“Oke, saya setuju.”
Langit tersenyum lebar. “Pilihan yang bagus, Green,” tutur Langit sambil memberikan bolpoint pada Green.
Tanpa berlama-lama, Green membubuhkan tanda tangan di atas materai yang tertera namanya kemudian mengembalikan bolpoint itu pada Langit. “Ya mau gimana, saya emang butuh kerjaan. Lagipula saya sangat yakin, saya yang akan jadi pemenangnya,” ujar Green dengan rasa percaya diri yang tinggi.
“Baiklah, kita lihat nanti ya.” Langit merasa tertantang dengan pernyataan Green barusan, semangatnya untuk menaklukan seorang Green semakin menggebu-gebu.
Green mengangguk pelan. “Jadi, kapan saya bisa mulai kerja?’
“Senin, nanti malam saya akan kasih detail pekerjaan yang harus kamu kerjakan.”
Jika waktu itu Langit hanya menjelaskan garis besarnya, maka nanti malam ia akan berikan detailnya. Green kembali mengangguk, setidaknya satu masalah Green telah teratasi.
Tepat pukul 19.00 wib, Langit dan Green tiba di gang sempit menuju rumah Green. Sedari tadi Green tak henti tersenyum, ia sangat bahagia bisa bertemu dan bermain dengan Rubi dan kawan-kawan. Mereka membuat Green sedikit lupa pada kesedihan dan patah hatinya. Hal itu disadari Langit, Langit yakin saat ini suasana hati Green sudah lebih baik bahkan sangat baik.“Ekhem, seneng banget kayaknya.” Suara deheman itu menyadarkan Green bahwa saat ini ia masih berada di mobil Langit.“Eh, udah sampe, ya?” Green hendak melepas safety beltnya, namun Langit lebih dulu melakukan itu.“Gak usah berlebihan, saya bisa sendiri!” Bukannya mengucapkan terima kasih, Green malah berbicara dengan nada ketus pada Langit.“Iya, iya, yang apa-apa bisa sendiri, giliran galau tetep aja butuh saya,” sindir Langit.Green yang tahu Langit menyindirnya menatap tajam Langit. “
Perdebatan malam itu membuat Langit dan Cherry terlibat perang dingin. Terlihat Dari meja makan yang sepi, baik Cherry maupun Langit tak ada yang duduk di sana. Sudah sejak sepuluh menit yang lalu Bi Ruri menyiapkan sarapan dan memberitahukan kepada dua majikannya, bahwa sarapan sudah siap. Namun, keduanya seolah tak mendengar. Langit memilih berolahraga, lari di sekitar komplek kemudian lanjut bersepeda. Sementara Cherry, wanita itu belum keluar kamar sejak semalam.Ditempat yang berbeda, Green tengah memfokuskan pandangan pada layar monitornya. Ia sedang membaca email dari Langit berkaitan dengan detail pekerjaan selama menjadi asisten pribadi laki-laki itu. Tertulis beberapa poin di sana, salah satunya Green harus ikut setiap roadshow yang dilakukan Langit. Yang lainnya, jangan ditanya. Masih sangat banyak, belum lagi Langit juga meminta Green mengurusi media sosial yang digunakan laki-laki itu untuk menunjang pekerjaan. Green baru tahu bahwa Langit juga sering me
Maju, mundur lagi, maju, mundur lagi, begitu seterusnya. Cherry tengah berada di depan ruang kerja Langit, mau tak mau ia harus berbicara dengan lelaki itu karena sedari tadi Revan terus mengganggunya. Laki-laki yang minggu lalu meminta tolong pada Cherry agar membantunya berbicara pada Langit karena tak ingin mengulang mata kuliah yang diampu oleh sang kakak. Tangan Cherry terangkat untuk mengetuk pintu, namun ia ragu. Akhirnya Cherry putar arah, ia belum mau berbicara dengan Langit. Belum sempat langkahnya menjauh, ponselnya lagi-lagi bergetar, menampilkan nama Revan di layar.“Lo bawel banget sih jadi cowok!” maki Cherry setelah panggilan terhubung.“Cher, ini aku.” Suara lembut Zein terdengar dari balik telepon. Cherry mengecek ponselnya. “Bener kok nomor Revan,” gumamnya dalam hati.“Revan nyamperin aku ke rumah, dia minta tolong supaya─”“Nanti aku telepon lagi ya sayang.”
