Share

Bab 3. Hutang

Sepulang dari rumah Ibu mertua, wajah Mas Rizwan tampak lesu. Entah apa yang membuatnya lesu dan tak bergairah seperti itu. Tapi tidak munafik jika aku bahagia melihatnya seperti itu, kali aja dia sadar dan tidak konslet lagi.

"Gimana, Mas?" tanyaku dan menghampirinya yang sedang duduk dengan wajah lesu. Kukira dia akan berubaha bahagia setelah dari rumah ibunya namun ini malah sebaliknya.

"Katanya besok dibayar," ucapnya tanpa melihatku di sampingnya. Benar-benar aku disamakan dengan hantu yang tidak bisa dilihat.

"Oh, ya sudah, besok aku tunggu. Kalau tidak dibayar, biar aku samperin saja ke rumahnya," pungkasku dipenuhi rasa emosiku.

Rasa emosiku sepertinya sudah mulai mendarah daging seperti ini. Biarkan jika nantinya aku dibilang seperti Mak Lampir yang penting bisa mengalahkan dan menyadarkan keluarga toxic ini.

"Kamu kenapa sih, uang dua ratus ribu aja diributin?" tanya Mas Rizwan saat melihatku sudah menggebu-gebu seperti Mak Lampir.

"Dua ratus ribu itu hasil menabungku selama jadi buruh cuci. Memang kecil, tidak sebesar gajimu sebagai manajer, Mas. Hanya saja merasa aneh gitu. Ngakunya banyak uang tapi utang dua ratus ribu saja tidak dibayar-bayar. Aku juga butuh makan untuk diriku sendiri," jawabku.

"Itu karena kamu kebanyakan gaya tidak mau menerima pemberianku," tukas Mas Rizwan penuh percaya diri. Ih, lagi-lagi ingin kuberi kopi sianida saja melihat orang model begini.

"Mending aku nagih uangku, Mas. Dari pada nunggu uang yang serba kurang darimu. Apalagi kamu merasa memberiku uang banyak. Coba deh kamu atur ya uang satu juta lima ratus buat keperluan sebulan. Ah ya! tuh Mas, token listrik udah berbunyi waktunya minta diisi," ucapku pada Mas Rizwan. Selama ini dia tak pernah tahu nominal yang aku gunakan membeli token listrik setiap bulannya.

"Iya, iya aku isi, berapa biasanya kamu ngisi?" tanya Mas Rizwan

"Tiga ratus ibu," jawabku singkat sembari melihatnya yang terkejut dengan pemngeluaran listrik setiap bulannya.

"Mahal amat," pungkas Mas Rizwan dengan wajah tanpa dosa mengatakan token seharga tiga ratus ribu termasuk mahal.

Mas Rizwan memang tidak pernah mau tahu semua pengeluaran yang dibutuhkan selama satu bulan. Yang dia tahu hanya semua sudah siap tanpa mempedulikan nafkah yang diberikannya cukup atau tidak. Jangankan peduli, tanya saja tidak pernah.

"Namanya juga listrik, coba diisi air ya pasti murah bin gratis, dan bonus kesetrum tuh badan!" ucapku sambil berlalu. Lebih tenang seperti ini dari pada harus mengurus keuangan yang tidak karuan.

"Laila, Laila! belikan bahan makanan untuk masak sekarang dan besok, ini uangnya," ucap Mas Rizwan sambil memberikan uang seratus ribu kepadaku yang telah berlalu meninggalkannya keluar rumah. Aku duduk di kursi yang terdapat di teras rumah kontrakan ini.

"Loh, tadi katanya makan di rumah Ibu, kok minta buatkan makanan," tanyaku keheranan. Apa Ibu mertua tidak masak? Ah, aku tidak peduli sekalipun.

"Iya, tidak jadi. Soalnya Ibu tidak masak, ibu lebih suka beli makanan di luar terus," ucap Mas Rizwan. Betul sekali tebakanku, kulihat setiap hari Ibu mertua membeli makanan yang enak-enak tanpa mempedulikan berapa jumlah uang dihambur-hamburkan demi memenuhi gengsinya.

"Baiklah, tapi seratus ibu hanya dapat beberapa sayur saja, Mas. Gas elpiji habis, gula, kopi , beras udah habis semua," pungkasku menjelaskan semua keperluan yang harus dibeli. Biar dia tahu jika semua bahan makanan itu dibeli pakai uang bukan pakai bau mulutnya saja.

"Ya, ya, terserahlah. Pokoknya bisa makan untuk malam ini dan besok," tukas Mas Rizwan.

Segera ku menuju ke warung berbelanja keperluan dapur yang dibutuhkan saat ini dan besok. Bu Narsi melihatku heran dengan belanjaan banyak begini. Mungkin tumben saja, karena biasanya aku masak menu sederhana saja.

"Total semua berapa, Bu?" tanyaku setelah memilih bahan makanan.

"Total semuanya sembilan puluh delapan ribu. Oh ya, Mbak Laila, saya mau tanya nih. Apa bener Mbak Laila sering meminta uang ke Ibu mertua sampai-sampai hutangnya di warung belum dibayar, Bu. Saya juga butuh modal untuk muterin modal," ucap Pemilik Warung, sebut saja Bu Narsih.

Aku tentu saja terkejut dengan laporan Bu Narsih yang mengatakan jika Ibu mertua memiliki hutang namun tak bisa membayar dengan alasan aku selalu meminta uang padanya. Benar-benar kelewatan, padahal selama ini aku tidak pernah menuntut apapun pada Ibu mertua.

