Bu Wati mengucap istighfar beberapa kali. Tak ada gunanya dia menjawab, hanya memperpanjang masalah saja. Lebih baik mendoakan Zidan agar tidak seperti yang disebutkan Bu Tejo. Melangitkan doa langsung kepada Yang Maha Kuasa.
"Astaga, Tejo Tejo. Namamu itu artinya cahaya, tapi kelakuanmu suram. Lagian, nama laki-laki kok dipakai perempuan? Pantas aja kelakuannya pun sudah kayak preman, sampai membahayakan suamimu sendiri," kekeh Bu Irma, orang kaya yang merupakan saingan Bu Tejo. Hanya dia dan keluarga yang tidak diundang ke pesta pernikahan putri sulung Bu Tejo.
"Nama-nama saya, apa urusannya buat kamu? Ngapain kamu disini?" sergah Bu Tejo, berkacak pinggang melihat perempuan yang selalu modis dan cantik itu menghinanya. Apalagi di depan Bu Wati, orang yang selalu jadi bulan-bulanan hinaannya .
Pemilik nama lengkap Tejo Nikmatul Wardiah itu memang sengaja diberi nama Tejo oleh orang tuanya dengan harapan kehidupan ekonomi mereka bercahaya dan dikaruniai adik laki-laki kelak. Dan … dia memang akhirnya memiliki adik laki-laki, tapi kehidupan mereka tetap susah. Setelah datang pinangan dari Pak Supri, orang terkaya di kampung Marpirpir, barulah mereka merasa kalau nama Tejo itu membawa keberuntungan.
"Saya ke sini niatnya mau melayat. Kalau ada kemalangan, tidak diundang pun wajib datang. Kirain di sini memang ada tangisan pilu, eh rupanya Bu Tejo sedang tertawa bahagia," ujar Bu Irma, mengusap kepalanya yang ditutupi kerudung warna hitam. Pakaiannya juga berwarna senada, khas orang-orang yang mau melayat. Hobinya hampir smaa dengan Bu Tejo, mencari gara-gara.
"Kalau mau menghina orang kecil, itu gak pantas. Lawannya gak seimbang, Bu Tejo. Masa Bu Wati yang tak punya apa-apa untuk dibanggakan, kamu hina terus. Kalau berani, lawan saya," kekeh Bu Irma, lalu pulang tanpa menunggu jawaban Bu Tejo.
Beberapa orang tertawa, lalu bungkam saat melihat tatapan menusuk perempuan yang sedang terbakar api amarah itu. Saat ia tersadar, Bu Wati sudah tak ada di tempat. Dengan menghentak-hentakkan kaki, dia masuk ke rumah dengan kesal.
*
Sepanjang perjalanan menuju kota yang menghabiskan waktu sekitar 6 jam perjalanan, Zidan tak pernah merasa ngantuk. Ia melirik sekilas, semua rombongan di kursi penumpang telah tertidur.
"Kalau ngantuk, tidur saja, Nak Zidan, " ujar sang sopir yang sejak tadi memperhatikan remaja berkulit agak gelap itu.
"Saya belum pernah melihat berbagai macam keindahan alam maupun bangunan seperti ini, Pak. Saya mau merekamnya di memori otak," balas Zidan. Matanya menatap keluar jendela mobil, tersenyum bahagia.
Pak Alatas, supir kepercayaan Bu Isma itu tertawa sekilas.
"Kamu itu polos banget, Nak. Semoga keras dan liarnya dunia kota tak terlalu mempengaruhimu," ujarnya.
"Aamiin, Pak."
Tak terasa, minibus itu akhirnya berhenti di depan sebuah ramah bergaya modern, dengan desain yang luas. Rumah dengan garis bersih dan tajam, palet warna yang didominasi silver, dan penggunaan material yang meliputi logam, kaca, dan baja.
Taman yang lumayan luas, ditumbuhi aneka bunga yang indah dipandang mata. Garasi pun dibuka seorang lelaki yang berpakaian hitam dan terparkir di sana 2 unit mobil pribadi dan 3 motor keluaran terbaru dari berbagai type.
