Pria kurus tersebut mengangguk. Ia mengambil dua batang kayu yang runcing. Dengan sedikit canggung, sambil berjongkok di tepi balong, pria itu mulai membaca jampi, “Aki Gangga nu ti girang, Aki Ginggi nu ti hilir, aing ménta ingon-ingon, geura top!”
Dilemparkannya kayu itu ke balong. Ikan-ikan kemudian bermunculan, tapi tak ada satu pun yang bertabrakan. Tak berapa lama, kayu yang dilempar mengambang bersamaan dengan seekor ikan. Pria gendut sampai melongo saking terpana melihatnya.
Namun, tidak dengan Nyai Dasimah. Ia justru tertawa mendengar jampi yang dirapalkan pria kurus itu. "Hati-hati, Kang ...,” katanya kemudian.
"Hati-hati kenapa atuh, Nyai?"
"Jangan sampai nanti yang datang bukannya ikan, malah siluman." Dasimah terkekeh, lalu meninggalkan kedua pria yang ternganga sembari menatap punggung Dasimah yang kian menjauh.
Sesampainya di warteg,
Galih mengernyit." Tapi ... ini tidak tampak seperti ayat Alquran. Ayat apa? Surat apa?" Bibir Galih terlihat mencoba membaca huruf Arab gundul itu."Simpanlah itu untuk menjagamu dan Imas supaya tidak terkena gangguan jin," hasut Dasimah.Galih melipat kertas itu dan memberikannya kepada Dasimah. "Maaf, aku tidak bisa, Imah. Aku takut." Galih terdiam. Di benaknya terlintas kenangan bertahun-tahun ke belakang, saat dirinya mengetahui Dasimah memakai susuk ketika menjadi sinden, dan selalu menyanyikan Bangbung Hideung untuk memikat penonton.Dasimah berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tahu jika Galih pasti merasa ada yang tidak beres. "Galih."Galih menatap mata Imas. Mereka beradu tatap sepersekian detik."Percayalah, ini aman." Dasimah memberikan kembali kertas tadi dan satu kertas lainnya."Apa lagi ini?" tanya Galih heran.
"Neng, ini aa beli gorengan," kata Galih sembari memberikan bungkusan berisi bala-bala atau bakwan, dan gehu atau tahu isi."Aa beli di mana? Kok, lama?" tanya Imas."Mm ... aa sekalian ngopi dan keasyikan ngobrol, jadi lama. Maaf, ya," jawab Galih tak jujur. Tak mungkin ia bilang dari rumah Dasimah.Imas beranjak ke dapur, dan menempati gorengan dan beberapa cabai rawit di atas piring. Kemudian ia membawanya ke ruang keluarga. Terlihat Galih sedang merenung."Ada apa, A?" tanya Imas sambil menaruh piring ke atas meja kayu jati."Ya? Apa?" Galih balik bertanya.Imas duduk di sebelah Galih. "Aa melamun, ya?"Galih tersenyum samar. "Tidak." Di pikirannya kini ia sedang bingung, antara ingin memberikan jimat pemberian Dasimah atau tidak. Akhirnya ia pun merogoh saku celananya. "Neng, bacalah ini untuk keselamatanmu." Galih memberikan d
Kang Asep terperanjat. Ia mengusap wajahnya kasar. "Tulung urang atuh!" serunya kepada para pegawainya yang hanya diam menonton."Assalamu'alaikum."Ada yang datang. Kang Asep dan kedua pegawainya menoleh ke sumber suara, lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam.""Maaf, Pak, warungnya mau saya tutup. Istri saya kesurupan," kata Kang Asep menunjuk Nining yang terdiam dengan tatapan kosong, sesekali tersenyum tak jelas.Pria berpeci putih yang datang itu kemudian tersenyum. "Justru saya datang ke mari untuk membantu, Pak. Barusan ada yang mengadu sama saya," ujarnya.Kang Asep mengernyit. "Membantu?" Ia tersenyum miring. "Memangnya Bapak siapa? Dan bisa bantu apa?"Pria tersebut mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Kang. Saya Ustaz Fikri, pendiri Bilik Ruqyah."Kang Asep dengan angkuhnya membuang muka, tak menyambut tangan ustaz. "Ya sudah, coba disembuhkan istri saya."Dengan legawa Ustaz Fikri menarik kembali tangannya, mengelus dada. "
