Facebook @Sim Prabu
Julia pov Siang itu suasana di dapur cukup riuh. Aku dan Mbak Yasmin tengah sibuk menimbang beberapa tepung dan bahan lainnya untuk menjadikannya kue. Setelah selesai menimbang dan mengumpulkan semua bahan, aku kembali mengecek kue yang masih dalam oven. Beberapa kue yang sudah matang di dalam oven segera kuambil. Tercium aroma lembut yang menguap masuk ke hidungku. Ketika akan mencicipinya aku dikejutkan oleh suara berisik dari ruang tamu. Lebih tepatnya pintu ruang utama. PRANNNKKKKK "Itu suara apa, Mbak?" aku menatap Mbk Yasmin bingung dengan raut wajah waspada. Aku takut kalau ada pencuri atau apalah yang menerobos masuk ke dalam rumah ini. Membayangkan kejadian-kejadian sadis tentang perampokan seperti di berita beberapa tahun lalu cukup membuatku bergidik ngeri. Mbak Yasmin menghela nafas singkat. Lalu lanjut melakukan kegiatannya dengan santai. Ia tidak terlalu menghiraukan aku yang sedang ketakutan ini. "Haduh, itu kayaknya si bos deh. Mood dia lagi buruk. Coba kamu c
Arjuna mengerjapkan matanya perlahan. Ketika matanya terbuka dengan sempurna, hal yang pertama ia lihat adalah wajah manis istrinya yang tengah tersenyum padanya. Senyuman yang begitu hangat yang pernah Arjuna lihat. Ketika tatapan mereka saling bertemu. Tidak ada sepatah suarapun yang keluar, mereka masih menikmati memandang wajah masing-masing. Saling meresapi perasaan. Posisi Arjuna masih seperti semula, ia masih berbaring di pangkuan Julia. Dan Julia sesekali mengusap kening Arjuna. “Kamu sudah bangun?” tanya Julia memecah keheningan. Ia mengusap kening Arjuna dengan lembut. Menyingkirkan anak rambut yang terjatuh menghalangi tatapan mata Arjuna. Arjuna tersenyum hangat. Ia meraih tangan lembut istrinya, lalu mengecupnya perlahan. “Berapa lama aku tertidur?” tanya Arjuna balik. Ia menatap arlojinya. “Satu setengah jam,” jawab Julia cepat tanpa mengalihkan tatapannya yang masih terkunci pada mata Arjuna. Arjuna menggeser tubuhnya. “Maaf, pasti kamu pegal.” Arjuna segera bangu
"Mana barang yang mau kamu bawa?" tanya Arjuna setelah mengikuti Julia pergi ke dapur. Ia berhenti berjalan ketika Julia berhenti. "Itu." Tunjuk Julia. Arjuna mengikuti arah ke mana jari telunjuk Julia menunjuk. Tatapannya berhenti pada dua bungkus kantong plastik yang tergeletak di atas meja. Dengan isi yang lumayan penuh. Dan beberapa toples yang tak muat di plastik. "Barang bawaan kamu sebanyak itu? Serius kamu?" tanya Arjuna dengan ekspresi tertahan. Ia berpikir mungkin akan susah dibawa kalau Julia mengajaknya naik motor. Lebih mudah naik mobil. Barang-barang sebanyak itu cukup ditaruh di belakang bagasi saja. Julia mengangguk antusias. Itu semua kue buatannya tadi dengan Yasmin. Dia sengaja membuat banyak untuk sebagian diberikannya kepada Ridwan dan Vino. Papa dan Vino pasti sangat menyukainya. "Iya, aku mau bawa ini semua. Memangnya kenapa?" Julia menatap Arjuna dengan muka semringah. Dia tidak memperdulikan raut wajah suaminya yang sepertinya hendak protes itu. "Ka
"Kamu lagi buat apa?" Arjuna meletakkan bungkusan plastik belanjaanya di atas meja. Ia berjalan menghampiri Julia. Berdiri di belakang istrinya, lalu mengecup leher samping istrinya sehingga membuat Julia menggeliat geli. Dan Arjuna malah semakin mengeratkan pelukannya, ia enggan kalau istrinya lepas dari kungkungannya. "Kok kamu sudah pulang?" Julia agak terkejut melihat kehadiran Arjuna yang tiba-tiba dan langsung memeluknya dari belakang, walaupun hanya singkat karena Julia sudah berhasil melepaskan diri dari lilitan suaminya. "Ini lagi buat kue. Aku belum masak apa-apa. Kamu mau aku buatin apa?" tanya Julia tak enak. "Tidak apa-apa. Aku makanya nanti saja." Arjuna terkekeh melihat meja dapurnya penuh dengan adonan kue dan beberapa kue-kue yang sudah jadi. "Sekarang setiap aku pulang ke rumah, pasti di sambut dengan koki yang lagi membuat kue," ujarnya sambil mencomot kue yang masih hangat tersebut berselai coklat. Bibirnya tersungging nikmat. Julia tersenyum malu-malu. "Kan ka
