Aku memutuskan untuk fokus pada satu perusahaan terlebih dulu daripada memaksakan diri untuk mengerjakan ketiganya sekaligus. Sekarang aku sudah tidak perlu berusaha untuk tidak bertemu Richard, kan?
Kuakui, dinding kaca dengan pemandangan langit membuat pikiranku lebih jernih. Gagasan datang dengan cepat dibandingkan ketika aku bekerja di lantai limabelas. Aku bebas memutar lagu apa saja tanpa terganggu oleh celotehan Wahyu. Kadang kalau sudah teramat bosan aku akan mengobrol dengan Bernard. "Oh, jadi hari Minggu kemarin kamu sampai tidak pergi ke pantai saking lelahnya?" kata Bernard. "Betul banget. Biasanya aku bisa nongkrong seharian tuh. Mudah-mudahan Minggu ini bisa pergi." Bernard mengangguk. "Ngomong-ngomong selama ini kamu selalu sendirian di kantor dong? Richard kan sering keluar?" tanyaku penasaran. "Aku sudah terbiasa. Kalau bosan aku tinggal kuBernard terkejut melihat wajahku yang sekeruh air kobokan. Dia pasti terheran-heran karena tadi aku keluar dengan wajah cerah, eh satu jam kemudian berubah seratus delapanpuluh derajat. "Hai Bernard..., sudah makan siang...?" tanyaku. "Sudah. Bagaimana di kantin? Aman?" "Hmmm...." gumamku. "Oke." Aku tidak dapat menceritakan obrolanku dengan Wahyu karena akan berdampak bagi banyak orang. Biarlah kusimpan sendiri. Mood-ku untuk bekerja sudah lenyap. Aku merebahkan diri di sofa oranye dan memeluk bantal. Kucoba melupakan obrolan tadi. Percuma! Wajah Daniel terbayang-bayang di pelupuk mataku. Aku ingin sekali memojokkan dan menamparnya bolak-balik dengan sandal jepit yang diolesi cabai rawit. Aku mengendap-endap ke depan, hampir membuat Bernard terkena serangan jantung karena muncul di sampingnya t
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Jiwa petualangku memberontak ingin segera melaju ke pantai. Aku sarapan sekedarnya, roti oles mentega dan segelas besar susu cokelat. Sehabis makan aku cepat-cepat mandi dan berpakaian. Aku ingin waktu berjalan lebih cepat menuju jam delapan. Aku mematut diri di depan cermin. Rambutku kuikat ekor kuda. Pakaianku ringkas berupa kaos putih dan jeans selutut. Sepasang sayap berwarna putih terkembang di punggungku. Aku memakai kacamata dan sayap itu pun lenyap dari pandangan. Betul, seperti itulah cara kerja kacamataku. Dia memfilter penglihatanku. Tidak betah menunggu aku turun ke lobby. Sekarang sudah jam setengah delapan. Semoga Richard datang lebih cepat. Aku nyaris tertidur di sofa saat handphone berdering. Hatiku bersorak kegirangan melihat nama penelepon. Richard! "Halo? Sudah sampai?" "Sudah. Aku di depan gerbang."  
Richard jadi sedikit diam sejak kutolak. Aku pun merasa tidak nyaman memaksanya ngobrol, maka kami berjalan dalam keheningan. Mudah-mudahan tidak mempengaruhi pekerjaan kami. Aku menggamit lengan Richard untuk berbelok. Richard mengikutiku. Bu Ani sudah melambai heboh dari kejauhan. Aku tahu lambaiannya lebih kepada Richard daripada aku. "Heh! Non! Ke mana aja kok baru kelihatan?? Ihhh nongol-nongol bawa bule ganteng! Kenalin dong sama Ibu," cerocos Bu Ani sambil mengedipkan bulumata palsu. Aku menahan tawa, "Apa sih Ibu. Baru juga seminggu nggak kemari." "Nggak penting!" Bu Ani menepuk lenganku keras-keras. "Ini siapa? Kayaknya pernah lihat deh? Pacarnya Non bukan? Gantengnyaaaa kayak Ahmad Albar! Pasti blasteran Timur Tengah! Ibu punya saudara yang kerja di Saudi loh. Katanya mau ajak Ibu main ke sana, tapi sampai sekarang belum kesampean! Kali aja Non nanti ajak Ibu ke sana juga." 