"Maaf, Bu Narsih. Siapa ya yang ngomong seperti itu?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Mbak Rina sama Ibu mertua Mbak Laila," jawab Bu Narsih. Emosiku sydah naik ke ubun-ubun namun sebisa mungkin aku tidak perlu menunjukkan emosiku kepada orang lain.

"Oh gitu, Bu. Terserah Bu Narsih saja, mau percaya apa tidak soalnya cerita itu tidaklah benar. Jatah bulanan saya lebih kecil dibanding Ibu mertua, Bu. Bahkan tak jarang Ibu mertua masih minta uang bulanan ke saya. Lantas, apa Bu Narsih tidak lihat saya sampai jadi buruh cuci karena untuk menutupi kekurangan belanja bulanan saya," ucapku membuat Bu Narsih garuk'garuk kepala yang tak gatal. Sepertinya Bu Narsih bingung dengan dua penjelasan yang berbeda.

"Iya, ya, Mbak. Kalau Mbak Laila banyak uang, ngapain juga Mbak Laila jadi buruh cuci padahal gaji suami Mbak Laila gede loh," ucap Bu Narsih yang heran dengan ucapanku. Kini Bu Narsih mulai terpancing oleh ucapanku.

"Bisa dilihat sendiri kan, Bu. Saya permisi dulu, Bu," ucapku pamit undur diri. Tak hentinya aku dijalan mengomel sendiri karena perbuatan mertua dan kakak iparku itu. Tak ada lelahnya mereka menjelekkan diriku bahkan tak segan memfitnahku.

Sesampai di rumah, aku membongkar semua tas isi belanjaan dari warung Bu Narsi dan tiba-tiba dia menghampiriku yang sedang membongkar isi belanjaan.

"Cuma dapat ini belanjaanya?" pertanyaan Mas Rizwan saat melihatku membongkar belanjaan.

"Terus maunya minta berapa banyak, Mas?" tanyaku pada Mas Rizwan. Dia hanya menatap semua belanjaan yang kukeluarkan sembari garuk-garuk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.

Benar-benar dia selalu menguji kesabaranku. Kutarik tangannya dan kuperlihatkan semua tempat bahan makanan yang sudah kosong.

"Lihat semua kebutuhan di dapur sudah habis. Uangnya juga cuma seratus ribu. Nih! baca catatan semua belanjaannya," kusodorkan bon dari warung Bu Narsih.

"Mahal amat kebutuhan dapur, jangan-jangan kamu korupsi," Emosi kini sudah naik ke ubun-ubun mendengar ucapannya yang enteng menuduhku korupsi.

"Kalau mau murah, makan rumput saja, Mas. Tidak usah makan nasi. Rumput ada banyak di halaman belakang dan gratis pula, lumayan bisa bersihkan halaman tanpa keluarkan duit tambahan untuk biaya pembersihan rumput apalagi bisa ngirit uangmu." entahlah, berapa cc otak suamiku ini. Tidak bisa mikir sama sekali, mungkin otaknya diletakkan di lutut dan kebalikannya.

"Aku kan hanya bercanda, Lai!" selalu saja mengelak jika aku sudah di ambang batas kemarahan.

"Terus apa tadi, Kamu bilang aku korupsi?Kayak ngasi uang seratus juta saja, bilang aku korupsi. Nih kembaliannya dua ribu, lumayan buat beli permen," ucapku sambil menyodorkan uang sisa belanja. kuambil beberapa bahan makanan untuk menu makan malam Mas Rizwan. Meski aku kesal padanya tetapi aku masih berkewajiban membuatkannya makan malam.

"Galak amat kamu sekarang," tukas Mas Rizwan. Jujur saja, aku sudah tak tahan ingin getok saja pakai sendok sayur.

"Kalau aku tidak galak, kamu bisa seenaknya sama aku, Mas. Pembantu saja dibayar sedangkan aku?" tukasku sembari menunjuk diriku.

"Kamu sudah mulai perhitungan jadi istri," pungkas Mas Rizwan yang selalu saja kembali membuatku kesal karena ucapannya.

"Kamu duluan yang memulai perhitungan. Sudah sekarang kamu masak sendiri, capek aku debat dengan kamu, Mas. Aku diam kamu malah ngelunjak," ucapku hendak berlalu meninggalkannya di meja makan.

"Iya Lai, maaf. Sekarang kamu masak deh, aku udah laper," ucap Mas Rizwan yang mulai takut dengan kegalakanku malam ini.

"Kalau aku belanja, kamu cukup diam saja, Mas. Lagian ngapain aku korupsi uangmu, aku bisa cari uang sendiri. Oh ya! besok aku udah mulai bekerja. Jadi kalau udah gajian kita urusin keperluan sendiri-sendiri. Tenang aja aku enggak bakal minta uangmu," ucapku. Wajahnya mendadak pias mendengar aku besok mulai bekerja.

"Ka, kamu berkerja?" tanya Mas Rizwan terbata-bata mengetahuiku sudah siap bekerja. Sepertinya dia keberatan namun aku sudah lelah dengan sikap ketidak adilannya padaku.

'Ah, bodo amat melihatnya seperti itu. Yang jelas aku sudah lelah dengannya saat ini'

yuk saksikan part selanjutnya!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
ah suami gila .dg istri pelit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status