Share

7. Benar-benar pertemuan

Pemandangan yang gelap gulita beberapa saat sebelumnya perlahan semakin terang, hingga menyilaukan mata. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah kaki yang disertai suara pijakan ranting kayu. Suara itu muncul bersamaan hingga kesadaran seseorang terpanggil kembali.

Jingga membuka dua mata dan menyesuaikan diri dengan cahaya. Dia yang mencoba mengumpulkan kesadarannya baru saja menyadari kalau kepalanya tadi bersandar di bahu seseorang. Melihat ke arah samping, dia mendapati Jeslyn yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Masih membawa rasa penasaran, Jingga memutar kepala ke belakang. Bukan hanya dirinya saja, tapi dia bersama enam orang yang terjebak di lapangan terbuka bahkan tidak tahu keberadaannya. Ada Irene, Rama, Devin, Alden dan seorang gadis dengan baju lengan panjang. Persis di dalam mimpi.

Di lapangan ini dibatasi beragam pohon bercabang seperti hutan. Mereka yang tidak mengenal satu sama lain sudah jelas kebingungan. Mereka juga tidak mengerti bagaimana mereka bisa berada di sini setelah pingsan tadi.

Jeslyn yang masih tidak paham mengalihkan pandangan. Ada banyak wajah baru yang sama sekali belum ditemuinya, namun ada satu yang berhasil menarik atensi. “Rama?” ucapnya yang menyebut satu nama. Dia yakin bahwa dia tidak salah orang.

Lelaki yang bernama Rama menoleh setelah mendengar namanya dipanggil. Kemudian membelalakkan mata. “Lo kenapa ada di sini?” tanyanya yang sudah jelas bingung dengan keadaan sekarang. Pertanyaan itu hanya dibalas sang puan dengan mengangkat bahu.

Suara tepuk tangan kemudian menginterupsi pikiran mereka yang mencoba mencerna keadaan. Bersamaan dengan itu, suara langkah kaki tidak terdengar lagi. Mereka yang bisa mendengarnya kompak mengarahkan pandangan ke arah timur. Tepatnya di arah belakang Jingga yang baru saja menyimak pembicaraan Jeslyn dan Rama.

Di dekat deretan pohon, ada seorang pria dengan tubuh kurus dan tinggi menatap mereka sambil melipat tangan di bawah dada. Jingga kemudian memicing mata, mencoba mengenali rupa pria tersebut yang jauh di pelupuk mata. Dia ingat kalau pria itu adalah orang misterius dan membuatnya pingsan.

“Selamat datang di Fantasy Club dan kalian akan selalu kuterima kedatangannya dengan senang hati. Kalian adalah orang-orang pilihanku dan kalian adalah orang yang sudah kutunggu sejak lama,” ucap pria tersebut yang seolah-olah memberi ucapan selamat datang.

Mereka yang mendengarnya sama sekali tidak tertarik. Mereka tidak mengerti apa maksud pria itu. Mereka tidak tahu apa itu Fantasy Club. Mereka tidak tahu alasan macam apa yang dikatakannya. Mereka tidak mau tahu.

“Kalau kami tidak mau, gimana?” tanya Rama yang seolah-olah ingin menantang pria tersebut.

“Kalau kalian tidak mau, silakan korbankan diri. Juga kalau kalian berhasil, kalian bisa pulang. Itu pilihan kalian,” jawab pria tubuh tinggi tersebut yang ingin menambah suasana agar terasa mencekam.

“Maaf, tapi kami tidak tertarik dengan tawaran itu.” Giliran Alden yang terucap dari mulutnya. Dia juga tidak tahu akan ancaman yang diberikan pria tersebut.

“Silakan! Tapi lawan mereka dulu sebelum pulang,” balas pria itu yang kemudian merentangkan tangan ke udara. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki dan pijakan ranting kembali terdengar.

