Jeno membanting tubuh di kasur. Dia menghembuskan nafas panjang sambil melihat langit-langit kamar, meraih guling lalu diletakan di bawah kepala. Jeno menghembuskan nafas berkali-kali. Hidupnya sungguh membosankan. Hari ini dia tidak berangkat sekolah karena belum mewarnai rambut menjadi hitam. Jeno terlalu malas karena lelah kemarin diajak pergi ke desa.
Jeno mewarnai rambut menjadi warna blonde karena permintaan klien. Semenjak menjadi penganti model untuk produk baru milik perusahaan Dirgantara, Jeno jadi laris job karena wajahnya yang tampan juga status anak pengusaha. Tapi dia hanya mengambil job iklan agar waktunya tidak tersita untuk dunia entertaiment.
Jeno merogoh ponsel yang ada di celana. Dia membuka room chat milik seseorang yang sampai sekarang belum membalas pesannya. Jeno menghembuskan nafas panjang, dia melempar ponsel sembarang ke kasur lalu keluar kearah balkon.
Perhatian Jeno teralih saat melihat Juwi terlihat sedang berbicara dengan ayahnya dengan sebagian badan terhalang tembok. Tidak peduli, Jeno segera meraih ambalan lalu turun dari balkon. Kakinya berjinjit dengan tangan sekuat tenanga mengapit ambalan untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Jeno melebarkan langkah sehingga hanya lima langkah untuk sampai di jendela rumah sebelah. Jeno segera membuka jendela yang memang tidak pernah di kunci lalu masuk. Jeno berguling di lantai, dia selalu merasa seperti habis bertaruh nyawa saat menyabrang dari rumahnya ke rumah sebelah karena jarak jendela dengan tanah sangat tinggi. Lebih dari lima meter.
Jeno berdiri menghadap kasur ber-bedcover warna crem rapih dan berdebu karena lama tidak di tempati. Jeno jadi sendu, banyak kenangan di kasur itu dengan pemiliknya "Mika ... Mika. Kapan lo kembali? Gue kangen banget. Kangen pagi-pagi ngagetin lo. Kangen jahilin lo sampai nangis. Kangen tidur sama lo." Jeno menghembuskan nafas panjang. Dia menyibak selimut. Ingin merebahkan diri tapi urung saat mendengar suara benda jatuh yang menggema di bawah.
"Maling?" Gumam Jeno lalu membuka pintu pelan dan keluar dengan mengendap.
Jeno merangkak, dia keujung dinding yang bersebelahan dengan pembatas balkon dalam rumah lalu mengintip. "Ohh ..." lenguh Jeno lega tidak ada yang perlu di kawatirkan karena bukan maling tapi Hansol (manager Yama) dan Bobby (artis barunya.)
Tapi untuk apa mereka ke sini?, fikir Jeno. Jeno kembali mengintip. Keningnya berekrut saat mereka terlihat bertengkar. Jeno menajamkan pendengarannya.
"Jangan egois! Semua milik Yama sudah lo ambil. Mulai dari pekerjaan, fans, vershow, BA, iklan, drama. Stop! Jangan serakah, Bobb."
Bobby berdecak dia menendang kursi singel sampai jatuh membuat Hansol yang jalan lebih dulu setelah mengambil barangn, kaget "Kalau mau rumah seperti ini, beli!"
"Bacot!"
Jeno merangkak kembali ke kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat sambil mencerna apa yang baru saja dia dengar.
"Gue curiga mereka berdua ada di balik skandal Bang Yama." Jeno mengigit bibir bawah, dia segera berlari ke jendela untuk melihat Hansol dan Bobby yang baru keluar gerbang. "Kalian dalam pantauan. Gue bakal ajak bang Yama kembali setelah kecurigaan gue terbukti."
"Kalian akan mendapat balasan setimpal karena memisahakanku dengan Mika." Jeno kembali ke kasur. Dia merebahkan tubuh di sana. Dia akan kembali tidur.
