Damien tiba di rumah Airin disaat yang tepat. Ternyata ayahnya, Bailey Curtis juga baru saja pulang dari kantor. Bailey yang sudah 3 minggu tidak bertemu Damien pun langsung memeluk putra semata-wayangnya dengan erat. Ia merasa senang karena kehadiran Damien di rumahnya. Airin pun terlihat begitu semangat menyiapkan beberapa makanan kesukaan putranya itu.
Meski sudah menikah, Damien tetap dimanjakan oleh Airin dan Bailey setiap kali ia datang berkunjung. Kasih sayang mereka tidak pernah hilang untuk Damien. Damien merasa senang dan bangga memiliki orang tua seperti mereka yang selalu mengerti setiap keadaannya.
“Ayo, Nak! Duduk di sebelah ayah,” ujar Bailey sambil menunjuk sebuah kursi kosong di samping kanannya. “Sudah tiga minggu kita tidak bertemu, Damien. Ayah sangat merindukanmu.”
Damien tersenyum. “Aku juga rindu kalian. Itu sebabnya aku datang berkunjung hari ini.”
“Lalu, dimana istrimu? Kenapa tidak kau ajak sekalian, hm?”
Pertanyaan Airin membuat Damien terdiam sesaat. Bagaimana dia menjelaskannya? Ia tidak mungkin merusak suasana yang indah ini, bukan?
“Ah, dia sedang tidak enak badan, Bu,” jawab Damien berbohong. “Aku hanya tidak ingin mengganggu istrirahatnya.”
Bailey mengangguk paham. “Cacha benar-benar beruntung mendapatkan pria sepertimu. Pasti kau selalu berusaha membuatnya bahagia, kan?”
“I-ya, Ayah,” jawab Damien gugup.
“Sudah. Nanti saja bicaranya. Sekarang kita makan. Damien pasti sudah sangat kelaparan,” ujar Airin.
“Ah, iya. Ibu benar.”
Damien tertawa canggung dan langsung mengambil nasi serta lauk yang sudah tersedia di atas meja makan. Ia mulai bingung harus menceritakan masalah rumah tangganya atau tidak. Melihat senyuman dari kedua orang tuanya, rasanya ia tidak sanggup untuk bercerita. Ia takut senyuman itu luntur seketika.
Saat Damien dan orang tuanya sedang menikmati makanan mereka, tiba-tiba saja Cacha datang sambil menggebrak pintu rumah Airin dan Bailey. Hal itu membuat semuanya terkejut, terutama Damien. Ia tidak menyangka jika istrinya akan berlaku buruk juga di rumah orang tua Damien. Mereka bertiga berdiri sambil menatap Cacha.
“Kenapa kau belum menandatangani surat cerai ini, hah?! Kau sengaja ingin memperlambat pernikahanku dengan kekasihku ya?!” teriak Cacha.
Ungkapan kasar Cacha membuat Airin dan Bailey saling pandang satu sama lain. “Cerai? Kekasih? Apa maksud semua ini, Damien?” tanya Bailey.
“Iya. Jelaskan pada kami, Nak,” sahut Airin.
Cacha menatap ke arah Airin. “Oh, jadi putra kalian ini belum memberitahukan kejadian ini ya? Baiklah. Akan aku beritahu.”
“Tidak, Ca. Jangan beritahu mereka,” ucap Damien.
“Kenapa? Kau takut, hah?”
“Jangan rusak kebahagiaan orang tuaku, Ca,” ujar Damien, memberi setiap tekanan di kalimatnya sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Cih! Persetan dengan kebahagiaan orang tuamu. Aku hanya ingin, kau segera menandatangani surat ini, lalu biarkan aku bahagia bersama kekasih pujaanku,” ucap Cacha sarkas.
Bailey dan Airin semakin bingung dibuat kedua pasangan itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Pikir Bailey. Padahal sebelumnya Damien beralasan bahwa Cacha sedang sakit, hingga tidak bisa datang ke rumah Bailey. Tapi kenyataannya, wanita itu sehat-sehat saja. Bahkan mampu untuk berteriak.