"Tapi apa, Pak."Ustaz Fikri menggeleng. "Tidak, Bu, bukan apa-apa." Ustaz tersenyum, lalu kembali mengambil gorengan manis yang terbuat dari pisang nangka itu.Ustazah beranjak meninggalkan ustaz ke dapur. Dalam pikiran ustaz, ia sebenarnya mencurigai seorang wanita yang persis dengan ciri-ciri yang disebutkan Gumilar. Namun, ustaz selalu menepis pikiran itu sebab khawatir akan menjadi suuzan. Dan ia akan diam saja, tidak akan menceritakan isi pikirannya kepada siapa pun sebelum tahu fakta yang sebenar-benarnya atau melihat dengan mata kepalanya sendiri.◎◎◎"Galih!""Ibu?""Galih, tolong!""Ayah?" Galih menoleh ke kiri. "Kalian kenapa? Apa yang terjadi kepada kalian?""Kami disiksa, Nak! Kami disiksa malaikat kubur karena ulahmu!" seru sang Ibu yang wajahnya berdarah-darah."Aku? Memangnya aku k
Imas menatap heran sang suami. "Aa bilang kertas itu diberi oleh bapak-bapak?"Galih menunduk, lalu menoleh. "Maaf, Neng. Kalau aa bilang habis bertemu Dasimah, Neng pasti marah. Aa juga tidak menyangka kalau ternyata dia mendalami ilmu hitam."Sementara itu, Kang Asep pun terdengar sedang memarahi Nining. Menyalahkan istrinya atas semua rasa iri, yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan."Sudah, sudah. Tenang, Pak, Bu. Masalah ini harus segera dibereskan karena amat berbahaya, terutama karena perbuatannya yang menyekutukan Allah." Ustaz Fikri menatap keempat orang di hadapannya satu per satu. Ustazah yang duduk di sebelahnya mengangguk-angguk saja."Tapi ... bagaimana caranya, Ustaz? Dia, kan, sakti. Sedangkan kita punya apa untuk mengalahkannya?" tanya Kang Asep.Ustaz tersenyum tipis. "Kita punya Allah, Kang. Dan yang tepat bukan mengalahkan, tapi membawanya kembali ke jal
Setelah Kang Asep dan Nining siuman, Ustaz Fikri segera meminta mereka duduk di bangku yang telah disediakan. Dengan seember air bercampur daun bidara yang sebelumnya sudah dibacakan ayat ruqyah, ustaz menyiram tubuh Kang Asep sedangkan ustazah menyiram tubuh Nining.Pasangan suami istri itu kembali meronta-ronta dan berteriak saat air suci membasahi tubuh mereka. Namun, ustaz ustazah tak gentar sampai air ruqyah itu habis."Kang, Teh, ini saya juga siapkan buah semangka yang sudah dibacakan surah Al Ikhlas sebanyak tiga kali. Fungsinya yaitu untuk mendinginkan suhu tubuh Akang dan Teteh yang panas akibat gangguan jin. Silahkan dimakan. Jangan lupa baca bismillah."Kang Asep dan Nining pun memakan semangka merah tanpa biji yang disodorkan ustazah. Setelah memakannya, mereka tampak tersenyum satu sama lain."Bagaimana, Kang, Teh?" tanya Ustazah Azizah."Alhamdulillah, Bu Ustazah,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar aku tidak tersesat atau disesatkan, tergelincir (jatuh) atau digelincirkan, berbuat aniaya (dhalim) atau teraniaya, berbuat bodoh (ceroboh) atau dibodohi. Aamiin."Usai berdoa, tampak keramaian jalan raya di ujung jalan."Alhamdulillah. Coba lihat itu, Bu. Allah sudah menunjukkan jalan.""Iya, Pak. Alhamdulillah ...."Ustaz Fikri segera menancapkan gas menuju jalan raya."Pak, sebenarnya rumah Pak Galih itu di mana? Apa masih jauh?""Tidak jauh, Bu. Masih satu kampung dengan Kang Asep. Tapi, kan, tadi kita salat dan makan dulu, dan barusan kita tersesat, jadi seolah-olah rumahnya jauh. Padahal kita yang lama di jalan."Ustaz Azizah mengangguk mengerti. Lamat-lamat terdengar dering telepon di ponselnya. Ternyata yang menelepon adalah Rizki, anak semata wayang mereka."Assalamu'alaikum,
Ustazah mengernyit. "Sudah tahu?""Iya.""Tahu dari mana? Memangnya Ayah melihat?"Ustaz Fikri menggeleng. "Ayah tidak melihat, tapi ayah bisa merasakannya. Ibu tidak apa-apa, 'kan?""Iya, alhamdulillah.""Syukurlah. Ayah mau ke masjid dulu salat asar." Ustaz menengok ke arah Rizki. "Kamu jaga Ibu, ya? Kita gantian salatnya.""Iya, Yah." Rizki mengangguk patuh.◎◎◎"A, bagaimana ini? Sudah sore, tapi kok, ustaz dan istrinya belum ke sini juga? Apa tidak jadi, ya?" gerutu Imas."Aa juga tidak tahu, Neng. Mungkin mereka ada keperluan lain," jawab Galih."Coba Aa telepon.""Iya." Galih merogoh saku celananya, kemudian menelepon Ustaz Fikri."Assalamu'alaikum, Ustaz.""Wa'alaikumussalam, Pak Galih," balas Ustaz Fikri d