Aku tidak mengerti kenapa orang membuat jargon 'I hate Monday'. Memang apa yang salah dengan hari Senin? Sama saja kan dengan hari-hari yang lain dalam minggu? Dalam kasusku hari Senin ini berbeda karena manusianya. "Serius, aku kegerahan...," gerutuku sambil mengipasi wajah dengan selembar kertas. "Itu masalahmu. AC di ruangan ini sudah cukup dingin," sahut Richard tanpa peduli. Dia tetap duduk mepet di sebelahku. "Aduh, lebih baik biarkan aku selesaikan satu halaman ini, baru nanti sore kita lihat bersama. Bagaimana?" "Aku mau lihat." Aku mengomel tanpa suara. "Apa kamu bilang?" "Nggak." Richard menghela nafas, "Ayo, mulai bekerja." "Ya Tuhan, sejak kapan kamu jadi mandor jaman perbudakan? Ini serius mau ditongkrongin sampai selesai?" "Aku jarang bercanda soal p
Kuakui, bercerita membuat beban hatiku terangkat sebagian. Aku telah menceritakan apa yang dikatakan Wahyu kepadaku. Aku juga membuat Richard berjanji untuk tidak ikut campur dalam masalahku dengan Daniel. Dia menyetujui dengan berat hati. Aku bisa menghadapi masalahku sendiri. Daniel bukanlah sesuatu yang penting dalam hidupku. Toh bukan dia yang menggajiku! "Hazel, aku keluar meeting. Kamu tunggu ya." kata Richard ketika hari menjelang sore. "Apa? Sampai jam berapa?" "Kuusahakan tidak sampai malam. Kalau Bernard sudah pulang kamu naik saja ke atas, oke?" Aku mengangkat jempol. Richard tahu aku sudah tidak mau turun ke lantai limabelas. Sepeninggal Richard aku menyetel musik. Pilihan pertamaku jatuh pada Linkin Park. Aku butuh suntikan semangat bukan inspirasi. Jam lima tepat Bernard memberitahuku bahwa dia akan pulang. Aku mengemasi bar
"Coba kamu berikan solusi untuk persoalan ini. Ciptakan strategi marketing yang baik untuk sebuah perusahaan bernama PT Angin Ribut." Aku melongo. Richard serius? "Bisa?" Richard melirikku sekilas. Matanya tidak boleh beralih terlalu lama dari jalan. "Pertama-tama, ganti nama perusahaan. Kedua, perbaharui semua media promosi yang ada, dari logo sampai stationery dan lainnya. Ketiga, sewalah seorang Marketing Executive yang handal. Keempat, pakailah jasaku sebagai desainer grafis." Richard tersenyum geli, "Begitu saja?" "Iya, cukup lah. Sesuai dengan informasi yang tersedia." Itulah obrolan ringan kami dalam perjalanan pulang dari AtoZ Properti, salah satu perusahaan yang dipegang Richard. Khusus untuk meeting tadi, hari ini aku memulas bibir dengan lipstik merah muda dan memakai rok pensil. Siapa bilang desainer grafis tidak boleh t
"Kapan kamu mau mengajakku ke pesta?" Wajahku merengut. "Sekarang," kata Richard tanpa dosa. "Kenapa nggak besok saja?" "Boleh juga." Richard menahan senyum. "Aku serius loh. Kenapa mengajakku?" "Karena kamu temanku." Aku terhenyak, benar juga. Aku bisa menemani seorang teman ke pesta apa saja. "Aku nggak mau ah. Aku malas berada di tengah orang-orang yang nggak kukenal." Richard mengamati wajahku, "Baiklah. Aku nggak memaksa." Gantian aku yang terdiam. Kupikir Richard akan membujukku dengan berbagai macam cara. Loh? Apakah aku berharap dia membujukku? Kok aneh? Setelah mengucap salam perpisahan pada Uncle Ramesh kami pun meninggalkan tailor. Hening mencekam. Aku dan Richard tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Kalau aku mau ikut, apa imbalannya?" tanyaku memec
Aku bersin tiga kali berturut-turut. Kepalaku pening. Aku tahu seharusnya tidak memaksakan diri untuk datang ke kantor hari ini, tapi aku tidak terbiasa absen. "Hazel? Kamu sudah minum obat?" Bernard melongokkan kepala dari pintu. "Belum. Aku minum vitamin C kok." Bernard geleng-geleng kepala, "Kubuatkan jahe hangat untukmu." Aku bersin lagi. Sial. Ini gara-gara tertidur di sofa dengan suhu AC terlalu rendah. Padahal Richard sudah menutupi dengan selimut, tetap saja aku pilek. Aku melirik selimut flanel yang terlipat rapi di sofa. Wajahku terasa hangat. Aku menoleh saat pintu diketuk. Richard berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat khawatir. Apakah aku terlihat seburuk itu? "Kamu perlu ke dokter," kata Richard. "Nggak perlu. Aku minum vitamin." "Ada yang pernah bilang kalau kamu bandel?" &nb