“Ca, kau tidak seharusnya datang ke sini dengan membawa surat itu. Apa kau tidak punya hati nurani, hah?” tanya Damien geram. “Kau sama sekali tidak menghargai orang tuaku.”
“Apa? Menghargai? Huh! Aku tidak peduli,” jawab Cacha.
“Damien, tolong jelaskan pada ibu.”
Damien menoleh ke belakang untuk menatap Airin. Tatapannya sangat sendu hingga membuat Airin merasa iba pada Damien. Airin berpikir untuk tidak ikut campur sementara waktu. Ia pun mengajak Bailey untuk masuk ke kamar dan membiarkan Damien menyelesaikan masalahnya dengan Cacha.
Damien kembali menatap Cacha. “Apa kau sudah puas sekarang? Orang tuaku sedih sekarang. Apa ini yang kau inginkan, hm?”
“Oh tentu saja. Aku memang suka melihatmu dan orang tuamu menderita. Aku sangat puas sekali,” jawab Cacha angkuh. “Sekarang, cepat tandatangani surat cerainya. Aku akan mengambilnya besok.”
Cacha melemparkan surat cerai tersebut ke wajah Damien. Setelah ia pergi begitu saja tanpa memikirkan perasaan Damien sedikitpun. Cacha benar-benar bukanlah istri yang baik.
***
Kini, Damien duduk berhadapan dengan Airin dan Bailey. Ia terus menunduk, enggan untuk menatap kedua orang tuanya. Ada rasa penyesalan saat dirinya memilih Cacha sebagai istrinya. Kenapa ini harus terjadi padanya? Padahal Damien sudah sangat baik pada Cacha, begitupun kedua orang tuanya. Tapi, apa balasan Cacha padanya?
“Damien, katakan yang sebenarnya,” ujar Bailey, menuntut jawaban. “Sebenarnya, kami tidak ingin ikut campur. Tapi tampaknya masalah kalian semakin berat, jadi kami juga harus tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua.”
“Nak, katakan saja. Kami siap mendengarkan,” tambah Airin.
Damien menghela napas lelah. “Cacha... menggugat cerai, Ayah, Ibu.”
“Kenapa? Apa kau sudah menyakitinya?” tanya Bailey.
Damien menggeleng cepat. “Tidak, Ayah. Aku tidak pernah menyakitinya. Aku mencintai Cacha. Mana mungkin aku menyakiti orang yang kucintai.”
“Lalu, kenapa dia menggugat cerai?” tanya Bailey lagi.
“Dia... mengkhianatiku, Ayah. Dia punya kekasih gelap di luar dan yang menjadi kekasihnya itu adalah... klien baruku, Albert Beaufort,” jawab Damien jujur. “Aku melihatnya sendiri tadi.”
Airin pun terkejut mendengarnya. Ia tak menyangka, menantunya itu bisa mengkhianati putra kesayangannya. “Bagaimana bisa dia mengkhianatimu, Nak? Apa yang sudah kau lakukan padanya? Coba kau ingat-ingat lagi,” ujar Airin.
“Tidak ada yang kulakukan padanya, Bu. Aku menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami. Aku juga tidak tahu, kenapa dia bisa mengkhianatiku. Dia mengatakan kalau dirinya tidak pernah mencintaiku. Itulah alasannya, Bu,” jawab Damien. “Selama enam bulan pertama, dia sangat baik padaku. Dia melakukan kewajibannya sebagai istri dengan baik. Begitu juga sebaliknya denganku. Tapi setelah enam bulan belakangan ini, dia berubah. Tidak peduli padaku dan selalu pulang tengah malam. Setiap kali aku tanya, dia selalu marah dan pergi dari rumah sampai berhari-hari.”
Bailey hanya diam. Ia mencoba mempelajari maksud dari ucapan putranya. Bailey juga merasa, Damien tidak akan mungkin menyakiti seorang wanita, karena putranya itu sangat menyayangi Airin. Rasanya tidak mungkin kesalahan ini ada pada putranya. Kemungkinan yang paling buruk adalah memang Cacha yang bermasalah dalam hal ini.
