Mobil sport berwarna putih terparkir di teras rumah. Benar, Aksha sudah pulang. Azura tergesa-gesa membuka pintu tanpa tahu dari dalam Aksha akan keluar. Sehingga ia menabrak Aksha.
Bugh!
“Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,” bentak Aksha memegang bibir yang terluka beradu dengan kening Azura.
“Maaf, aku enggak tau kalau kamu mau keluar. Siapa suruh keluar nggak kasih aba-aba," jawab Azura mencibik lalu mengelus kening yang memerah.
“Sakit enggak?” tanya Azura menjijit untuk menyentuh bibir bawah Aksha dengan telunjuknya.
Padahal kening Azura juga sakit, tapi tidak mengaduh seperti yang Aksha lakukan.
“Ya, iyalah sakit masak enggak,” kesal Aksha meringis.
“Duh, kasihan. Sini nunduk dikit,” pinta Azura melihat bagian tengah bawah yang terluka, ada bercak darah yang menempel.
“Mau ngapain, ah?” tanya Aksha heran disuruh menunduk.
“Mau diobati enggak? Kalau gak mau ya sudah tahan sendiri sakitnya. Lagian cuma luka kecil sewotnya sudah seRT." Ia memutar bola mata malas.
Azura mendorong Aksha yang menghalangi jalan Azura. “Minggir aku mau masuk! Ngapain tegak di depan pintu udah kayak satpol PP aja."
Aksha malah tidak bergerak sedikitpun dari pintu tempat ia berdiri.
Azura jengkel pria ini maunya apa sih? diobati gak mau, giliran mau masuk gak boleh. Dasar cowok gengsian.
“Eh, Tunggu.” Aksha menahan Azura.
“Apaan sih, lepasi Aksha. Jangan pegang-pegang aku.” Azura menarik lengannya yang di pegang suaminya.
“Katanya mau obatin, aku. Kok malah pergi. Sebenarnya ikhlas nggak sih!" gerutu Aksha merendahkan kepalanya.
“Makanya sini coba lihat.” Azura menyentuh bibir Aksha dengan ibu jari. Lalu Azura meniup-niup tepat di bibir suaminya.
Hembuskan napas hangat menyapu wajah Aksha. Bibir yang mungil mengerucut menggoda Aksha untuk tenggelam di sana.
Cup!
Azura tersentak matanya membulat melebar memukul dada Aksha. Pria itu kembali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya.
Aksha mengabaikan pukulan Azura. Ia terus melumat bibir manis Azura yang selalu membuat candu. Untuk mengulangi terus dan terus. Aksha melingkari pinggangnya ramping Azura agar menempel di kulitnya. Hingga membuat Azura condong ke depan.
Tinggi Aksha menjadikan Azura berdiri menggunakan ujung jari kakinya.
Aksha sadar akan hal itu. Lalu ia mengangkat tubuh Azura dengan kedua tangannya. Mengaitkan kaki Azura di pinggangnya. Meraih tangan Azura untuk melingkar di lehernya.
Kemudian menyadarkan punggung Azura di kosen pintu. Lidahnya mulai bermain-main di telaga hangat Azura. Jemari panjang Aksha menyelusup masuk ke dalam kaos Azura.
Azura cepat menahan tangan yang hendak menyentuh bagian tubuh lainnya.
Mendapat reaksi penolakan, Aksha melepaskan tautannya. Dengan dahi yang melipat memandangi wajah Azura seolah bertanya.
“Malu dilihat tetangga nanti. Di mana harga diriku di mata mereka,” ucap Azura terengah-engah memberi kode bahwa masih di depan pintu.
Dan benar saja ada tetangga yang lewat dan berbisik setelah menyaksikan dua sejoli tidak tahu malu memerkan kemesraan mereka.
“Jeng, lihat tuh! Gak ada malunya begituan di depan rumah. Gak malu apa di lihat orang. Anak muda zaman sekarang tidak punya sopan santunnya.”
“Usss, jangan urusi orang. Tidak baik, yuk kita pergi” balas tetangga satunya menarik temannya.
Aksha menoleh ke samping, melihat dua ibu-ibu berbisik menggosip. ah, ia lupa kalau masih di depan pintu. Aksha memajukan wajahnya ke wajah Azura dan berbisik. “Mau lanjut di kamar,” tawar Aksha menggigit daun telinga Azura.
Ajakan itu terdengar seksi di telinga Azura, tetapi bukan berarti ia bisa terpengaruh.
“Sadar, Azura jangan tergoda. Ingat! Aksha anak dari Dahlia. Perempuan yang sudah buat hidup kamu hancur,” batin Azura.
Azura mendorong Aksha, meregang kakinya untuk turun dari pinggang Aksha. Berlari memasuki kamar.
