Karina menjatuhkan diri duduk di tepi ranjang, sementara Yudha menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. Bahkan hanya mencium Karina saja Yudha tidak bebas! Bagaimana mau menggarapi istrinya kalau kayak gini?
"Kenapa nggak dikunci sih, Mas?" Wajah Karina merah padam, bagaimana tidak malu? Kepergok ibu mertua tengah berciuman dengan begitu panas macam tadi, siapapun pasti akan malu, bukan?"Ya mana Mas tahu kalau ibu mau tiba-tiba masuk, Sayang?" Yudha sendiri pun sama merah wajahnya. Kenapa begitu absurb sih perjalanan awal pernikahan mereka? Setelah akhirnya Yudha dan Karina berdamai dan saling mengakui perasaan masing-masing."Malu tau, Mas!" Desis Karina sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ia ingin ngakak menertawakan hal gila yang ia dan Yudha alami di rumah mertuanya ini, pantas saja sang suami sampai rela berbohong dan menciptakan tokoh fiksi bersama Profesor Julianto tadi, jadi karena ini?"Kamu pikir Mas ini"Udah semua, kan, Sayang?"Bisikan itu begitu lembut, sebuah bisikan yang membuat Karina lantas sadar dan membenarkan bahwa apa yang dikatakan Heni mengenai sisi lain Yudha memang ada benarnya! Kini, selain sisi menyebalkan yang Karina lihat pada Yudha selama dia menjadi mahasiswi Yudha, Karina bisa melihat sisi lain itu dan menyadari bahwa setiap orang pasti punya sisi tersembunyi yang mampu membuat orang tercengang ketika mengetahuinya. Dan suaminya, memiliki hal itu. Yudha melingkarkan tangan di perut Karina, menyandarkan kepala di bahu sang istri yang baru saja beres menutup dua koper mereka. Tangan Karina memeluk tangan yang melingkar di perutnya. Tersenyum melirik wajah yang nampak nyaman bersandar di bahu. Tidak ada yang mengira mahasiswi dan dosen yang sering berseteru bisa semanis ini, bukan? "Udah semua kok, beres!" Balas Karina yang kini tahu parfum apa yang menguatkan aroma perpaduan lavender, lemon dan jeruk yang begitu dia sukai.
Karina terkejut, matanya lantas mengerjap ketika ia merasakan tepukan lembut itu mendarat di pipi. Perlahan-lahan Karina mulai membuka mata, mendapati wajah sang suami tersenyum begitu manis dan berjarak begitu dekat dengan wajahnya."Sayang ... Udah sampai nih, turun yuk!" Bisik suara itu sambil terus membelai pipi Karina dengan begitu lembut. Karina terkejut, ia segera membuka mata lebar-lebar, mengangkat kepala dan menatap ke sekeliling. Benar saja! Mereka sudah sampai rumah! Ini Yudha yang terlalu kencang membawa mobil atau dia yang terlalu lama dan nyenyak tertidur? "Lah ... Udah main sampai rumah aja?" Karina menguap, masih belum percaya kalau mereka sudah sampai rumah.Yudha mencebik, membuka seat belt sang istri dan membantu Karina turun. Karina masih berusaha mengembalikan separuh nyawanya yang belum kembali. Beberapa kali dia menguap dan mengerjap, benar saja! Mereka benar-benar sudah sampai rumah!Rumah itu nampak sepi, Yudha
Yudha kembali menguasai tubuh itu, ia kembali pada posisi awal di mana tubuhnya menindih tubuh mungil Karina yang sudah bersimbah peluh. Napasnya memburu, Yudha benar-benar sudah tidak sanggup lagi rasanya. Kegagalan kemarin terlampau sakit dan Yudha hendak menuntaskan semua rasa sakit itu sekarang ini juga! Setelah sudah memastikan Karina 'siap', Yudha segera mengarahkan miliknya ke depan inti tubuh sang istri. Dengan begitu lembut dan perlahan, hal yang membuat kedua tangan Karina mencengkeram kuat-kuat lengan Yudha yang ia gunakan untuk tumpuan itu. "Mas, pelan!" Karina merintih menahan tangis. Matanya memerah, ia rasakan benda itu begitu besar, merangsak masuk perlahan-lahan ke dalam tubuhnya. Yudha bergeming, ia sudah cukup pelan kok. Terus dia dorong masuk tidak peduli bahwa sebenarnya cengkeraman tangan Karina cukup sakit mencengkeram lengannya. Yudha terus mendorong masuk, sampai di mana akhirnya miliknya tidak dapat masuk lebih dalam.