Juwi memiringkan kepala lalu memukul kepala dengan bolpoint berkali-kali. Juwi menghembuskan nafas panjang. Dia bosan bukan main juga lelah. Belajar empat jam tanpa berhenti membuat kepalanya terasa panas walau ada AC yang mendinginkan ruangan.
Juwi merubah posisi duduk, perutnya terasa lapar saat kerap kali mencium bau masakan maid. Apalagi saat Jeno dengan tanpa dosa makan saat dirinya sedang pusing belajar. Juwi ingin mengumpati siapa saja yang mengatur tata letak bapur sekaligus ruang makan bersebelahan dengan perpustakaan tempatnya belajar. Benar-benar membuat konsentrasinya terganggu!
"Apa sulit, Juwita?"
Juwi terkesiap, reflek melihat miss Dara dengan mata melebar. Juwi meringis, "tidak, miss Dara." Jawabnya.
Miss Dara mengangguk kemudian kembali berkutat dengan laptopnya.
Juwi mengusap hidung, dia hanya sedikit kesulitan menyusun kalimat sederhana bahasa inggris yang sedang dia kerjakan di sebuah aplikasi dari miss Dara. Juwi selalu salah di bagian 'it' dengan 'is' dan itu sudah terulang tiga kali.
Juwi mengangkat wajah, dia mendesis saat Jeno bersama dua anjingnya terlampau berisik di rumah kandang yang ada di taman dekat kolam renang yang bersebelahan persis dengan dinding perpustakaan.
Setelah sarapan, Jeno bermain dengan dua anjingnya. Suara gonggongan dan berisik tak kunjung berhenti membuat Juwi semakin kesulitan untuk berkonsetrasi. Padahal Miss Dara memberinya waktu dua puluh menit untuk dua puluh soal latihan.
Kepala Juwi tertoleh saat mendengar suara mobil berhenti tepat di depan teras. Dirgantara sudah pulang? Fikirnya.
Tapi mendengar suara ketukan heels dengan lantai membuat dugaan Juwi salah. Dia memanjangkan kepala kearah jendela yang memperlihatkan siluet perempuan dengan tas mengantung di lengan langsung menuju arah kolam renang yang tak lama Juwi terkesiap saat maid menariknya juga Miss Dara mengajak sembunyi di rak-rak buku dekat jendela buram.
"Ada apa?" Tanya Miss Dara.
Maid memberi kode untuk tidak berisik dan memelankan suara. "Nyonya besar. Tuan besar belum mengizinkan nyonya untuk bertemu Mbak Juwita."
Juwi menyerngit, dia menujuk dirinya sendiri yang mendapat anggukan maid.
Miss Dara smirk "Dirgantara tidak pernah berubah." Ucapnya membuat Juwi menyerngit bingung.
Setelahnya tidak ada obrolan. Mereka diam dan hening. Membuat suara dari luar terdengar jelas.
"Jeno!"
Jeno yang sedang bermain dengan Leon-Louis mengangkat kepala. Dia menatap ibunya dengan sebelah alis terngakat menanyakan kedatangannya karena pasti ada yang penting sampai membuatnya datang ke rumah ini.
"Kenapa bolos sekolah?!" Amuknya melipat tangan di depan dada menunjukkan wajah angkuh.
Jeno mengusap rambut "belum ganti warna rambut." Jawabnya santai lalu mengambil mainan paha ayam untuk menggoda Leon.
Jesica menghembuskan nafas panjang, dia memijat pelipisnya. "Mommy sudah pernah bilang. Antara pekerjaan dan sekolah harus seimbang. Jangan berat sebelah, Jeno! Kamu harus bisa mengatur waktu. Secapek apapun shooting kamu harus tetap sekolah!"
Jeno diam. Dia terlihat tidak peduli. Lebih memilih bergulat dengan Leon dan Louis. Jeno terkiki saat pantat Leon jatuh tepat di wajahnya setelah lepas dari tangan karena terus berontak. Jeno mengigit pipi Leon lalu menciumnya. Louis iri, anjing kecil itu loncat-loncat minta Jeno manja.
