Share

Serangan Panah

TUMANGGALA baru saja mencapai deretan kuda-kuda penarik kereta saat tiba-tiba saja telinganya mendengar satu bentakan keras dari arah depan. Disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari balik semak-semak di kanan-kiri jalan.

"Berhenti!"

Seruan itu terdengar menggelegar, bak hantaman petir di siang bolong. Seluruh anggota rombongan pengawal Dyah Wedasri Kusumabuwana sontak kaget. Dari tempatnya berada Tumanggala dapat menyaksikan Ki Bekel Wikutama langsung menarik tali kekang kuda.

Kusir tua yang mengendalikan kereta tak kalah kaget. Untung saja lelaki itu sudah berpengalaman. Dalam sekali gerak saja ia berhasil menghentikan empat ekor kuda penarik kendaraan yang membawa junjungannya. Jika tidak, pastilah hewan-hewan yang kaget tersebut bakal menyeruduk para prajurit di depan.

Tumanggala mendengar jeritan perempuan dari dalam kereta. Naluri kelelakiannya mendorong agar ia mendekati kendaraan tersebut. Namun sang arya memilih terus menuju ke arah Ki Bekel Wikutama.

"Jagad dewa bathara! Apa yang kau lakukan di sini, Tumanggala? Tempatmu di belakang sana!" desis Ki Bekel Wikutama begitu menyadari keberadaan Tumanggala. Jelas sekali lelaki tersebut kesal.

Tumanggala buru-buru bungkukkan badan sedikit, seraya anggukkan kepala memberi hormat.

"Maafkan saya, Ki Bekel. Saya tadi kemari hendak menyampaikan kecurigaan mengenai kemunculan sekelompok penguntit di belakang. Para pengadang ini agaknya komplotan penguntit-penguntit itu," sahut Tumanggala, tetap bersikap tenang meski kewaspadaannya sudah ditingkatkan.

Ki Bekel Wikutama tak berkata-kata lagi. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Ia kemudian alihkan pandangan pada empat lelaki berpakaian hitam-hitam yang mengadang di depan.

Agaknya dugaan Tumanggala tepat. Empat lelaki tersebut berpakaian sama persis seperti para penguntit di belakang tadi. Masing-masing mereka juga mengenakan sehelai cadar hitam. Dilengkapi caping bambu lebar menutupi kepala.

Satu-satunya perbedaan adalah, orang-orang asing di belakang menunggang kuda. Sedangkan empat lelaki ini datang dengan meloncat dari balik semak.

"Siapa kalian? Berani mati sekali kalian mengadang rombongan prajurit Panjalu," bentak Ki Bekel Wikutama dengan wajah garang.

Empat lelaki yang dibentak saling pandang, lalu sama tertawa gelak-gelak. Kedua tangan mereka tertekuk di pinggang, bersikap menantang. Sebatang golok besar dalam warangka kayu terselip di balik angkin masing-masing.

"Prajurit Panjalu, heh? Memangnya kenapa kalau kalian prajurit Panjalu?" sahut salah seorang dari empat lelaki tersebut, bertanya dengan nada mengejek.

Ucapan itu disambut dengan tawa bergelak oleh tiga orang lainnya. Sedangkan Tumanggala kernyitkan kening. Suara itu tidak asing di telinganya. Namun ia tak dapat mengingat siapa saja orang yang pernah dikenalnya yang memiliki suara seperti itu.

Di atas kudanya, Ki Bekel Wikutama kertakkan rahang. Ia paham benar, keempat pengadang di hadapannya itu pastilah membekal maksud tidak baik.

"Bedebah rendah! Apa pun yang kalian inginkan dari kami, jangan harap bakal terwujud. Jadi, aku sarankan kalian agar lekas-lekas angkat kaki dari sini. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Kotaraja," kata sang bekel lagi.

Lelaki pengadang yang tadi berbicara maju selangkah. Kepalanya mendongak, menatap tepat-tepat pada Ki Bekel Wikutama. Sorot mata lelaki itu begitu tajam menusuk.

"Huh, sombong betul lagakmu, Orang Tua. Aku tidak tahu seberapa tinggi pangkatmu sampai-sampai mudah sekali mulutmu berbicara sepongah itu," ujarnya, lalu diikuti dengusan keras.

"Keparat tengik, jaga mulutmu! Kau sedang berhadapan dengan seorang perwira kerajaan!" hardik salah seorang prajurit dengan marah.

Mendengar itu lelaki bercadar hitam tadi sunggingkan seringai dengan sikap meremehkan. Sebelum siapa pun sempat berkata lagi, ia sudah mendahului bicara.

"Dengar oleh kalian, wahai para prajurit Panjalu. Kami datang dengan niat baik, jadi aku harap kalian juga menanggapi maksud kami dengan baik-baik. Sungguh, kami sangat tidak suka pertumpahan darah...."

"Tidak usah bertele-tele!" tukas Ki Bekel Wikutama yang sudah tidak sabar. "Cepat katakan, apa mau kalian mengganggu perjalanan kami?"