Aksha terkekeh melihatnya sambil mengelap sisa saliva di sudut bibir. Begitu menggemaskan mempermainkan perasaan Azura.
Di dalam kamar mandi Azura mencuci bibirnya berulang kali hingga membengkak. Meski tadi sentuhan suaminya terkesan lembut tidak kasar seperti kemarin. Tetap saja Azura benci setiap yang ada pada Aksha.
Ia belum siap sepenuhnya menyerahkan dirinya pada pria yang jelas tidak mencintainya. Sedangkan dirinya belum move on dari almarhum Hanan.
“Tenang, Zura. Pesan Pak Tua, kamu harus bersikap lembut agar Aksha takluk di kakimu. Dengan begitu, mudah untuk membalas Dahlia.” Azura berbicara sendiri di depan cermin wastafel. Azura meyakinkan dirinya untuk bertahan dengan sikap Aksha yang berubah-ubah.
“Zura, buka pintunya. Aku tau kamu di dalam," panggil Aksha mengetuk pintu kamar mandi.
“Ya bentar,” sahut Azura dari dalam.
"Cepat sedikit!"
"Iya sabar."
Azura memakai baju dengan terburu-buru. Setelah itu membuka pintu dengan kesal. Ada enggak satu hari saja tanpa Aksha. Mungkin akan terasa damai rumah ini.
“Lama amat buka pintunya,” protes Aksha, “ Sini cepat, aku lapar nih!” Aksha menarik Azura ke dapur.
“Apa nih?” Azura melongok di meja makan sudah tersaji dua mangkuk mie instan lengkap dengan telur mata sapi.
Tidak mungkin Aksha yang masak. Mana bisa dia masak? kerjaannya setiap hari marah tidak jelas. Tumben hari ini belum dia manis sekali atau jangan-jangan Aksha kesurupan setan.
“Hei, kok melamun,” tegur Aksha menyadarkan lamunan Azura.
Azura menarik keluar kursi untuk ia duduki.
Aksha dengan lahap memakan mienya menggunakan sumpit yang terbuat dari kayu.
Azura berdiri menimbulkan suara gesekan kursi. Aksha hanya memperhatikan gerak Azura. Rupanya Azura mencari sendok dan garpu. Azura tidak biasa makan menggunakan sumpit. Ada yang gampang kenapa cari yang sudah? Hidup sudah susah jangan dibuat makin susah.
“Cepat makan, keburu tuh mie mengembang,” suruh Aksha yang sudah tandas makanannya.
“Iya bawel,” decak kesal Azura.
"Kamu suka sekali membantah perkataanku."
Bunyi notifikasi ponsel Aksha di atas meja menjadi perhatian Azura.
Sorot mata Aksha mulai lain. Ada kemarahan yang akan meledak sebentar lagi. Aksha menggebrak meja hampir saja Azura tersedak karena terkejut. Makanan tumpah.
"Ada apa?" Azura kebingungan.
Oh Tuhan drama apa lagi yang akan terjadi. Baru saja adem ayem hidup Azura.
"Kau tanya ada apa? jangan pura-pura tidak tahu, Azura!"
"Aku benar-benar tidak tau. Bisakah kita bicara baik-baik bukan dengan emosi."
"Alah, kamu mencoba untuk menipuku, 'kan?"
Azura semakin tidak paham yang dimaksd Aksha. Ia sendiri tidak melakukan kesalahan yang fatal lantas mengapa tuduhan Aksha menyakitkan.
"Menipu apa? sungguh aku tidak mengerti."
"Sepertinya kamu harus dikasari baru bisa patuh."
"A-apa yang ingin kamu lakukan?" Azura ketakutan
Aksha mengulas senyum jahat.
"Membuatmu tidak macam-macam lagi."
Azura meronta-ronta sulit bernapas, wajahnya sudah pucat pasi. Mata melotot seolah akan keluar. Tubuhnya mulai melemah tak bertenaga. Namun, Aksha yang sudah terbawa emosi mengabaikan kondisi Azura. Pukulan yang bertubi-tubi diberikan Azura
ke pergelangannya Aksha sebagai bentuk perlawanan perlahan berhenti.
“Ak-Aksha,” ucap Azura terbata-bata.