Zidan tak henti mengucapkan masya Allah, menatap takjub dengan keindahan di depan mata. Apa yang dia lihat sekarang jauh lebih mewah dibanding rumah paling kaya di kampungnya.
Pak Alatas memasukkan mobil ke garasi, lalu pamit pulang dengan para rombongan yang rata-rata dekat rumahnya, meninggalkan dua orang yang masih baru saling kenal itu.
"Ayo masuk, Zidan," ajak Bu Isma. Seorang perempuan paruh baya membawakan tas milik majikannya.
Anak sulung Bu Wati itu tersenyum dan mengikuti pemilik rumah. Lantai marmer yang putih membuatnya langsung membuka sendal jepit yang sudah menipis dimakan usia. Menentengnya sembari mata terus menatap sekeliling.
"Loh, kenapa dibuka sendalnya, Zidan?"
"Bukannya kalau masuk rumah, sendal harus dibuka, Bu?" tanyanya balik dan heran.
Bu Isma tertawa, lalu ikutan menenteng sepatunya. Mereka pun duduk di sofa empuk yang mengisi ruang tamu.
"Ibu tinggal sendirian di rumah seluas ini?" tanya Zidan penasaran. Sejak memasuki rumah, tidak ada yang menyambut selain perempuan yang membukakan pintu pertama kali dan menyajikan minuman.
"Anak Ibu ada dua, Zidan . Yang pertama laki-laki, sudah menikah dan punya rumah. Mereka tidak tinggal di sini, tapi sering berkunjung dan menginap di rumah ini. Yang kedua sekaligus terakhir, perempuan, namanya Najwa. Dia masih kuliah, mungkin sebentar lagi pulang. Bi Ina, asisten rumah tangga sekaligus sudah seperti keluarga kita juga tinggal di sini," jelas Bu Isma. "Dan ... sekarang kamu juga akan tinggal bersama kami."
Zidan mengangguk paham. Masih tak menyangka akan tinggal di rumah sebesar itu, meskipun hanya sebagai pekerja. Teringat akan Ibu dan adiknya yang tidur beralaskan kasur kapuk yang sudah lapuk. Sering tak sengaja bergeser dan membuat Aisyah maupun Ahmad terjatuh. Cukup sakit karena anggota badan langsung bersinggungan dengan papan yang jadi alasnya.
"Apa mungkin aku bisa membangun rumah yang layak buat Ibu? Adik-adik akan besar dan dewasa, mereka akan mencari kehidupan masing-masing. Tapi Ibu, beliau hanya mengharapkan anak-anaknya," batin Zidan. Belum sampai setengah hari, dia sudah merindukan orang-orang terkasihnya.
"Minum dulu, lalu istirahat di kamarmu yang itu," ujar Bu Isma, menunjuk salah satu ruangan dengan pintu berdempetan. Perempuan yang sudah kelelahan itu langsung pamit mau istirahat di kamarnya yang terletak di lantai dua.
Zidan mengiyakan, menyesap minuman berwarna hijau dan manis dengan pelan, menikmati rasanya agar tidak cepat berlalu dari tenggorokan.
Setelahnya, pemuda itu berjalan ke dapur, mencari Bi Ina. Matanya kembali berbinar takjub melihat dapur begitu bersih dan berbagai alat masak yang bahkan bisa memantulkan bayangan dengan jelas.
"Zidan, mau cari apa, Nak?" tanya Bi Ina.
"Eh, Bi?"
Zidan kaget karena perempuan yang dicarinya muncul dari pintu belakang.
"Hmm, saya ...." Ragu melanjutkan kata, takut dikira kurang sopan karena baru saja ketemu.
"Ada apa? Jangan sungkan, Zidan. Bibi yakin, kamu orang baik. Bu Isma tak pernah salah memilih orang untuk tinggal di rumah ini," jelas perempuan yang sudah mengabdi belasan tahun di rumah itu.
Zidan nyengir, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Sa-saya mau minjam hape, Bi. Mau nelpon Ibu di kampung kalau Zidan sudah sampai," ujarnya takut-takut.
