Share

Part 6

Dengan malas, Agaf sudah kembali berkata, “Basi. Nyatanya, kebanyakan orang mengulangi hal yang sama setelah ngomong itu.”

“Itu ‘kan orang lain, Pak. Bukan saya,” bela Starla.

“Oh ya?”

Starla menaikkan bibirnya sedikit. “Iya. Kalau Bapak gak percaya. Kita liat aja besok,” tantang wanita itu.

Agaf mendengkus. Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kamu siapa seenaknya menyuruh saya?”

“Yang jelas saya asisten Bapak.”

“Bukan berarti kamu berhak menyuruh saya.” Nada suara Agaf semakin datar saja.

“’Kan saya gak ada menyuruh Bapak,” papar Starla dengan cara bicaranya yang membela diri sendiri.

“Kamu masih mau berdebat?” Agaf kesal.

“Bapak yang ngajak saya ngomong.”

Agaf membuang nafas panjang. Teman baik Jake yang satu ini berhasil membuatnya sakit kepala dari awal pertemuan. Yang herannya, mengapa Jake masih mempertahankan teman yang seperti ini. Apa lelaki itu tidak memiliki wanita lain untuk diajak berteman?

“Ck! Udah. Saya butuh pakaian saya sekarang.”

“Bapak udah mandi?” tanya Starla.

“Menurut kamu kenapa saya butuh pakaian kalau bukan saya udah mandi?”

Bibir Starla manyun sedikit. “Mana tau Bapak menunggu saya.”

“Saya gak pernah menunggu orang telat.”

Lagi-lagi, Starla tersenyum pahit. “Tapi, serius, Pak. Bapak udah mandi? Sendiri? Bapak bisa mandi sendiri?”

“Bisa.”

“Kok bisa?” kaget Starla.

“Astaga. Kamu ini sebenarnya punya otak gak, sih? Saya emang buta. Tapi, kaki sama tangan saya masih berfungsi dengan baik.”

Bibir Starla membulat. Meski dicecar dengan kata-kata Agaf yang kasar. Namun, Starla tetap takjub dengan kehidupan Agaf yang serba bisa.

“Saya punya otak kok, Pak. ‘Kan saya nanya aja. Mana tau Bapak butuh bantuan saya untuk mandi. Saya bisa, kok.”

Meski sedikit, Agaf terlihat sedikit terkejut dengan perkataan Starla. “Bisa apa?”

“Bantuin Bapak mandi.”

“Kamu mesum?!” serang Agaf.

“Loh? Kok mesum? Itu ‘kan pekerjaan. Apapun itu, bukannya kita harus profesional?”

“Profesional ndas-mu!” umpat Agaf dengan menggebu. Lelaki itu dengan pakaian mandinya langsung berdiri dan menuju nakas untuk meraih ponselnya.

“Loh-loh, Bapak mau ngapain?” tanya Starla sembari mendekati Agaf.

“Mau nelpon Jake supaya cariin saya asisten yang gak mesum kayak kamu!”

*****

Setelah kejadian di kamar, baik Agaf maupun Starla sama-sama diam di meja makan. Sebenarnya, yang lebih takut-takut untuk ngomong adalah Starla. Sebab, ia lah yang menyebabkan perdebatan di pagi tadi.

Tapi, setelah Starla pikir, mengapa juga ia harus merasa bersalah untuk hal sekecil tadi? Untuk itulah, wanita itu perlahan mendekat ke Agaf hingga berdiri di sebelah lelaki itu.

Sudah Starla duga, lelaki itu pasti akan menghentikan pergerakan makannya dengan kepala yang mengarah ke arah dirinya.

“Apa?”

Meski sudah menduga, Starla lagi-lagi merasa takjub. Lelaki di sampingnya—memiliki kepekaan yang tinggi dan cerdas. Di mana lagi Starla bisa menemukan lelaki seperti ini di dunia?

“Apanya, Pak?” tanya Starla dengan wajah polosnya.

“Ck! Kamu kenapa dekat-dekat?”

“Ntar kalau jauh-jauh, Bapak nyariin saya.”

“Kamu—”

“Kata Pak Jake saya gak boleh jauh-jauh dari Bapak. Jadi, sekarang saya lagi deket sama Bapak.” Starla langsung menyela.

Agaf mengerutkan dahi.

“Jake bilang gitu bukan berarti kamu terlalu dekat kayak gini.”

“Apa Bapak gak nyaman?” bisik Starla.

“Sangat.”

Starla menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. Diperhatikannya para pembantu yang memerhatikan mereka dengan kondisi wajah yang penuh dengan cengiran, Starla ingin menutup semua wajah mereka sekarang juga.

“Hari ini Bapak ada jadwal cek mata. Kebetulan, tadi Jake nelpon saya, dia bilang kalau dia gak bisa ikut nemenin Bapak. Bapak ngasih izin ke saya buat ikut, ‘kan?”

“Jake juga udah bilang itu tadi.”