Azura menahan jari Aksha ketika mencekik lehernya dengan kencang. Sisa tenaga milik Azura di gunakan menendang lutut Aksha yang membungkuk setengah badan. Terus mencengkam lehernya dengan tatapan kebencian. Apa ini akhir dari hidup Azura? Apa doa Azura di pemakaman dikabulkan Tuhan? Jika iya, Azura berharap ini tidak menyakitkan. Terdengar suara samar bernada kuatir memanggil nama Azura terus menerus. “Hei, Zura bangun!” Seseorang menepuk-nepuk kedua pipi Azura. Aksha kebingungan membangunkan Azura, air mata mengalir di pipi Azura. Gadis itu terus saja mengingau tidak jelas. Tangan Azura mengepal meremas sprei seakan menahan sakit. Entah apa yang diucapkan Azura yang tersedan-sedan. "Maaf,” batin Aksha untuk kekasarannya tadi di meja makan. Tidak ada cara lain, Aksha terpaksa melakukan ini. Aksha melayang satu tamparan mendarat di pipi Azura. Efek tamparan itu menyadarkan Azura dari mimpi buruknya. “Tidak, jangan!” pekik Azura tersadar dari mimpi buruknya. Jantung Azura saling b
Siang ini dengan cuaca panas di kota Jakarta. Teriknya matahari yang seakan sejengkal kepala manusia itu bikin gerah setiap orang. Untung saja pria bermata biru itu memiliki penyejuk udara di ruangan. Setidaknya Aksha tidak akan merasa kepanasan. Terdengar suara bunyi ketukan dari luar pintu. Mengalihkan sorot mata Aksha ke arah pintu. “Masuk.” Perintahnya dengan suara bariton terdengar tegas. Pintu ruangan itu pun terbuka setelah mendapat izin dari pemiliknya. Rupanya seorang wanita cantik dengan pakaian serba minim. Berlenggok-lenggok mendekati Aksha. Memberikan senyuman yang menggoda. Aksha tidak merespon senyuman wanita itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sekedar menyapa saja tidak Aksha lakukan. Wanita itu berjalan mendekati Aksha. Dia langsung merangkul Aksha dengan manja dari belakang. Melepaskan rasa rindu yang berkecamuk di dadanya. Dengan agresif, Ivana tanpa segan tangannya masuk dari cela kerah kemeja berwarna Grey itu. Menelusuri dada atletis Aksha yang sedikit terbuk
Barak terdiam memikirkan perkataan Aksha barusan. Memang benar Barak menyukai Ivana namun, hanya sebatas mengagumi kecantikan yang dimiliki Ivana Mengingat wanita itu lebih tertarik pada Aksha. Barak pikir lebih baik mengalah dan tidak ingin bersaing dengan teman sendiri. Bertengkar karena memperebutkan seorang wanita bukanlah gaya Barak. “Bukankah dia lebih menyukai kamu, Aksha?” tanya Barak memperbaiki duduknya. Ia penasaran apakah Aksha juga sama menyukai Ivana. Aksha terkekeh mendengar itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Ivana. Ia tau Barak sedang mengali informasi tentang perasaannya. Pertama kali bertemu Ivana gara-gara tersandung kasus penipuan. Aksha yang menjadi pengacara buat Ivana dalam menindak lanjuti kasus itu. Aksha selalu bersikap profesional pada setiap kliennya. Tidak melibatkan emosional di sana. Ivana saja yang menganggap berlebihan atas sikap perhatian yang diberikan Aksha. Ia tidak membedakan setiap kliennya selalu diperlakukan sama tanpa memandang status
Ketika Hanan, tak ada lagi di sisi Azura terkadang air matanya jatuh begitu saja tanpa permisi. Teringat akan canda tawa yang pernah dilaluinya, memupuk semangat hari Azura. Asanya pernah terbang tinggi ke awan sampai ia sulit meraihnya kembali. Pernikahan yang diimpikan Azura sampai kematian menjemput, kini sebatas angan-angan. Pria yang paling dicintai pergi untuk selamanya, ia masih terkungkung di masa lalu. Satu masa di mana saat ini Azura tidak menginginkan ada pria lain menggantikan posisi Hanan. Azura kembali mengetuk pintu setelah tak mendapat sahutan dari dalam. Malam semakin dingin, angin kencang menerpa tiap helai rambut sebahu Azura. Tangannya melipat, memeluk, mencari kehangatan di dalam dirinya. Cukup lama menunggu barulah pintu dibuka. Wajah pucat Azura memandang kesal Aksha. “Ingat pulang,” sindir Aksha menatap tajam. Azura diam seribu bahasa ia malas berdebat dengan Aksha. Perdebatan panjang tak ada habisnya jika dilawan. Ia selalu ingat perkataan Albert, ‘Keras hat