Bi Ina tertawa, lalu merogoh kantong celananya. Meskipun tak muda lagi dan hanya di rumah, dia lebih suka memakai stelan tunik selutut dipadukan dengan celana panjang. Tetap saja jauh lebih modis dibandingkan ibunya Zidan yang lebih sering mengenakan baju kebangsaan emak-emak, daster.
"Pakailah, pulsanya masih banyak."
Zidan meraih benda pipih nan canggih itu dengan takut-takut.
"Saya tak bisa memakainya, Bi. Takut rusak. Bibi bisa telponkan nomor ini?" tanya pemuda itu. Ia hanya pernah memakai ponsel jadul yang sering mati karena baterainya sudah soak.
Bi Ina langsung mengangguk dan meraih selembar kertas yang disodorkan lelaki muda yang dibawa majikannya. Tak menyangka, di zaman serba canggih begini masih ada remaja yang tak bisa menggunakan android.
Setelah tersambung, Zidan pamit ke kamar.
"Assalamualaikum, Bu. Ini Zidan, sudah sampai di rumah Bu Isma," sapanya dengan pipi yang menghangat mendengar suara perempuan yang melahirkannya dari seberang.
"Walaikumsalam, Nak. Alhamdulillah, sudah makan, Nak?"
"Sudah, Bu. Tadi di jalan, sekalian sholat zuhur," balas Zidan dengan suara bergetar.
"Abang Zidan! Abang Zidan! Kami makan sup ayam loh. Enak sekali, tadi Ibu yang masak," ujar Ahmad, adik pertama Zidan. Terdengar berebutan dengan Aisyah, ingin bicara dengan abang mereka.
"Iya, enak banget, Bang. Abang pasti belum pernah makannya. Biasanya kan, kita makan sop sayur," timpal Aisyah.
Zidan mengusap sudut mata dan menghirup udara dengan rakus. Menetralkan suara agar tidak terlalu kentara sedang terharu. Tak tahan lagi, pemuda itu menjauhkan ponsel dan berlari ke kamar mandi, membasahi wajah yang sudah berurai air mata.
Yang kuat ya, Zidan. Kamu harapan mereka untuk mengubah nasib
"Halo! Halo, Zidan."Bu Wati memanggil-manggil karena sejak tadi tak ada yang menyahut."Maaf, Bu. Tadi jaringan kurang bagus," dusta Zidan. "Oh, kamu baik-baik di sana, ya, Nak. Makasih banyak karena berkat kamu, adik-adikmu bisa makan enak hari ini. Ibu juga sudah memesan tukang buat betulin atap rumah kita yang bocor. Makasih sekali lagi, ya, Nak.""Ya Allah, Bu. Tak pantas Zidan mendengar terimakasih dari Ibu. Sampai kapan pun, Zidan tak akan mampu membayar semua jasa Ibu," lirih lelaki yang baru lulus SMA itu. "Ibu tak pernah meminta balasan, Nak. Ya sudah, kamu baik-baik di sana. Batre hape Ibu udah mau habis," ujar Bu Wati. Obrolan pun berakhir, lumayan bisa mengobati sedikit kerinduan. Zidan mengembalikan ponsel Bi Ina dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Entah kenapa, dia tak ingin memejamkan mata. Rasa lelahnya tak sebanding dengan semangatnya sehingga memutuskan keluar, memandangi bunga-bunga nan indah yang tersusun rapi menghiasi rumah bak istana. "Heh, siapa kamu?