"Ha--.""Yud, kamu ini di mana? Sudah sampai rumah belum? Nggak tahu apa Ibuk dari tadi cemas nunggu kabar dari kamu. Kepikiran kalian kalau kenapa-kenapa di jalan bagaimana, kalau ada apa-apa gimana, apa susahnya sih, Yud, kasih ...."Yudha kontan menjauhkan telepon dari telinga menoleh ke arah sang istri sambil berbisik sangat lirih, menjawab pertanyaan Karina perihal siapa yang meneleponnya ini. Karina lantas terkekeh, menarik selimut dan menutupi tubuhnya yang masih begitu polos. Sementara Yudha, kini kembali pusing diomeli sang ibu hanya karena tidak memberinya kabar kalau mereka sudah sampai di rumah. Bukan salah Yudha kalau begitu sampai rumah tadi dia langsung tancap gas mengerjai sang istri! Siapa suruh di rumah sejak kemarin mereka diganggu terus? Hal yang lantas membuat Yudha lupa memberi kabar pada Ningsih kalau mereka sudah sampai rumah. Yudha menghela napas panjang, kembali mendekatkan ponsel itu ke telinga. Tangannya mem
Yudha menjatuhkan tubuhnya di sisi sang istri ketika permainan mereka kali ini usai. Kembali tubuhnya bersimbah peluh, napasnya tersengal dan tidak beraturan. Ia melirik istri mungilnya itu. Nampak kondisi Karina tidak jauh berbeda darinya. Rambut panjang sang istri nampak berantakan, membuat Yudha tersenyum bahagia karena sudah membuat Karina sampai se berantakan itu. "Mas please! Udah dulu, cukup buat hari ini!" Desis Karina di sela-sela napasnya yang belum teratur. Mendengar itu Yudha langsung mencebik, ia meraih pinggang Karina, memeluk tubuh bersimbah peluh itu lalu menjatuhkan kecupan di pipi Karina. "Kenapa udah? Kalau aku masih pengen?"Tangan Karina langsung mencubit lengan kekar yang memeluknya, membuat tawa Yudha lantas pecah. Tangan Yudha mempererat pelukannya, tidak peduli tubuh mereka begitu lengket dan panas. "Aku masih pengen, Rin!" Bisik Yudha begitu mesra. "NO ... NO!!" Karina berteriak, sebuah teriakan yan
Bunyi dering ponsel itu mengejutkan Karina, itu dering ponselnya! Dengan susah payah Karina membuka matanya. Mendapati dia sudah kembali terbaring di atas ranjang. Rambutnya masih setengah basah, tentu dia tidak lupa bagaimana Yudha dengan sangat bergairah mengajaknya bercinta di bawah shower tadi. Iya tadi ... Karina memekik ketika tahu jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi! Astaga! Buru-buru Karina meraih ponselnya, kalau ini baru setengah lima pagi, lantas siapa yang menghubungi dia sepagi ini? Mamanya? Papanya atau siapa? Karina mendengus kesal ketika membaca nama Heni terpampang di layar. Apa lagi sih bocah satu ini? Karina membaringkan kembali tubuhnya ke atas ranjang. Rasanya seluruh persendian Karina seperti lepas. Tubuhnya masih begitu lemas dan pegal di beberapa bagian. Melawan om-om mesum itu memang benar-benar menguras energi dan kesabaran! "Yah, mati?" Karina mendecih ketika ia hendak mengangkat panggilan itu namun Heni lebih dulu mematikan panggila
"Beli di mana?" Karina mengaduk bubur dalam mangkok, sementara Yudha memijit kaki Karina. Dia tahu sang istri kelelahan memenuhi hasratnya kemarin. "Warung bubur yang sama saat kamu teriak-teriak katanya aku melucuti pakaianmu di mimpi." Tentu Yudha masih ingat betul momen itu. Momen yang membuat Yudha rasanya ingin menelan Karina hidup-hidup saat itu juga. Tawa Karina kontan pecah, ia terbahak mendengar jawaban sang suami. Masih ingat juga Yudha tentang hari itu. Saat di mana Karina masih begitu kesal dan membenci Yudha. "Masih ingat aja." komentar Karina sambil kembali menyuapkan bubur ke dalam mulut. Yudha mencubit jempol kaki Karina, membuat Karina berteriak kesakitan sambil tertawa. Tentu dia sendiri juga ingat momen itu. Satu dari banyak momen absurb yang mereka lewati sebelum kemudian mereka saling mesra seperti ini. "Tentulah masih ingat! Kau berteriak cukup keras, untung sepi kedainya, kalau tidak, bisa habis aku dikira aku
"Kenapa nggak kuliah di Jakarta? Koneksi mama sama papa tentu banyak dan mudah buat kamu masuk FK di sana, kan?" Yudha mengaduk Choco Caramel pesanannya. Kini pengantin baru itu tengah duduk di sebuah resto yang berada di jalan alternatif yang sering digunakan untuk perjalanan menuju kaki gunung Lawu. Ya ... Semenjak 'ospek' yang harus Yudha jalani demi surat izin menikahi wanita di depannya ini, Yudha jadi begitu menyukai gunung. Suasana dinginnya dan hamparan hijau yang terbentang di mana-mana. Karina mengelap mulutnya dengan tisu, meneguk Mojito Strawberry yang dia pilih kali ini. "Mama sama papa nggak kasih izin kuliah di Jakarta. Kalau mau beneran masuk FK dan jadi dokter, harus mau keluar dari zona mama dan papa praktek. Begitu pula Bangke berdua itu." Jawab Karina lalu kembali menyedot mojito miliknya. "Hush!" Yudha hampir saja tersedak. "Panggilannya diganti kenapa, Sayang?" Panggilan itu terdengar menggelikan di telinga Yudha, membuat