Jesica yang melihat itu menahan nafas untuk beberapa detik sebelum menghembuskan panjang. "Tolong mommy, Jeno. Jangan menambah susah Mommy. Sekarang selain ngurus kamu mommy juga mengurus Daniel dan Yuna. Mommy pusing, Jeno. Mereka sering kabur-kaburan, tidak pernah mendengar ucapan Mommy. Sekarang tinggal kamu yang bisa mommy andalkan, mommy banggakan. Tinggal kamu Jeno, anak kandung mommy."
Jesica duduk di tepian. Dia mengusap punggung Jeno penuh kasih sayang. "Mommy pengen apapun yang mommy urus, mommy pegang, semuanya bagus, sempurna dan hebat."
Jeno berdecak. Dia menyikut tangan Jesica membuat Jesica menatapnya kaget. "Stop menjadikan Jeno seperti yang mommy mau. Stop menjadikan Jeno sebagai barang pameran di hadapat teman-teman mommy. Jeno tidak suka!" Jeno melepas Leon dan Louis, dia menghadap Jesica "tidak ada manusia yang sempurna, momm" Jeno menatap Jesica tulus sambil meraih kedua tangan Jesica berharap Jesica mendengar keluhan dan ketidak nyamanannya selama ini.
"Kalau karir mommy berhasil belum tentu mengurus anak, keluarga juga akan berhasil. Dan sebaliknya."
Bagaikan di hantam beton, Jesica mendelik melihat Jeno lalu menarik tangannya "Jangan menasehati mommy, Jeno! Mommy lebih lama hidup dibandingkan kamu. Mommy tahu apa yang terbaik buat kamu."
Jeno melengos, dia keluar dari kandang membuat Jesica beridiri "mommy sama daddy sama saja. Jeno capek! Lebih baik mommy pulang. Treat Daniel atau Yuna seperti yang mommy mau. Jeno capek!"
"Jeno! Mommy belum selesai berbicara!"
"Jeno!"
"Jeno!"
"Ck! Arghh!" Jesica melihat punggung Jeno yang mulai menjauh dengan raut kesal. "Bapak sama anak sama-sama susah diatur."
Jesica menahan nafas untuk beberapa detik sebelum menghembuskan perlahan. Dalam keadaan semarah apapun dia harus tetap elegan dan menjaga kata-kata.
Jesica memijat pelipis, memilih segera pergi karena ada pekerjaan yang harus dia urus.Setelah melihat nyonyanya pergi, maid mempersilahkan Juwi dan Miss Dara untuk kembali ke tempat semula. Seperti tidak pernah ada kerubutan yang terjadi, mereka kembali melakukan kegiatan yang tertunda.
Juwi menoleh kearah siluet Jesica. Dalam hati merasa kasihan pada Jeno karena cowok itu menjadi sasaran keegoisan orang tua untuk hidup sempurna dan idealis seperti yang mereka mau.
Bukankah itu termasuk toxic relationship?