“Tidak mungkin hanya itu alasannya, Damien,” kata Bailey setelah diam beberapa saat. “Pasti ada alasan lain selain tidak mencintaimu dan mempunyai kekasih gelap.”
Damien mengangguk. “Dia mengatakan bahwa dirinya hanya cinta dengan hartaku saja, Ayah.”
“Apa kau sudah memeriksa beberapa berkas penting di rumah?” tanya Bailey.
“Memangnya kenapa, Ayah?” Damien balik bertanya.
Bailey menyandarkan punggungnya di sofa sambil tetap menatap putranya. “Ayah bukannya ingin memfitnah istrimu. Tapi ayah rasa, dia sudah mendapatkan apa yang dia mau, sehingga dia mengajukan gugatan cerai untukmu.”
“Mendapatkan sesuatu?” gumam Damien. “Maksud ayah, dia ingin perusahaanku?”
Bailey menggedikkan bahunya. “Ayah tidak tahu pasti. Tapi sebaiknya, kau periksa semua berkas penting yang berhubungan dengan perusahaanmu. Ayah merasa, kekasih gelapnya itu sedang memanfaatkan Cacha untuk mengambil hal terpenting darimu.”
“Baik, Ayah. Akan aku periksa sepulang dari sini,” ujar Damien.
“Jadi, apa kau akan menandatangani surat itu, Nak?” tanya Airin cemas.
Damien kembali menunduk. Ia bimbang, karena hatinya masih sangat mencintai Cacha, meskipun wanita itu sudah menyakitinya teramat dalam. “Aku masih belum bisa memutuskan, Bu,” jawabnya parau.
“Kenapa belum bisa?” tanya Bailey.
“Karena aku... masih sangat mencintainya, Ayah,” jawab Damien.
Bailey mendecak kesal. “Dia itu tidak pantas mendapatkan cintamu. Kau sudah banyak berkorban untuknya. Dia tidak akan hidup enak jika kau tidak menikahinya. Ayah dan ibunya juga tidak akan terbebas dari hutang tanpa kau. Jika dia sudah menyakitimu seperti ini, untuk apalagi kau pertahankan dia? Masih banyak wanita di luar sana yang menginginkanmu jadi pasangan mereka.”
“Tapi, Ayah....”
“Yang dikatakan ayahmu itu benar, Nak,” sela Airin cepat. “Cacha tidak menghargaimu. Jadi untuk apa kau mempertahankannya. Kau masih bisa mencari wanita lain yang lebih baik darinya. Percayalah pada orang tuamu ini, Nak.”
Damien menghela napas berat. Sejujurnya, ia masih belum bisa memutuskan untuk saat ini. Pikirannya masih kacau. Dia juga harus membicarakan ini pada orang tua Cacha. Ia tak ingin mertuanya menjadi salah paham padanya.
“Damien, pikirkan ucapan ayah dan ibu,” ujar Bailey.
Damien mengangguk. “Baik, Ayah. Beri aku waktu untuk memikirkannya.”
Bailey pun beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar. Sementara Airin berpindah duduk di sebelah kanan Damien. Ia membawa Damien kedalam pelukannya.
“Menangislah jika kau merasa lelah, Nak. Ibu akan ada di sini bersamamu sampai kau tenang,” ucap Airin sambil membelai lembut rambut putranya.
Damien pun membalas pelukan Airin sambil menangis. Sungguh, sejak tadi ia memang ingin menangis. Tapi Damien malu memperlihatkannya di depan kedua orang tuanya.