Dari segala sisi, muncul kawanan sosok jubah hitam yang menutupi puncak kepala. Mereka lantas memasang mode waspada karena tidak menduga kejadian seperti ini yang akan terjadi. Kawanan itu mendekat yang membuat mereka perlahan mundur.

Irene yang ikut terjebak tidak sengaja memperhatikan Jingga yang saat itu sedang berhati-hati. Dia masih penasaran dengan identitas insan yang pernah ditemui satu kali secara tidak sengaja. Oleh karena itu, dia mengajukan pertanyaan terlebih dahulu. “Kebetulan ketemu di sini nih, lebih baik lo jujur. Gak perlu mengelak lagi!” serunya dengan tegas. Dia menambahkan, “Lo tau gue dari mana?”

Jingga mendengkus begitu mendengar satu suara yang tidak asing di telinga. Tadinya, dia ingin menyindir balik karena gadis itu baru saja mengancamnya. Namun dia sadar kalau itu bagian dari kilas masa depannya. Oleh karena itu, dia memutar otak. “Entar gue jawab,” balasnya singkat yang kemudian memalingkan muka ke arah semula.

“Kenapa? Lo merasa tersudut gitu karena gue tahu apa kemampuan lo?” ujar Irene yang menganggap enteng aksi sang lawan bicara.

“Lo kalau udah lelah sama hidup, mending serahin diri aja daripada ngebebanin orang lain. Gue gak mau mati.”

Dengan dua kalimat, Irene berhasil dibuat bungkam dan tidak berkutik sama sekali. Ucapan gadis tadi ada benarnya. Mereka saat ini berada dalam posisi terjepit. “Oke! Satu pertanyaan lagi. Gimana cara ngalahin mereka?” tanyanya yang segera memutar arah pembicaraan.

“Berisik lo.”

“Lo bilang gak mau mati. Emang lo sanggup ngelawan mereka sendirian?”

Giliran Jingga yang dibuat tidak bisa berkata-kata. Merasa tersudut, dia menarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaan sang puan. “Tombak. Mereka akan selalu mulai dari posisi yang sama. Fokus aja ke sisi kanan,” jawabnya yang membeberkan banyak informasi berdasarkan pengetahuan dari masa depan.

Okay, I’ll take that. And thanks.

Ucapan Jingga memang benar dan tidak ada dusta sama sekali. Saat satu sosok mulai menyerang, mereka selalu menyerang dari sisi kanan dengan tombak. Oleh karena itu, Jingga bisa menahan serangan sebelum menolak sosok itu kembali ke belakang hingga tumbang. Berkat satu tombak yang terlepas, dia menyerang sosok lain.

Sementara itu, mereka juga bertahan dengan cara sendiri. Alden tiba-tiba mengeluarkan keris yang bersinar seperti petir, lalu menyerang sosok itu dengan aliran listrik yang keluar dari senjatanya. Dia tidak sempat mengalihkan pandang ke arah lain. Bersama Jeslyn dan Rama yang menyatukan kemampuannya yang memiliki tenaga super dan bisa berlari laju.

Jingga yang berhasil bertahan mengedarkan pandangan ke arah lain. Alden yang sedang bertahan dengan keris petir tidak sadar kalau ada sosok lain yang akan menyerangnya dari belakang. Gadis itu sadar kalau posisi lelaki itu berada dalam bahaya jika tidak diingatkan dari sekarang, namun dia tidak memiliki cukup waktu. Oleh karena itu, dia menolong Alden dengan tombak yang masih ada di tangan.

“Jingga?” Alden yang baru menyadari kehadiran sang puan di lapangan terbuka menatapnya dengan mata terbelalak. Dia melanjutkan, “Kok lo bisa ada di sini?”

“Gue bisa jelasin, Al. Tapi lo minggir dulu!” balas Jingga yang kemudian mendorong Alden ke samping. Rupanya ada sosok jubah hitam yang akan menyerang Alden dari belakang, namun gadis itu menolongnya lagi dengan tombak. Alden yang sadar kalau gadis itu menyerang sendirian bergerak membantunya dengan keris petir di tangan.