Azura Angraeni memiliki nama asli yaitu Avantika Hadinata lahir dari pasangan Ruslan Hadinata dan Arumi Hadinata. Ruslan Hadinata adalah seorang pengusaha batu permata yang sukses di Jakarta. Kesuksesan tidak membuat Ruslan dan Arumi bahagia. Memilik rumah mewah dan aset triliunan tiada guna bila tak memiliki seorang anak. Pernikahan yang sudah hampir menginjak lima tahun belum ada pertanda kehamilan pada Arumi. Soraya merupakan sahabat karib dari Arumi. Melihat Arumi bergelimang harta dan memiliki suami yang tampan membuat Soraya iri hati. Soraya hanya seorang gadis biasa mempunyai kekasih yang selalu menyiksanya. Bahkan kerap kali memukul Soraya bila tak mendapatkan apa yang ia mau. Terkadang Soraya dijual oleh kekasihnya pada lelaki hidung belang untuk mendapatkan uang. Kekasih Soraya hobi berjudi hingga Soraya terpaksa menjual diri untuk membayar hutang sang kekasih. Hidup penuh tekanan merayu Soraya untuk merebut suami sahabat sendiri. Kala itu Soraya tanpa sengaja bertemu Rusla
“Zuraaa,” teriak histeris Aksha berlarian mendekati Azura. Walau sempat terjatuh, lutut yang berdarah tak dipedulikan Aksha. Ia terus berlari hingga berhenti melihat Azura yang sudah bersimbah darah.Azura pingsan, dia tak sadarkan diri dengan keadaan kepala berdarah. Luka-luka di berapa bagian tubuh lain. Akibat gesekan aspal.Aksha duduk dan memeluk tubuh Azura yang lemah tak berdaya. Mata yang tertutup, darah yang mengalir dari kepala istrinya. Berkali-kali Aksha menciumi kening Azura. Berdoa agar Azura baik-baik saja.“Apa yang terjadi?” tanya sayup Aksha pada tukang sayur yang mematung menatap Azura.“Neng, Azura tadi menyeberangi jalan. Mendadak mobil box putih dari arah kanan menabraknya,” tutur tukang sayur yang sudah gemetaran melihat darah.“Lalu ke mana perginya mobil itu? apa bapak mencatat nomor plat mobilnya?” tanya Aksha lagi.“Kabur ke arah jalan raya. Maaf saya tak sempat melihat plat mobilnya,” jawabnya tukang sayur menyesali kelalaiannya.Aksha tak henti memanggil A
Dokter itu tampak diam sejenak lalu menarik napasnya. Aksha yang mengamati mimik Dokter Herman menjadi harap cemas. Menunggu jawaban keluar dari mulut Dokter Herman yang mengatup rapat. “Pasien sudah sadar tapi ...,” ucap dokter Herman menahan perkataannya. “Tapi apa Dok?” tanya Aksha yang bingung dengan kediaman dokter ini. “Tidak ada yang serius hanya saja pasien sedikit linglung dengan yang terjadi. Jadi Bapak harap bersabar ya,” saran dokter Herman memberi angin segar untuk Aksha. Setidaknya Azura baik-baik saja dulu. Soal itu nanti ia pikirkan. “Apa pasien sudah boleh dikunjungi?” tanya Aksha lagi. “Sudah boleh. Silakan kalau bapak melihat istrinya.” Dokter Herman pergi setelah memperbolehkan Azura di jenguk. Sepeninggal Dokter Aksha menemui Azura yang sudah di pindahkan ke kamar pasien biasa. “Apa yang kamu rasakan?” tanya Aksha mengambil kursi di samping ranjang istrinya. “Pusing dan lemas,” jawab Azura datar. “Mungkin karena kamu kebanyakan tidur. Ntar perlahan-lahan p
Kepulangan Azura disambut oleh Dahlia dan Bibi Ninik. Azura melempar senyuman kecil atas perhatian kepedulian mereka.“Ak, ini siapa?” tanya Azura mengarah ke seorang wanita yang usianya sama dengan Dahlia. Terlebih wanita itu membawa tas berisi pakaiannya selama di rumah sakit.“Permisi, Nyonya. Saya Ninik pembantu baru,” ucap Ninik memperkenalkan dirinya.Azura menoleh ke belakang, di mana Aksha berdiri di belakang seraya mendorong kursi rodanya. “Aku sengaja cari pembantu biar aku bisa fokus jagai kamu. Lagian Bibi Ninik orangnya gesit dan dapat dipercaya,” ujar Aksha jawab keraguan istrinya.“Selama aku tidak ada, banyak yang berubah ya,” kata Azura pelan.Azura memerhatikan sekeliling ruangan yang bersih dan wangi.“Apa aku sebegitu penyakitan hingga tugasku diambil orang lain,” lontarnya. Perasaan apa ini? ada rasa tidak suka bila apa yang selama ini ia kerjakan kini diambil alih orang lain.“Tidak baik berprasangka buruk, aku tidak bermaksud berbuat seperti itu. Mengi