Zidan tak banyak tanya saat anak majikannya menyuruh Pak Alatas, membawa mereka ke sebuah tempat. Dua orang laki-laki menyambut dan mengacungkan jempol saat Najwa memberikan perintah. "Hmm, apa dia calon pacar lo?" bisik salah satu lelaki itu, melirik Zidan yang sudah masuk ke dalam gedung barbershop dan merangkap salon khusus laki itu. Gedung berwarna abu-abu itu selalu ramai pengunjung, apalagi Surya dan temannya join usaha itu. Di sampingnya, ada juga toko khusus pakaian laki-laki yang membuat tempat usaha mereka selalu ramai. "Enak saja lo. Seenak jidat ngatain gue. Emang lo pikir, gue gak laku sampai pasrah macarin anak kampungan gitu," cibir Najwa, memukul bahu teman SMA-nya itu. "Dia sepupu jauh gue dari kampung," imbuhnya, enggan diledek terlalu perhatian kalau mengatakan Zidan adalah pegawai baru restoran mereka. Lelaki bernama Surya itu membulatkan bibir, mengangguk paham. "Gue duluan, Gaes. Biayanya nanti gue transfer. See you," pamit Najwa. "Saya duluan ke resto, Pak
"Istighfar, Tejo. Apa kamu gak malu di depan jenazah suamimu?" tegur Nek Iyut, sang guru ngaji yang juga dihormati. Sebagian menghormati karena memang beliau orang yang ikhlas mengajari anak-anak mengaji tanpa dipungut bayaran, tapi ada juga yang segan sebab Nek Iyut masih tergolong salah satu orang terpandang. Bu Tejo tak menggubris, kembali meraung, memeluk tubuh tak berdaya itu. Bu Wati keluar pelan-pelan, duduk bergabung dengan para pelayat lainnya di teras. Tenda biru dan teratak didirikan para remaja dan bapak-bapak secara gotong royong. Menata kursi plastik di bawahnya karena orang-orang yang hendak bertakziah sudah ramai. Pergaulan Pak Supri sangat luas, didukung dengan ekonomi yang memadai sehingga bebas mau kemana saja. Rajin melayat maupun menghadiri pesta membuatnya banyak dikenal orang. Belum lagi sawahnya yang lumayan luas dan sebagian digarap warga kampung sebelah. Bertolak belakang dengan suami Bu Wati dulu. Hampir tak ada yang kenal, kecuali sudah disebutkan nama
“Non, apa kamu marah sama saya?” tanya Zidan saat berpapasan dengan putri majikannya yang beberapa hari terlihat cuek. Dia merindukan omelan perempuan muda itu. Lebih baik diomeli daripada didiamkan seperti itu.“Kenapa kamu berpikir kalau aku marah, hah?” bentak Najwa, duduk di sofa dan menyilangkan kaki. Ia mengambil toples yang berisi kacang sangrai, membuang kulitnya sembarangan.“Cepat bersihkan itu!” perintahnya.Zidan tersenyum, mengambil sapu dan mengumpulkan sampah kulit kacang itu. Kata ayahnya dulu, kalau perempuan cerewet mendiamkan lelaki, itu tandanya sedang marah besar. Namun, kalau sudah bisa cerewet lagi, berarti marahnya telah hilang.Entah teori itu benar atau tidak, tapi Zidan percaya saja karena melihat ibunya juga seperti itu. Tidak mau menegur lagi kalau diantara tiga anaknya ada yang nakal setelah berkali-kali dinasehati.“Kenapa kamu malah senyam-senyum?” sergah Najwa, merasa aneh dengan sikap pemuda itu. Dimarahi, tapi dia memilih tersenyum, seolah tidak ad
Seorang laki-laki berkemeja lengan panjang warna putih bersimpuh di hadapan gadis bertubuh tinggi semampai. Menyodorkan setangkai mawar merah ke hadapan gadis manis berkerudung warna yang sama dengan bunga di tangan pemuda itu. "Maukah Non Najwa jadi nyonya di hatiku, menjadi menantu ibuku, ipar yang baik bagi adik-adikku, serta bundanya anak-anakku kelak?" lirih pemuda itu sambil memamerkan senyuman seperti biasa, tapi sanggup melelehkan es di hati gadis itu. Najwa memutar badan agar tidak tepat berhadapan dengan lelaki muda bernama Zidan itu. Mengulum senyum malu-malu, lalu berdehem. "Aku mau," balasnya cuek. "Alhamdulillah.""Eits, jangan senang dulu! Buatin aku mesjid dengan sepuluh menara dalam satu malam. Kamu sanggup?" tanyanya dengan angkuh. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum meremehkan. Gemetar laki-laki itu dan menundukkan kepala. "Aku tak bisa memerintah jin membantuku seperti Bandung Bondowoso. Dan … kamu bukanlah Roro Jongrang yang berakhir menjadi arca. Aku cuma