5 tahun lalu “Masuk dulu yuk, Sky,” ajak Keira saat Langit mengantarnya pulang.“Di rumah ada siapa?” tanya Langit sambil membuka safety belt Keira.“Ada adik aku aja, Mama Papa masih di luar negeri, sibuk sama kerjaan,” jawab Keira tiba-tiba murung.Selama menjalin hubungan dengan Keira, Langit memang belum pernah bertemu langsung dengan kedua orang tua Keira. Bahkan, saat acara pertunangan kedua orang tua Keira hanya menyaksikannya lewat panggilan video, mereka tak bisa pulang lagi-lagi karena alasan pekerjaan.“Hei, jangan sedih dong, kan ada aku. Aku janji bakal selalu temenin kamu.” Langit menatap dalam bola mata Keira, ia selalu tak tega jika melihat Keiranya sedih.Keira tersenyum tipis. “Makasih ya, Sky, makasih karena kamu udah berusaha selalu ada.”“Iya sayang, aku akan usahakan
Keira yang sejak pagi sudah di cecar berbagai media untuk dimintai keterangan tampak kelelahan. Ia menandaskan botol air mineral yang diberikan sang manajer. “Thanks,” ujarnya setelah menghabiskan hampir separuh.“Lo lain kali hati-hati, Kei, karir lo bisa hancur gara-gara ini, sekarang aja udah hampir semua brand ngecancel lo, mereka gak mau pake model yang terlibat skandal!” Bukannya menenangkan, lelak itu malah ikut-ikutan mencecar Keira. Keira memijit pangkal hidungnya perlahan, ia tak habis pikir mengapa foto lama itu bisa muncul ke permukaan.“Ini pasti ada yang mau ngancurin karir gue!” tekan Keira.“Iya, lo bego habisnya, main lo kurang cantik. Sekarang lo tinggal berdoa aja, semoga tunangan lo itu gak ikutan ngecancel lo!”Keira melotot ke arah sang manajer. Ia hendak berdiri namun tangannya ditahan. “Lo mau ke mana? Di luar itu orang lagi pada nungguin
Hari ini adalah hari pertama Green menyandang status sebagai asisten pribadi Langit, mulai hari ini hingga enam bulan ke depan ia harus bisa mengontrol emosinya terhadap Langit, sebab saat ini laki-laki itu merupakan bosnya.Pagi-pagi sekali Green sudah bersiap, sebelum berangkat kuliah ia harus mengirim pesan terlebih dahulu pada Langit untuk membeitahukan agenda laki-laki itu. Dengan lincah, Green mengetikkan sesuatu di ponselnya kemudian menyimpan ponsel itu ke dalam tas. Green melihat pantulan dirinya di depan cermin, pagi ini ia bertekad untuk menjadi Green dengan semangat baru, meyimpan segala duka dan lara pada bagian terkecil dalam hatinya, untuk kemudian dijadikan pengalaman dan pembelajaran hidup ke depan. Senyum lebarnya membuktikan bahwa ia telah siap memulai hari, Green mengenakan sepatu kets berwarna putih dan celana jeans hitam serta kemeja biru langit . Rambut panjangnya diikat asal namun tetap rapi, sebelum berangkat Green mengecek penampilannya.&ldqu
“Gue anter pulang ya,” ajak Daren saat Reina sudah terlihat lebih tenang.Reina menatap Daren lekat, dalam hati ia bertanya-tanya. Untuk apa Daren bersikap baik padanya? Muncul pikiran negatif bahwa saat ini Daren hanya sedang memanfaatkan dirinya untuk sebuah tujuan tersembunyi atau bahkan sebenarnya laki-laki itu tengah menertawakannya?“Lo gak usah mikir macem-macem, gue cuma kasihan aja sama lo. Udah jadi istri, masih aja dicampakin,” ujar Daren terus terang. Tidak ada yang salah dengan ucapan Daren, karena faktanya memang begitu. Reina lah yang selama ini terlalu naif, tak melihat semuanya dengan mata terbuka.“Ya maaf kalau selama ini kata-kata gue selalu nyakitin. Gue cuma mau lo sadar dan buka mata lo lebar-lebar, Alta itu gak beneran sayang sama lo, Rei.” Reina bukan tak tahu, ia sangat tahu. Namun ia sudah terlanjur masuk dalam perangkap Alta, tak bisa lagi mundur atau pun putar balik.“Thanks,
Regita sangat bersemangat sore ini, sudah lebih dari tiga kali ia melihat pantulan dirinya di cermin. Regita ingin memastikan bahwa penampilannya sudah rapi, sore ini ia akan bertemu Langit, dosen sekaligus penulis favoritnya. Regita tak mau melewatkan kesempatan itu, ia ingin belajar banyak dari Langit. Saat hendak keluar kamar, Aira tiba-tiba datang dan menggodanya. “Duhhhh cantik banget, mau ke mana, sih?” tanya Aira sambil tersenyum menggoda.“Mau ketemu dosen, Kak.”“Sore-sore gini?” tatapan Aira penuh selidik, tak lama kemudian ia tersenyum lebar. “Ketemu dosen atau…”“Ketemu dosen Kak, mau diskusi soal judul skripsi,” bohong Regita.Tentu saja Regita harus berbohong, karena jika ia berkata jujur bisa-bisa Aira tak mengizinkannya pergi.“Okei, Kakak izinin.”“Makasih Kak, yaudah aku pergi ya,” pamit Regita saat melihat jam sudah menunjukkan pukul