“Jadi? Saya boleh ikut?” tanya Starla penuh harap.

“Hm.”

Starla langsung bersorak ria dalam hati. Namun, sebisa mungkin ia tetap kalem dengan senyuman penuh kebahagiaan.

“Artinya, Bapak gak jadi pecat saya dan cari asisten baru, ‘kan?”

“Kamu mau saya gitu?”

“Enggak!” tegas Starla.

“Lagian, tergantung kamu juga. Kalau kamu mesum, beneran saya pecat.”

Setenang itu Agaf berbicara. Tanpa memikirkan bahwa semua pembantunya akan mendengar perkataan itu. Starla menyengir tak sedap. Kepalanya pun kembali turun dan berbisik kepada Agaf.

“Apa Bapak harus ngomong itu di semua orang?”

“Oh. Itu supaya kamu gak macem-macem sama saya.”

Mata Starla melebar. ‘Oh’ dia bilang? Apa Agaf pikir Starla akan semesum itu dengan dirinya? Starla kembali berdiri tegak. Wanita itu tetap menyengir walau dalam hatinya sudah sepanas lahar.

Alias. Ingin mengumpat.

“Satu lagi. Saya ingin kamu yang membawa kendaraan hari ini.”

“Iya, Pak.”

“Beli dulu kebutuhan sebelum ketemu Aldo.”

“Aldo?”

“Dokter Aldo namanya.”

Starla langsung membulatkan bibirnya. “Ooh, temen Bapak?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Kenapa kamu jadi banyak tanya?” Agaf tiba-tiba kesal.

‘Iya juga.’ Starla membatin. Selain banyak tanya, sepertinya juga ia seperti orang yang kepo terhadap kehidupan seseorang.

Starla meringis sendiri.

“Oke, Pak. Saya minta maaf.”

Agaf hanya membalasnya lewat dirinya yang tetap menyuap nasi ke dalam mulut. Sepertinya, kata ‘hm’ lebih baik daripada diam seperti itu. Starla tidak tahu lagi bagaimana cara memancing Agaf untuk membalas perkataannya.

Dan memilih diam. Starla membiarkan Agaf makan dengan tenang.

***

Di dalam perjalanan, Agaf tetap dengan sikap yang penuh dengan keterdiamannya. Starla tersenyum miris.

“Pak, saya boleh tanya satu hal?” ucap Starla memecah suasana.

Seperti biasa, Agaf tidak langsung menjawab. Lelaki itu berada di belakangnya dengan tatapan lurus ke depan. Tidak sedikitpun terganggu.

Starla membuang nafas panjang. Setelah dipikir-pikir, Agaf sangat menyia-nyiakan keberadaan mulutnya. Lelaki itu sangat pelit untuk mengeluarkan suaranya. Bukankah pelit itu sangat diharamkan? Tetapi, Agaf melakukannya. Dasar lelaki pelit.

Di tengah berpikir seperti itu, tanpa Starla duga, seekor kucing malah dengan ligat melintas yang membuat Starla rem mendadak dan hampir ditabrak oleh kendaraan belakang. Untungnya, posisinya saat itu tidak berada di tengah jalan dan tidak berada di jalanan yang ramai.

Dan yang pertama kali Starla pikirkan saat itu adalah Agaf. Ia langsung menoleh ke belakang dan mendapatkan lelaki itu tetap tenang dengan memegang pegangan di atas kepalanya.

“Maaf, Pak. Bapak baik-baik aja, ‘kan?”

“Iya.”

“Sekali lagi, saya minta maaf ya, Pak. Saya akui saya ceroboh.” Starla benar-benar merasa bersalah.

“Kamu mau tanya apa?” tanya Agaf tiba-tiba.

Starla mengerjap bingung.

“Ya?”

“Tadi kamu mau nanya, 'kan? Nanya apa?”

Apakah harus di saat seperti ini Agaf menanyakan itu kembali? Harusnya tadi di saat ia masih fokus pada jalanan dan sebelum kejadian yang hampir membuat jantungnya terlepas.

Kenapa harus sekarang Bapak Agafta Argadhana yang terhormat?

“Enggak jadi, Pak. Lupain aja.”

“Hm.”

Demi apapun, Starla kesal. Wanita itu kembali menghadap ke depan dan mencoba menetralkan suasana hatinya saat ini. Setelah berhasil, wanita itu kembali melajukan mobilnya.

Berbeda dengan Agaf yang mendadak kepalanya pening. Dengan sekuat tenaga, Agaf meruntuhkan segala ketakutannya saat Starla rem secara mendadak tadi. Mungkin Starla melihatnya sebagai sosok yang tenang dan tidak merasakan guncangan apapun dari tindakannya. Namun, yang Starla tidak sadari adalah betapa eratnya Agaf memegang pegangan di atas kepalanya sampai kuku Agaf hampir memutih.

Agaf kembali teringat dengan kejadian dua tahun lalu. Kejadian yang membuat penglihatannya menghilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status