Share

Bab 3

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 3

"Nggak usah bawa baju banyak-banyak!" ucap Bude Marni ketika menjemput Puspita.

Sesuai kesepakatan, akhirnya Puspita setuju menjadi istri majikan Bude Marni, setelah selesai ujian. Sertifikat yang kemarin ditebus dari Juragan Karta, diberikan kepada Naning sebagai imbalannya. Uang sekolah Puspita dilunasi, begitupun dengan uang sekolah adiknya.

"Baju banyak darimana, Bude. Wong bajuku hanya itu-itu saja," tukas Puspita sembari melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam ransel lusuhnya.

"Apa nggak ada baju yang bagusan sedikit?" Puspita menghentikan aktivitasnya, kini dia menatap Bude Marni lekat-lekat. "Bajuku hanya ini Bude, tak ada yang lain."

Bude Marni menghela nafas. "Baju kok blawus semua, malu-maluin saja! Kamu itu mau ke kota, mau ketemu orang kaya. Kok bajumu kayak .... Wes aku rak tego ngomong aku."

"Lah, mau gimana lagi, Bude. Memang adanya itu. Apa aku nggak jadi ikut Bude, aja?" kesal Puspita. Sudah tahu dia anak orang miskin, mana mampu beli baju bagus. Bisa makan sehari tiga kali aja, sudah Alhamdulillah.

"Eh, enak aja! Bude sudah keluar uang banyak, kamu nggak jadi ikut," ketus Bude Marni. Padahal semua uang yang digunakan adalah uang majikannya.

"Ya sudah, Bude nggak usah protes. Kalau nggak suka aku bawa baju-baju ini, ya belikan yang baru, dong!" sahut Puspita.

"Nglunjak, kamu ya! Wes, Ayo kita berangkat, sebentar lagi mobil yang menjemput kita datang! Sana! Pamitan sama ibumu, sama adekmu! Pamitan juga sama tetangga kanan kiri! Kalau ditanya, bilang aja kamu ikut kerja aku di kota. Jangan ngomong kalau mau jadi istri sementara majikanku, biar nanti kalau kamu pulang, nggak ada yang tahu kalau kamu ini sudah pernah menikah dan punya anak!" ucap Bude Marni panjang lebar.

Sebenarnya Puspita ini jengkel sama Bude Marni, yang tega memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Menolong tapi meminta imbalan yang jauh lebih mahal. Ibarat kata, Puspita ini keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Sama-sama menderita. Jaman sekarang, orang baik dan tulus sangat langka. Mungkin hanya ada dalam dongeng saja.

"Di dunia ini mana yang gratis, semua ada harganya," gumam Puspita dalam hati.

"Bu, Pita pamit. Ibu di rumah jaga kesehatan, ya? Nggak usah mikir macem-macem, Pita pasti baik-baik di sana." Erat Puspita memeluk tubuh ibunya, seolah ini pertemuan terakhir mereka. Ibu dan anak itu saling bertangisan.

"Kamu juga hati-hati, ya. Jaga diri baik-baik. Kamu harus bisa membawa diri, jangan sampai kamu mendapat masalah di sana. Jangan lupa memberi kabar kalau sudah sampai nanti." Andai bukan karena keadaan yang memaksa, Naning tak rela melepas Puspita pergi ke kota.

Puspita melerai pelukan, diciuminya wajah sang Ibu, dan terakhir diciumnya punggung tangan wanita yang melahirkannya itu.

"Mohon doanya, Bu." Sekali lagi Puspita memeluk erat tubuh ibunya.

"Mbak Pita .... " Sari menghambur ke pelukan kakaknya. Gadis kelas delapan SMP itu menangis sejadi-jadinya.

"Sudah, nggak usah nangis! Mbak Pita pasti pulang, kalau pekerjaan Mbak sudah selesai," ucap Puspita, sambil mengelus lembut punggung adiknya.

Sari tak pernah tahu alasan sebenarnya, Puspita meninggalkan rumah. Yang dia tahu, Puspita kerja di kota, karena sudah lulus sekolah. Demi mencari uang untuk dia dan ibunya.

Sari mengangguk pelan. "Jaga ibu, jangan suka main nggak jelas! Belajar yang rajin! Itu HPmu dibelikan kuota, biar Mbak bisa ngirim WA, nanti," lanjut Puspita. Sari melepaskan pelukannya, lalu menatap lekat-lekat wajah Puspita.

