" tanya Sadewo. "Dokter menyarankan rawat inap," jawab Abimanyu. "Kau yang mengant