TBC~Setelah puas melepaskan seluruh kesedihannya, Damien pun pamit pulang pada Bailey dan Airin. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jalanan pun juga tidak terlalu padat hingga membuat Damien bisa sedikit santai mengemudikan mobilnya. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan perkataan orang tuanya. Haruskah ia mengakhiri semua ini? Apa tidak bisa ia perbaiki dulu?Damien menghela napas berat ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Ia pun menghentikan mobilnya sambil tetap memikirkan banyak hal. Sepertinya besok Damien juga belum bisa masuk kantor, karena permasalahannya cukup berat. Ia mungkin tidak akan bisa fokus jika dalam kondisi seperti ini.Saat Damien menoleh ke arah kirinya, tampaklah seorang wanita tengah berjalan gontai sambil merangkul pria di sampingnya. Wanita itu sudah pasti Cacha. Damien mengepalkan tangannya erat lalu turun dari mobil dan menghampiri Cacha bersama kekasih gelapnya itu. Tanpa pikir panjang, Damien langsung memukul Albert bertubi-t
Cacha tampak gelisah memikirkan ucapan suaminya yang sama sekali tidak menyerah untuk mempertahankannya. Ia harus apa sekarang? Keinginan untuk menguasai perusahaan Damien bukanlah hal yang utama baginya. Albert adalah alasan dia tetap bersikeras untuk berpisah dengan Damien. Hanya saja yang terlihat begitu ambisi untuk menguasai perusahaan Damien adalah Albert.Bagaimana tidak? Perusahaan Damien adalah perusahaan terbesar di Perancis dan sudah memiliki banyak cabang di beberapa negara besar. Perusahaan yang dibangun oleh hasil kerja keras Damien itu merupakan perusahaan yang sangat maju, dibanding perusahaan lain. Tak heran jika banyak investor asing yang berani menanam saham di perusahaan Damien. Selain perusahaan, para investor juga menilai dari segi kinerja Damien. Menurut mereka, Damien sangat cekatan dan tidak pernah membuang waktu untuk hal yang tak penting. Itu sebabnya Albert begitu berambisi ingin memilikinya, dengan cara merebut Cacha dan memintanya untuk mengambil
Damien menatap selembar kertas dari pengadilan yang ada di hadapannya. Rasa sesak di dadanya tak kunjung reda saat Cacha terus memaksanya untuk menandatangani surat itu. Berkas perusahaan yang ia inginkan juga sudah Cacha kembalikan. Apa tidak ada hal lain yang bisa menahan istrinya untuk tetap tinggal bersamanya? Tentu tidak. Keputusan Cacha tak bisa diganggu-gugat lagi.Cacha yang kini berhadapan dengan Damien pun merasa jengah karena menunggu terlalu lama. Sejak tadi, ia hanya memerhatikan Damien yang menatap surat itu tanpa melakukan apapun. Ini benar-benar membosankan baginya. Padahal dirinya sudah susah payah mengambil berkas perusahaan itu agar Damien segera menandatanganinya. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Pria itu tak kunjung melakukan tugasnya.Cacha berdecak kesal. "Cepat tandatangani suratnya. Jangan terlalu banyak drama.""Apa rumah tangga kita tidak bisa dipertahankan saja seperti sebelumnya? Apa ini harus berakhir?" tanya Damien sambil menatap s
Tatapan kosong seorang remaja 18 tahun pun terlihat jelas sekali. Saat ini ia tengah duduk di sofa yang berada di dalam ruangan seorang dokter psikologis. Remaja itu mengalami depresi berat akibat ditinggal pergi orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Trauma mendalam dirasakan remaja tersebut hingga membuat kondisinya memburuk seperti ini. Seorang dokter tampak menghampiri remaja itu dengan senyum manisnya. Dia duduk di samping sang remaja sambil memegang sebuah buku catatan dan pena. "Jangan takut," ucapnya saat melihat remaja itu ketakutan. "Aku orang baik. Kita bisa menjadi teman." Remaja itu menjauhi sang dokter sambil berteriak histeris. Dia berpindah ke sofa lain lalu mengangkat kedua kakinya di atas sofa dan meringkuk ketakutan di sana. "Pergi! Jangan dekati aku! Pergi!" teriak remaja itu. Beberapa perawat tampak berusaha untuk menangani remaja itu, namun sang dokter melarang mereka. "Biar aku saja yang mengurusnya. Kalian bisa keluar s
Prang! Sebuah gelas kaca jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Membuat penghuni rumah langsung berlari menuju sumber suara. Airin tampak terkejut melihat Damien melemparkan semua barang yang ada di hadapannya sambil berteriak histeris. Ibu Damien itu berusaha mendekati putranya, namun tidak bisa. Kondisi kejiwaan Damien benar-benar sangat buruk. Bahkan pria itu tak mengenali ayah dan ibunya sendiri. Setelah perceraian itu, Damien memang belum ikhlas menerima semuanya. Kepergian Cacha dari hidupnya, membuatnya kehilangan akal sehat. Perusahaan yang ia bangun juga terbengkalai, sehingga memaksa Bailey untuk mengurusnya. Damien benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. Sampai ia tidak ingat akan hal lain selain Cacha. Hampir setiap hari, Damien terus menyebutkan nama Cacha dan setelah itu berteriak histeris. Menghancurkan semua barang hingga kamarnya berantakan layaknya kapal pecah. Airin dan Bailey begitu kewalahan menghadapi kegilaan Damien.