"Papa.. Kok pagi-pagi sekali Papa sudah datang ke mari?" Julia menemui Ridwan setelah diberi tahu Yasmin kalau papanya datang dan sedang menunggu di ruang tamu. Ridwan tersenyum melihat putri semata wayangnya yang kelihatan segar dan semakin berisi. Tampaknya juga Julia baru saja selesai mandi. "Papa ingin mengajak kamu dan Arjuna menjenguk Mama. Kondisi Mama semakin hari semakin menurun. Papa harap kalian bisa ke sana." Ridwan menghela nafas, terlihat dia sedang memaksakan diri untuk tersenyum seolah tegar. Namun bingkai wajahnya yang terlihat lelah malah menggambarkan kisah sebaliknya. "Jadi kondisi Mama masih belum pulih ya?" Julia ikut murung. Jujur ia juga merindukan Lauren, mamanya. Seburuk apapun beberapa perlakuan Lauren padanya, nyatanya yang selalu menancap di hatinya adalah beberapa kebaikan tulus dari Lauren yang pernah ia rasakan. "Semalam, kata dokter, Mama nge-drop lagi." "Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang saja, Pa." Ridwan mengangguk setuju. "Bagaimana den
Julia dan Ridwan berjalan beriringan di koridor rumah sakit. Mereka berjalan dengan cepat, namun bukan berarti lari. Ridwan menggenggam tangan Julia erat, berjaga-jaga kalau putrinya tak sengaja kakinya terlilit sesuatu hingga menyebabkan anak kesayangannya terjatuh, apalagi dia tahu kalau Julia saat ini sedang hamil besar. Semakin khawatirlah beliau. Bahkan setiap langkah mereka mengandung rasa was-was yang teramat karena pikiran yang melayang pada satu sosok perempuan. Perempuan yang sekarang menderita penyakit parah. Mereka mulai memelankan langkahnya saat hampir sampai di ruangan rumah sakit yang kini di tempati Lauren. Dari balik kaca transparan Julia mengintip, begitu juga dengan Ridwan. Yang dari gerakan tanganya mengajak anak perempuannya untuk lekas masuk. Namun Julia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya berdiri. Julia menatap papanya sebentar, "apakah boleh kita masuk?" tanyanya celigukan seperti orang kebingungan. Ridwan mengangguk tanpa ragu. "Dokter sudah me
Arjuna membuka matanya pelan. Lampu kamar yang terbilang redup sudah cukup mampu untuk membuat matanya menatap istrinya dengan jelas. Ketika ia menoleh ke samping kiri. Ada Julia di situ. Tanganya tertimbun oleh leher dan pipi lembut istrinya. Kadang pernah terpikir oleh Arjuna kenapa para perempuan suka sekali menjadikan tangannya sebagai bantalan tidur, padahal itu membuat tubuh terutama bagian bahu pegal. Namun Arjuna tak pernah memprotes. Julia saat ini tengah tertidur miring menghadap padanya. Digunakannya kesempatan itu untuk memeluk istrinya dengan erat, namun tetap berhati-hati supaya perut Julia tidak tertekan. 'Huhhhh' Arjuna terdengar membuang nafas panjang. Disaat yang bersamaan, tubuh istrinya bergerak-gerak berontak seperti ulat menggeliat minta dilepas. Lalu terdengar suara rengekan serak khas suara orang baru bangun tidur. "Arjuna, lepas……" rengek Julia dengan mata yang masih terpejam. Mendengar suara istrinya, Arjuna semakin gemas sendiri. Ia semakin kencang me
Langkah kaki riang Julia terasa ringan. Ia membawa beberapa jenis makanan ringan, berjaga-jaga siapa tahu ada yang ingin menyantap camilan selagi senggang. Setelah membiarkan Arjuna bersama mamanya cukup lama diruang rawat inap, Julia memutuskan untuk segera masuk ke dalam. Di sebelahnya ada Vino yang sibuk mengoceh curhat tentang Tavisha yang ngeyel ingin mengajaknya segera nikah dan Vino bilang kepada Julia kalau ia belum siap akan hal itu. Sedangkan Ridwan sendiri, tadi sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan rawat inap Lauren. "Arjuna, kamu sudah......" kalimat Julia terhenti. Arjuna dan Ridwan yang sedari tadi fokus pada kegiatan dokter langsung menoleh. Matanya menyaksikan dokter dan beberapa suster yang tengah sibuk mencabuti selang infusnya. Julia terkejut. Ditatapnya sang papa yang tengah menghela nafas pasrah, juga Arjuna yang balik menatapnya dengan senyuman tipis namun mengandung duka yang tertahan. Ketika Vino menarik tangan dan menggenggam erat tangannya, membuat Ju