⚠️⚠️⚠️
Yosi menyenggol Daniel yang ada di sebelahnya. Dia menggerakan kepala, berkode menanyakan kenapa dan ada apa gerangan dengan Jeno yang kerap kali gagal melakukan trik skateboard bahkan dengan trik yang paling dasar sepertikickflip Jeno gagal, padahal dia jagonya skateboard."Gak tau!" Ketus Daniel.Yosi melengos, dia mengangkat wajah saat Jeno dan Yedam kembali. "Main lo jelek banget, Jen. Kebanyakan galau!" Hardik Yedam duduk di sebelah Yosi lalu menyambar botol berisi rendalam air lemon kemudian meminumnya hingga setengah.Daniel melirik, Yosi merangkul bahu Jeno lalu menepuknya pelan "kenapa lagi, hm?"Jeno melihat ke arah lintasan dengan mata menyipit, tangannya merogoh botol yang tertindih jaket Daniel "Gak tau, perasaan gue gak enak terus dari tadi.""Gak enak, ya di enakin lah. Kasih garem kek."Jeno memukul kepala Daniel menggunakan botol yang isinya setengah
Jeno berhenti saat sampai di depan lobi apartmen. Tanpa kata dia langsung pergi membuat Yuna memandangnnya dengan hati ngedumel tapi tetap tahu diri untuk tidak menjulidi atau menyumpahi Jeno karena sudah mengantarnya ke apartmen kekasihnya."Sial! Gue lupa kasih tahu Jeno jangan bilang ke Daniel." Monolog Yuna lalu merogoh ponsel untuk mengirim pesan ke Jeno agar tidak melapor ke Daniel, kembarannya.Yuna masuk dengan riang. Dia segera masuk lift lalu menekan tombol untuk membawanya ke lantai 20 di mana apartmen kekasihnya berada. Sebenarnya itu apartmen milik Yuna, dia membelinya dari uang jajan yang di tabung selama kurang lebih sebulan.Yuna berikan pada kekasihnya karena tidak tega dengan kekasinya yang tinggal di kosan kecil. Bukan di berikan secara cuma-cuma tapi hanya untuk di tempati. Apartmen itu tetap atas nama Yuna Mananta.Di dalam lift sudah ada pasangan muda-mudi yang kira-kira beru
Juwi pusing. Matanya terasa juling saat melihat banyaknya pakaian, aksesoris, sepatu, tas dan lain sebagainya yang menunjuang penampilan, mengelilinginya. Rasanya mual saat melihat sepatu atau tas dengan model dan merek sama hanya beda warna berjejer rapih di lemari penyimpanan. Atau saat jam dan kaca mata berjejer rapih di dalam estalase. Atau pakaian yang di susun rapi berdasarkan warna dan penggunaan.Juwi terkekeh dalam hati, mengumpati dirinya 'anak kampung' karena hanya melihat pakaian dan aksesoris dirinya pusing dan mual.Miss Dara mengajak Juwi ke Dara's colection untuk praktik secara langsung. Miss Dara akan melihat selera fashion Juwi lalu memberi tahu atau mengoreksinya saat mix and match Juwi tidak cocok atau bertabrakan dengan selera fashion Dirgantara.Miss Dara mengajak Juwi duduk di sofa yang ada di depan fitting room, dia menjelaskan banyak hal. Mengulang pembelajaran saat di rumah agar
Yuna duduk di atas kasur sambil memeluk kakinya yang tertekuk. Dia memejamkan mata sambil mengepalkan tangan kuat-kuat sampai bisa merasakan kukunya menancap di telapak tangan dengan hati bergemuruh tidak tenang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.Hembusan nafas berat berkali-kali berhembus dari hidung Yuna. Kepalanya tiba-tiba pening yang tak lama bahunya bergetar sambil menoleh pada Jonathan yang sedang tidur di sampingnya dengan badan polos yang hanya tertutup selimut hitam tebal.Yuna terisak, dia menutup wajahnya dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanan meremat selimut yang menutup badan polosnya. Yuna benar-benar menyesal. Dia ingin memutar waktu. Andai saja tadi bisa menahan diri. Andai saja tadi tidak terbawa suasana, andai saja saat Jonathan menawarkan untuk berhenti dia menurut. Andai saja dia tidak kabur dari Daniel. Andai saja ... arghh kenapa penyesalan selalu datang terlambat?"Sa
Yuna melangkah lebih dulu memasuki rumah. Nuansa Eropa klasik langsung terasa saat permainan piano dengan melodi lembut terdengar di seluruh penjuru ruang, yang berati ayahnya di rumah. Karena Mananta tidak suka kesepian. Bukan berati suka keributan. Lebih tepatnya suka musik yang menenangkan.Sedangkan Daniel memarkir motor di garasi hidrolik yang ada di bawah tanah.Seorang maid menghampiri Yuna, dia sedikit mendenguskan hidung membuat Yuna mengambil jarak. "Memang sebau itu?" Batin Yuna sambil membau dirinya sendiri."Nona, sudah di tunggu tuan dan nyonya di meja makan." Ucap maid memberi tahu dengan sopan.Yuna memanjangkan wajah ke arah ruangan yang terhalang akurium api besar sebagai pembatas ruangan. Dia melihat ke arah meja makan yang sudah ada ayahnya dan Jesica, dengan tatapan tak terbaca. Apalagi saat melihat mereka mengbrol sambi sesekali tertawa dan bermesraan. "Mau mandi. Suruh mereka makan duluan. Gue mandinya lama!"