Saat akan menahan serangan, keris milik Alden terlempar jauh dan terseret di atas rumput. Devin tahu kalau senjata itu milik seseorang yang terjebak bersamanya dan berniat mengambil, namun dia tidak tahu kalau keris itu dialiri petir. Alden ingin memperingatkannya, namun dia terlambat karena sudah diambil lebih dahulu.

Akibat keris petir Alden, Devin tersengat dan berakhir tumbang di rumput. Tubuhnya kini menegang karena merasakan sakit seperti yang selalu dirasakannya berulang kali. Dia terbaring meringkuk di rumput. Hal yang bisa diingatnya sekarang adalah nama Kevin yang tersemat di kepala, dia membutuhkan kakaknya.

Pada saat yang sama, sosok jubah hitam yang menyerang mereka tadi menghilang dalam satu kedipan mata. Mereka lantas kebingungan karena tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Namun ada yang lebih penting. Devin belum bisa bangkit.

Alden mendekatinya karena khawatir pemuda itu tidak bisa bangun akibat kerisnya. “Astaga. Lo baik-baik aja? Lo perlu dibawa ke rumah sakit?” ucapnya dengan penuh tanda tanya sekaligus panik. Dia tidak menyangka kalau senjatanya sendiri malah membuat orang lain terluka.

Perlahan, sakit yang dirasakan Devin menghilang. Hal itu membuat lelaki itu heran karena tidak biasanya penyakit tersebut bisa hilang sendiri tanpa dibantu obat pereda sakit. Dia juga bisa menggerakkan tubuhnya seperti sediakala. Tanpa dibantu Alden yang masih panik, dia bangkit sendiri. “Gue gak apa-apa kok,” jawabnya yang mencoba menenangkan beberapa pasang mata yang masih khawatir.

“Beneran?”

Devin menganggukkan kepala. “Gue beneran baik-baik aja,” balasnya lagi yang mencoba meyakinkan Alden, walaupun dia sendiri masih ragu.

“Selamat kepada kalian semua, karena berhasil lolos dari tes ini!”

Seruan berat seorang pria membuat mereka kembali mengarahkan pandangan ke sumber suara. Pria tinggi dengan kaki yang panjang kembali muncul dari arah yang sama. Dia kemudian bertepuk tangan dengan riuh dan menatap mereka dengan wajah bangga. “Selamat bergabung dan kalian sudah resmi menjadi anggota Fantasy Club,” ucapnya.

“Gak ada juga yang mau gabung,” celetuk Jeslyn pelan, yang mungkin tidak didengar sama sekali bagi orang lain.

“Kalian pasti bingung kan mengapa aku menyatukan kalian semua? Besok datanglah ke sini! Selagi aku tidak memaksa kalian, datang saja. Atau aku akan membawa kalian seperti tadi,” ucap pria itu yang kini dengan nada ancaman. Dia melanjutkan, “Kalian yang memiliki berbagai macam kemampuan, sudah disatukan seperti takdir.”

Jingga mendengkus dengan wajah sebal. Dia masih ingat betapa menyebalkan pria itu karena kemunculannya secara tiba-tiba dan membuatnya berada dalam situasi berbahaya. Dia menggerutu, “Setidaknya ganti dulu bawaanku.”

Sebuah kantung kertas melayang di udara yang kemudian ditangkap oleh Jingga dengan cekatan. Pria itu berkata sebelum berbalik badan. “Oh ya, paketmu. Gak ada yang rusak ‘kan?”

Ditanya seperti itu, Jingga langsung melihat isi dalam kantung kertas tersebut. Isinya sebuah celana bahan kain yang sesuai dengan pesanan ibunya. Masih utuh dan berada dalam keadaan yang baik-baik saja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status