"Kamu kenapa, Najwa? Sakit?" cecar Bu Isma, cemas melihat putrinya yang keringatan. Telapak tangan anak gadisnya juga pucat dan dingin. Namun, saat diraba keningnya, tidak menunjukkan tanda-tanda kalau sedang sakit. "Mungkin kelelahan, Bu," timpal Bu Wati."Iya, Bu. Dia memang kurang bisa kalau perjalanan jauh. Saya juga gak ngajak sebenarnya, tapi dia ngotot mau ikut, sampai bela-belain minum obat biar gak muntah-muntah di jalan," jelas Bu Isma yang membuat Najwa tersenyum malu."Kalau mau istirahat, ayo ke kamar, Nak. Tapi mohon maklum, pasti tidak seempuk kamar Nak Najwa."Gadis itu menggeleng pelan mendengar tawaran ibunya Zidan. Dia memang lelah, tapi masuk kamar bukanlah solusi yang baik. Dirinya sudah terlahir sebagai orang kaya sejak kecil dan tak pernah merasakan yang namanya kasur lapuk dan apek. Ya, dia membayangkan kalau kamar dari rumah sederhana itu pastinya tidak akan seimbang dengan empuknya ranjang yang selama ini ditempatinya. Apalagi melihat dua anak kecil yang mer
"Jangan bercanda, Sheila! Gak lucu, tahu. Uh, untung saja aku kenal kamu udah lama. Sudah paham dengan candaan kamu. Eh, tapi akting kamu bagus loh, kayak natural gitu," kekeh Zidan. "Oh iya, kamu kuliah di mana sekarang?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. "Aku serius. Bawa aku lari, Zidan. Sebenarnya aku sudah suka sama kamu sejak dulu, tapi Ibu selalu membatasi pergaulanku, sampai memaksaku pindah sekolah gara-gara dekat sama kamu," beber gadis yang mengenakan baju terusan sebetis itu. Zidan membeliakkan mata, terkejut mendengar pengakuan anak kedua Bu Tejo yang tak terduga. Dia mulai gelisah, takut kalau tiba-tiba ibu dari gadis itu muncul seperti tadi. Mau menyuruh Sheila pulang, tapi kelihatan kalau wajah gadis itu sedang tertekan. "Itu hanya cinta monyet kalau kata orang-orang. Jangan bercanda lagi, She. Wajar kalau ibu kamu membatasi pergaulan anaknya, beliau pasti menginginkan yang terbaik buatmu. Itu semua bukti kalau beliau menyayangimu, Sheila," balas Zidan. Matanya te
"Siapa dia, Zidan? Aku takut," lirih Najwa, menarik-narik lengan pemuda yang sedang duduk di bangku samping sopir. Kesombongan yang sering ia tampakkan menguap karena rasa takut yang mendera. Dua adik Zidan yang duduk di samping kiri dan kanan Najwa pun mulai menangis. Senyum ceria yang baru tersungging langsung berganti dengan hawa ketakutan. "Biar saya lihat dulu, Neng. Jangan panik!" ujar Pak Alatas. Dia mendorong pintu mobil dan bersiaga, mengambil analcang-ancang untuk memukul pengendara motor misterius itu. "Siapa kamu? Jangan cari masalah!" bentak Zidan, ikutan keluar. Berdiri lebih dekat kepada orang yang memakai pakaian serba hitam itu. Dia meminta Pak Alatas agar tidak menyerang jika memang tak membahayakan. Mata Zidan membeliak saat orang itu membuka helmnya. Ternyata bukan laki-laki, melainkan perempuan dan dia adalah Sheila. "Ini aku, Zidan. Maaf membuat kalian kaget dan takut," kekeh gadis berambut lurus itu. "Aku suntuk di rumah. Aku boleh ikut sama kalian, ya?" re