Jeno segera menerobos masuk saat gerbang di buka. Dia tidak peduli dengan keributan yang ada di belakangnya karena orang-orang merasa tidak adil dirinya bisa masuk sedangkan yang lain langsung di dorong dan di halangi. Atau multifans yang selain mengidolakan Yama, mengidolakannya juga mengambil foto atau videonya untuk di share ke sosial media yang akhirnya viral.Saat ini yang ada di fikiran Jeno hanya ingin melihat Mika untuk terakhir kalinya. Berharap Mika hanya tertidur, berharap saat dirinya datang Mika bangun."Mika!" Seru Jeno segera ke peti Mika yang masih terbuka membuat pasangan suami istri yang Jeno kenal dari foto yang kerap kali Mika ceritakan dulu, melihat kearahnya.Hati Jeno seketika terjun bebas saat melihat gadis pujannya terbujur kaku dengan sekujur tubuh putih pucat. Batin Jeno rasanya seperti di remat saat melihat Mika memejamkan mata tanpa bernafas. "Astaga, Tuhan." Lenguh Jeno dengan hati teriris. Siapa saja yang mendengar leng
Yuna memejamkan mata, menyamankan posisi di pelukan Jesica lalu membuka mata dengan nafas yang mulai panas. Hatinya menghangat membuat matanya perih dan memerah. Yuna mengepalkan tangan. Jujur dia tidak benci dengan Jesica, dia hanya belum siap menerima kehadirannya karena wanita itu datang saat Yuna maupun Daniel masih belum merelakan kepergian bunda mereka.Juga kesal karena sejak kedatangan Jesica, keadaan rumah mulai berubah. Daniel jadi jarang pulang. Dia sering kali memilih untuk tinggal di kos membuat Yuna kesepian karena tidak ada teman bertengkar.Papahnya jadi sering keluar kota atau keluar negeri karena mengantikan pekerjaan Jesica agar wanita itu tetap stay di Jakarta, bekerja di Jakarta dan lebih banyak di rumah jadi lebih fokus mendidik anak. Tapi didikan Jesica sama sekali tidak di terima Yuna maupun Daniel.Didikan Jesica sangat keras. Yuna di paksa mengasah keahlian yang sama sekali tidak dia suka
Jeno merasakan kepalanya pening, mulutnya pahit, badannya lemas, perutnya kosong. Dia bangun saat merasa perutnya berat. Jeno melenguh kecil, menoleh kesamping tepat saat napas halus menepa wajahnya. "Mommy?" lirih Jeno tanpa suara karena suaranya serak jadi saat melirih suaranya tidak keluar.Hati Jeno jadi menghangat saat melihat Jesica tidur sambil memeluknya.Cowok berambut blonde itu tersenyum lalu mengeratkan pelukan. Rasanya sudah lama Jeno tidak merasakan pelukan Jesica. Terkahir kapan ya? Kayaknya waktu SD. Saat Mika memergokinnya masih manja-manja yang membuat Jeno jadi tidak enak karena Mika tinggal di Indonesia hanya bersama Yama.Astaga, Mika. Jeno baru ingat."Awhhh ..." Jeno melenguh kesakitan sambil memejamkan mata, reflek tangannya memegang kepala saat kepalanya sangat berat dan pusing. Hanya bergerak sedikit sakit langsung menyerang membuat Jeno kembali tidur ke posisi semula.