"Mbak Pita kan, nggak punya HP? Bagaimana bisa WA aku?" tanya Sari dengan wajah bingung. HP yang dibawa Sari, adalah milik Puspita. Itu pun HP jadul dengan spek rendah.

"Gampanglah itu, nanti aku pinjam HPnya Bude Marni," tukas Puspita. Bukankah dia akan menikah dengan orang kaya? Puspita rasa, membeli HP untuknya adalah perkara mudah bagi suaminya. Begitu pikir Puspita.

"Iya, Mbak. Jangan lupa ceritain kehidupan Mbak Pita di kota, ya?" pinta Sari dengan polosnya.

"Ya." Singkat Puspita menjawab. Kehidupan macam apa yang dia ceritakan ke adiknya nanti? Dia tak lebih hanya wanita piaraan yang harus mengandung anak majikan. Sebuah kehidupan, yang memalukan untuk diceritakan.

"Wes, wes. Wes rampung pamite! Dari tadi tangis-tangisan, koyo sinetron wae! Ayo Pita! Cepet pamit sama tetangga sana! Nggak usah lama-lama!" ucap Bude Marni, galak.

"Iya Bude."

Puspita melangkah menuju rumah tetangga, hanya rumah terdekat saja yang dia datangi. Pamit pada satu rumah, dijamin satu kampung akan tahu semua, kalau dia pergi ke kota.

"Sudah semua? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Bude Marni ketika melihat Puspita hanya membawa ransel lusuhnya saja.

"Iya, Bude."

"Wes, ayo masuk! Kita sudah kesiangan ini," ucap Bude Marni, sembari membuka pintu mobil yang sudah menunggunya.

Sebelum masuk, Puspita berhenti sejenak, menatap rumahnya. Rumah yang penuh kenangan, tempat dia bernaung sejak lahir hingga kini. Tangis dan tawa pernah dilalui di rumah itu, rasanya berat untuk meninggalkannya.

Puspita terus melambaikan tangannya ke arah Ibu dan adiknya, hingga mobil meninggalkan halaman rumahnya.

"Aku tahu, kamu sedih Puspita. Tapi semua ini demi kebaikan kamu dan keluargamu. Adikmu butuh melanjutkan sekolah, ibumu juga butuh biaya sekolah. Dan semua itu bisa kamu wujudkan dengan menikahi Tuan Dana. Kerja sampai bungkuk pun, kamu nggak bakal dapat uang sebanyak itu. Apa sih, yang bisa dikerjakan oleh lulusan SMA? Paling jadi kasir mini market, pelayan toko, atau kerja di pabrik dengan gaji tak seberapa," ucap Bude Marni, ketika mobil sudah meninggalkan kampung mereka.

Puspita tak merespon, dia sibuk menyeka air matanya, yang dari tadi tak berhenti mengalir.

"Wes, to. Ndak usah nangis! Apa sih yang kamu tangisi? Wong sebentar lagi hidup enak, kok pakai nangis!" Puspita masih bergeming, meski dia sudah mengambil keputusan. Nyatanya hatinya masih menolak.

Puspita tak bisa membayangkan, kehidupan seperti apa yang akan dia jalani nanti. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia kenal, tidak dia cintai sama sekali. Apalagi pernikahan ini hanya pernikahan kontrak, yang akan berakhir setelah dia melahirkan keturunan untuk keluarga itu.

Yang paling Puspita takutkan, laki-laki yang menikahinya ini adalah pria kasar, suka main tangan, sombong dan selalu merendahkannya. Dia takut diperlakukan tidak layak, apalagi dia merasa tidak cantik, tidak seksi. Tak ada yang menarik pada dirinya.

"Puspita." Bude Marni meraih tangan gadis lugu itu, dan membawanya dalam pangkuan. ditepuknya tangan itu beberapa kali.

"Kamu takut?" Puspita mengangguk pelan.

"Kamu nggak usah takut, ada Bude. Bude akan membantumu kalau ada masalah." Nada suara Bude Marni terdengar lembut, tak lagi galak seperti tadi.

"Sudah kubilang, Pak Dana itu orangnya baik. Dia tidak pernah memandang orang dari status sosialnya. Jadi, kamu nggak usah takut lagi. Semua akan-akan baik saja," ucap Bude Marni meyakinkan Puspita.

"Semoga, Bude. Semoga semua berjalan seperti rencana."

Puspita tak pernah tahu, masalah besar sedang menantinya di kota.

Bersambung ....

Jangan lupa subscribe dan review bintang lima. Terimakasih ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status