"Ah, harap maafkan jika kemunculan kami ternyata mengganggu perjalanan kalian," sahut si lelaki pengadang dengan nada menyesal yang dibuat-buat. Membuat Ki Bekel Wikutama bertambah memuncak amarahnya.

"Kami hanya punya satu permintaan sederhana lagi mudah...." Lelaki tadi sengaja potong kalimatnya sampai di sana. Sejenak ia edarkan pandangan ke sekeliling, lalu melanjutkan, "Serahkan Dyah Wedasri!"

Mengelam wajah Ki Bekel Wikutama mendengar ucapan tersebut. Tadinya ia menduga para pengadang menginginkan harta benda. Sebangsa perampok rendah yang rakus kekayaan. Tetapi rupanya yang diincar sang puteri.

Sedangkan Tumanggala jadi bertanya-tanya siapa sebenarnya gerombolan berpakaian hitam ini? Kalau yang diinginkan sang puteri, artinya mereka bukanlah sebangsa perampok-perampok kacangan. Kenyataan bahwa mereka tahu orang di dalam kereta adalah Dyah Wedasri Kusumabuwana menimbulkan pertanyaan tersendiri.

"Bersiaplah, Tumanggala. Jika mereka menyerang, kau pimpin pasukan kita untuk melawan. Gusti Puteri menjadi tanggung jawabku," ujar Ki Bekel Wikutama setengah berbisik.

Tumanggala hanya mengangguk samar sebagai jawaban. Sekilas ia melirik ke arah kereta dengan sudut mata. Tampak Wyara dan prajurit lain telah mengelilingi kendaraan tersebut dengan tangan siap mencabut pedang.

"Kalian yang harus mendengar, wahai kunyuk-kunyuk tak tahu diri. Aku Bekel Wikutama, dan tugasku adalah memastikan Gusti Puteri kembali ke istana dengan selamat. Kalau kalian masih berkeras dengan keinginan tadi, bersiaplah merasakan tajamnya mata pedangku ini," kata Ki Bekel Wikutama tegas.

Belum lagi gema suaranya hilang, sang bekel sudah gerakkan tangannya dengan cepat. Sret! Pedang yang sedari tadi tergantung di pinggangnya tahu-tahu saja sudah terhunus ke depan.

Terdengar dengusan dari arah depan. "Baik, tantanganmu kami penuhi," sahut lelaki bercadar seraya gerakkan sebelah tangan.

Baik Ki Bekel Wikutama maupun Tumanggala mengira lelaki tersebut akan mencabut senjata pula. Namun rupanya telapak tangan si lelaki masuk ke balik cadar. Lalu kejap berikutnya terdengar satu suitan nyaring.

Tindakan tersebut membuat Ki Bekel Wikutama dan Tumanggala saling pandang. Seolah bertanya satu sama lain melalui sorot mata. Menduga-duga apa maksud suitan tersebut. Di saat itulah Tumanggala tiba-tiba teringat satu kejadian.

"Waspada serangan panah!" seru sang arya mengingatkan.

Dugaan Tumanggala tepat. Belum sampai ia kembali mengatupkan bibir, dari semak-semak di sebelah kiri jalan berhamburan bebatang-batang anak panah. Terarah pada para prajurit yang tengah mengelilingi kereta.

Sring! Sring! Sring!

Sigap para prajurit Panjalu cabut pedang masing-masing. Lalu senjata di tangan mereka disabetkan dengan sebat untuk menghalau datangnya serangan.

Tring! Tring! Tring!

Suara berdentringan memenuhi pendengaran ketika sabetan pedang para prajurit Panjalu memapas luncuran anak panah. Namun tak urung ada dua orang yang terlambat bergerak, sehingga terkena serangan mendadak tersebut.

Jleb! Jleb!

"Aaaaaa!"

Dua prajurit yang tertembus panah menjerit tertahan. Tubuh mereka terpental dan jatuh dari punggung kuda masing-masing. Begitu menyentuh tanah, keduanya berkelojotan sebentar meregang nyawa. Untuk kemudian diam selama-lamanya.

Mendengar jeritan itu Dyah Wedasri mengintip keluar dari balik tirai jendela kereta. Kebetulan sekali tatapan sang puteri langsung tertuju tepat pada mayat kedua prajurit. Darah mengalir deras dari leher keduanya yang ditancapi sebatang anak panah.

Dyah Wedasri cepat-cepat tutup mulutnya. Tak mau suara jeritan yang kemudian ia pekikkan terdengar keluar. Lalu sang puteri berpelukan dengan simbok emban yang juga sangat ketakutan.

Sementara di luar kereta, suasana tegang segera menyungkupi para prajurit Panjalu. Masing-masing sudah bersiaga penuh menghunus pedang. Pandangan mata mereka mengawasi semak belukar dan pepohonan dari arah mana anak-anak panah tadi berasal.

"Bedebah! Kalian benar-benar mencari mati!" geram Ki Bekel Wikutama, tak dapat lagi menahan amarah.

Usai berkata begitu sang bekel melesat dari atas punggung kuda. Dibarengi satu bentakan keras tangannya bergerak menyabetkan pedang ke arah lelaki bercadar hitam di hadapannya.

"Hiaaaat!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status