Dyandta berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan mendadak berhenti saat mendengar percakapan seseorang di ujung lorong. Wajah mereka tidak terlihat jelas, namun Dyandta menangkap sebuah nama didalam percakapan orang tersebut. Damien. Ya, salah satu dari mereka menyebut nama Damien. Rasa penasaran pun menyelimuti benak Dyandta hingga membuatnya sedikit berjalan mendekat agar lebih jelas mendengar percakapan dua orang tersebut. Ia bersembunyi dibalik tembok sekat di dekat lorong. "Kau ingin tahu kabar terakhir yang kudapat tentang Damien?" "Apa?" "Kudengar, dia mengalami depresi berat setelah kau tinggalkan." Dyandta mengernyit. Suara pria itu seakan tak asing di telinganya. Tapi, siapa dia? Sial! Lorong ini tidak terlalu terang saat malam, karena sebagian lampu sudah dimatikan. Jadi, Dyandta tidak bisa melihat dengan jelas, siapa pria yang berbicara tadi. "Apa mungkin wanita itu mantan istri Damien?" gumam Dyandta. "Kau tahu darimana?"
Setelah melakukan beberapa pengecekan dan terapi pada Damien, Dyandta tampak mencatat hal penting di buku catatannya. Masih sedikit kemajuan yang terlihat. Damien akan terlihat senang saat orang-orang di sekitarnya tidak menyebut nama Cacha. Seolah ia terlihat baik-baik saja, meskipun tingkahnya abnormal. Tapi jika sedikit saja Dyandta menyinggung soal Cacha, perubahan pun terlihat jelas dari sikap Damien. Damien akan menangis dan bisa berteriak histeris. Jika terus seperti ini, Dyandta khawatir akan bahaya yang mengancam nyawa Damien sendiri. Tidak menutup kemungkinan, pria itu akan melakukan percobaan bunuh diri atau semacamnya. Dan hal itu dibenarkan oleh Bailey, sebab ia sering melihat Damien mencoba untuk menyayat nadinya dengan pisau setiap kali depresinya kambuh. Itulah alasan Bailey selalu mengikat tangan dan kaki Damien dan menjauhkannya dari benda-benda tajam seperti pisau. Dyandta juga baru saja mendapat kabar bahwa ibu Damien masuk rumah sakit karena terl
"Sedang apa kau di sini?" tanya Dyandta heran. George pun tampak panik dan bingung harus mengatakan apa. "Aku sedang... ehm...." Dyandta masih memperhatikan gelagat George. Dia seorang psikolog dan pasti mengetahui makna dari sikap gugup George ini. Dyandta menaruh curiga pada rekan sesama dokternya ini, karena biasanya George tidak pernah memperhatikan ruang kerjanya. "Ke-napa kau melihatku seperti itu?" tanya George gugup. "Karena kau aneh," jawab Dyandta jujur. "Kau sudah lupa kalau aku seorang psikolog? Aku bisa membaca gerak-gerikmu, George." George sendiri semakin tersudutkan dan membuatnya tak tahu lagi harus berbuat apa. Jika Dyandta sampai tahu bahwa dirinya sedang memata-matai Damien, maka tamatlah riwayatnya. "Kau sedang menyembunyikan sesuatu, dan ini pasti ada kaitannya dengan pasienku, Damien. Benarkan?" tanya Dyandta memastikan apakah opininya benar atau salah. George langsung menggeleng cepat. "Tidak! Kenapa kau